Monday, August 30, 2010

Negeri Terkaya

Negeri itu sangat kaya. Tidak ada yang tidak ada disana.

Dari mulai tambang emas, minyak, timah, uranium, hingga batu bara, semua ada disana. Tanahnya juga sangat gembur, hingga semua jenis tanaman bisa tumbuh dengan subur. Dari tanaman perkebunan seperti pohon kopi, cengkeh, tembakau, teh, cokelat, kelapa sawit, hingga tanaman persawahan seperti padi dan jagung.

Iklimnya juga sangat bersahabat dengan manusia. Tidak panas dan tidak dingin. Tidak lembab dan tidak kering. Hutan tropis yang memberikan pasokan udara bersih jutaan hektar luasnya, tempat bermukim aneka marga satwa dan sumber mata air untuk kehidupan. Tak ternilai lagi keindahan panorama alamnya. Gunung dan bukit nan elok, juga pantai dengan pasir putih yang membentang di sepanjang garis tepi kepulauannya. Lautan yang jernih dan biru, berisi jutaan makhluk laut sumber pangan manusia. Penuh dengan ikan yang berprotein tinggi, rumput laut yang kaya akan serat dan vitamin, hingga jejeran terumbu karang yang sangat indah, tempat bersemayam jutaan biota laut yang cantik.

Kabar tentang kekayaan negeri itu tersebar hingga seluruh dunia. Membuat kapal-kapal dari ujung dunia datang untuk singgah di pelabuhannya. Tapi karena rasa iri dan ingin memiliki, kapal-kapal itu kemudian memanggil kawanannya untuk datang dan merampok negeri yang selalu terkena sinar matahari ini. Tidak ada perlawanan yang berarti karena penduduk negeri itu seperti mati suri. Mati karena kekenyangan menikmati kekayaan? Atau mati karena tidak tahu harus berbuat apa-apa lagi?

Lebih dari 500 tahun negeri itu dijarah oleh penjajah, tapi penduduknya hanya bisa pasrah. Ada yang mati kelaparan karena kurang makan, tapi ada juga yang mati karena kelebihan makan. Ada yang licik dengan berkhianat dengan para penjahat, menjual sedikit demi sedikit kekayaan negara demi kepentingan dinastinya. Meskipun ada juga yang melawan meskipun akhirnya ditawan dan kehilangan harapan.

Bagaimanapun, kekayaan juga membawa sebuah kutukan. Kutukan untuk lupa bahwa itu semua adalah titipan. Kutukan untuk saling berebutan tanpa melihat lagi siapa kawan dan siapa lawan. Kutukan untuk malas bekerja karena semuanya sudah tersedia. Kutukan untuk berhenti mencari, berhenti berpikir, berhenti berusaha, karena berpikir masa depan akan baik-baik saja, sehingga merasa sedang berada di zona aman dan nyaman. Bukankah kutukan kekayaan itu selalu berakhir demikian?

Hingga kemudian seorang berkata: "ah, seandainya negeri itu sangat miskin ... pasti akan beda ceritanya. Semua rakyatnya akan keras bekerja, seperti layaknya orang miskin mencari sesuap nasi."
Cara berpikir: "makan gak makan asal kumpul" pasti tak pernah ada.

Hingga hari ini kabarnya negeri itu masih dijarah oleh para penjajah yang semakin banyak jumlahnya.

Wednesday, August 25, 2010

Allah Turut Mengendalikan

Perhatikanlah semua jenis film ... film dengan genre apa saja. Ada banyak adegan yang mengejutkan pikiran penontonnya, jika film itu disutradarai oleh seorang yang berpengalaman. "Gak bisa ditebak," begitu kata mereka.

Bisa juga saat menonton film, kita pernah nyeletuk atau berteriak, "Itu...! Pembunuhnya mengendap-endap di belakang, kok dia gak denger sih?" atau "Duh, bodo banget sih nih cewek. Udah tau cowoknya pembunuh, masih aja percaya. Mati mati deh lu." Lalu biasanya akan ditanggapi dengan komentar, "Napa sih sewot sendiri? Itu udah diatur sutradara. Kalo mau yang sesuai jalan pikiranmu, ya bikin film sendiri aja. Tinggal nonton aja kok ribut."

Ya, semua jenis film, apapun genrenya, apapun jenisnya, semua sudah diatur oleh sang sutradara. Semua sudah direncanakan. Semua sudah tertulis pada naskah ceritanya. Para pemain peran di film itu hanya mengikuti skenario yang sudah dibuat sebelumnya.

Mengapa saat Bumble Bee pulang kembali ke rumah setelah melarikan diri, Sam Witwicky malah lari. Padahal menurut saya dia aman-aman saja di rumahnya. Tapi yang terjadi, dia malah pergi dan petualangannya pun dimulai. Bagaimana jika dia diam saja di rumah saat mobilnya pulang? Apakah dia tetap akan berjumpa dengan para Autobots dan menjadi dekat dengan Mikaela, gadis pujaannya? [Transformers movie].
Film lain, misalnya Die Hard 4. Mengapa Gabriel masih menodongkan pistolnya ke arah John, jagoan yang sekarat, padahal apa salahnya kalau Gabriel langsung menembak mati sang polisi saat itu juga? Bukankah dirinya bisa selamat dan Amerika Serikat hancur karena "Firesale"?

Jawabannya tetap sama, karena sudah diatur sang sutradara.

********/*******

Sama dengan kehidupan kita. Tidak bisa ditebak jalan ceritanya. Selalu mengejutkan. Selalu membuat kita penasaran. Selalu ada komentar-komentar: "Aduh, kenapa sih gak bisa percaya sama aku? Kalau udah gini, gimana dong?" atau "Aku gak percaya kamu bisa ngelakuin itu. Semua orang yang nyoba sebelum kamu selalu gagal dan menyerah."

Seperti sebuah film, di mana semuanya sudah ada naskah ceritanya, begitulah kehidupan kita. Kita sebenarnya sedang memerankan adegan demi adegan film kehidupan yang naskahnya sudah ditulis oleh Sang Sutradara. Tidak ada sebuah kebetulan. Tidak ada yang namanya "kecelakaan". Tidak ada yang terlewatkan. Yang ada hanyalah sebuah rentetan peristiwa yang berjalan sesuai dengan skenario yang sedang kita mainkan.


Hanya bedanya, kita diberi kebebasan untuk menentukan pilihan, diberi kebebasan dalam menjalankan peran oleh Sang Sutradara. Karena hidup selalu mempunyai pilihan-pilihan. Walau pada akhirnya, semuanya tetap dibawah kendaliNya.

Ya, Allah turut mengendalikan, walaupun yang terlihat seperti sebuah kekacauan. Allah turut mengendalikan pernikahan yang terancam perceraian. Allah turut mengendalikan masalah keuangan yang terjadi dalam rumah tangga kita. Allah turut mengendalikan pekerjaan yang terlihat mustahil untuk dilakukan. Allah turut mengendalikan persidangan yang terlihat berjalan tidak adil. Allah turut mengendalikan peperangan yang mengancam kehidupan manusia. Bahkan Allah turut mengendalikan iblis, penguasa dunia kita. [Mazmur 24:1]
Saat semuanya terlihat tidak mungkin bagi kita, bukankah tidak ada yang mustahil bagiNya di dunia?

Allah juga yang menentukan akhir film kehidupan yang kita mainkan. Kapan, bagaimana, seperti apa endingnya, semuanya Allah yang menentukan.
Jadi kalau kita berpikir, "Mengapa aku sekarang ada di sini?" atau "Kalau seandainya aku dulu milih tetap kerja di sana, apakah aku akan kesulitan keuangan kayak sekarang?"
STOP. Jangan pikirkan yang sudah terjadi. Jangan menyesal karena peristiwa yang sudah dilewati. Kata "seandainya" bisa membuat kita menjadi hidup di masa lalu. Padahal life must go on, tidak pernah menunggu kita yang hidup di waktu lampau. Percayalah, itu semua terjadi karena "sudah diatur Sutradaranya..."

Jadi, selamat menjalankan peran dalam film kehidupanmu! :)


Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. [Yeremia 29:11]

Thursday, August 19, 2010

Sawang Sinawang

Suatu malam saya chatting dengan seorang teman. Saya bercerita padanya soal inbox email yang penuh dengan cerita "curhat" dari orang-orang yang tidak saya kenal. Mereka, yang bercerita perihal kehidupannya pada saya, mengenal saya hanya dari tulisan-tulisan yang saya posting di sebuah 'forum wanita', dan menurut mereka "tulisan-tulisan saya adalah analisa pemecahan sebuah masalah," entah maksudnya apa.

Saya pribadi masih sering bingung dengan "aliran" tulisan yang saya tuliskan. Penulis renungan... bukan. Penulis roman... juga bukan. Penulis cerita... bukan juga. Apalagi sebagai penulis karya sastra, jauh dari itu menurut saya. Karena sebenarnya saya hanya menulis apa yang ada di pikiran saya, menulis pendapat pribadi saya tentang berbagai hal atau kejadian yang saya lihat maupun yang saya alami, walaupun sesekali juga menulis sebuah fiksi.

Kembali ke chatting dengan teman saya tadi, dia kemudian berkomentar, "kadang orang yang keliatan ceria di luar, bisa menanggung masalah yang amat berat." Saya meng'amin'inya. "Iya, jadi tau kalo masalah orang lain itu lebih kompleks daripada masalahku." | "ternyata kita masih bisa bersyukur kan Vic? Itulah hidup ... sawang sinawang."
Kata teman saya, sawang sinawang berarti jangan selalu melihat hidup orang lain lebih enak daripada hidup kita.Belum tentu, Vic!
Mungkin seperti istilah "rumput di halaman tetangga selalu terlihat lebih hijau," padahal yang sebenarnya terjadi adalah kita yang lupa menyiram rumput di halaman sendiri.

Saya kemudian teringat sebuah cerita:

Pada suatu malam, seorang bapak berdoa kepada Tuhan. Di dalam doanya, dia melaporkan semua beban hidupnya. Dia bercerita dari masalah kantornya, hingga masalah di dalam keluarganya.
"Tuhan, kenapa Engkau memberikan masalah yang begitu berat padaku? Mengapa Engkau tidak pernah memperhatikan aku? Engkau sepertinya terlalu sibuk memperhatikan pak Adam, dengan memberinya kebahagiaan dan kekayaan, sedangkan hambaMu ini Engkau berikan masalah yang bertubi-tubi tanpa henti."
Pria ini merasa iri melihat kehidupan pak Adam, bos di kantornya, yang mempunyai kekayaan begitu melimpah dan keluarga yang sepertinya bahagia.

Saat dia tidur, dia bermimpi bertemu Tuhan di surga. Tuhan kemudian mengajaknya berjalan-jalan melihat keindahan surga, hingga kemudian pria itu tiba di sebuah sungai, yang airnya jernih sekali. Di pinggir sungai itu ada 2 buah tas yang sama besarnya, dan pada masing-masing tas itu tertulis sebuah nama. Tas pertama bertuliskan 'Adam' dan tas kedua bertuliskan 'Ronny', nama pria itu.

Tuhan kemudian menyuruh pak Ronny mengangkat tas yang pertama. Berat. Sangat berat. Dia tidak bisa mengangkatnya. Tas itu tetap bergeming di tempatnya.
"Apa isinya Tuhan? Berat sekali!"
"Bukalah."
Pria itu membuka isi tas itu, ternyata isinya air.
Tuhan kemudian menumpahkan semua air itu ke dalam sungai, dan terlihatlah kehidupan pak Adam yang terpantul di permukaan sungai yang jernih seperti kaca.
"Lihat anakKu, itulah kehidupan pak Adam yang kamu tidak ketahui. Dia memang kaya, tapi tidak sehari pun dia menikmati kekayaannya. Dia bekerja setiap saat untuk mempertahankan semua perusahaannya. Dia sepertinya bahagia, tapi apakah engkau tahu kalau dia pernah mencoba bunuh diri karena semua masalah yang ditanggungnya?"

Dalam beningnya air sungai, pria ini melihat bosnya yang sering bepergian, bahkan ke luar negeri setiap pekan, untuk mengontrol semua perusahaannya, menandatangani kontrak-kontrak, memeriksa laporan semua anak buahnya, hingga tak punya waktu lagi untuk keluarganya. Karena tidak merasa diperhatikan, anak-anaknya tumbuh menjadi liar. Menghambur-hamburkan kekayaan orang tuanya dengan berjudi, memakai narkoba, hingga hidup dalam pergaulan bebas. Istri bosnya ternyata mempunyai pria-pria lain, untuk mendapatkan kasih sayang yang semu, karena merasa tidak pernah merasa disayangi oleh suaminya. Kemudian dia melihat bosnya berdiri di samping jendela kantornya, hendak bunuh diri dengan melompat keluar jendela, karena semua sudah seperti kiamat baginya. Tapi kemudian pak Adam mengurungkan niatnya karena seorang karyawan masuk ke dalam ruangan, untuk memberikan laporan.

Ya, pria ini ingat sekali kejadian di siang itu. Seperti biasa, dia masuk ke ruangan itu untuk menyerahkan laporan keuangan, tapi yang dia dapatkan malah makian dan cacian, karena laporannya dianggap bosnya kurang lengkap. Dia ingat sekali, ketika keluar dari ruangan bosnya, pria ini mengutuk bosnya agar mati saja. "Udah tua masih bikin susah orang, mending ke neraka aja," begitu kata-kata yang keluar dari mulut pria yang ada dalam bayangan di air sungai.

Tuhan kemudian menepuk bahu pria itu. "AnakKu, pak Adam juga mempunyai masalah sendiri di dalam hidupnya. Aku mengijinkan semua itu terjadi padanya, karena Aku tahu kalau dia pasti mampu melewati semuanya. Dan bukan sebuah kebetulan engkau masuk ke ruangannya saat itu, karena semuanya sudah dalam rencanaKu. Bisa engkau bayangkan apa yang terjadi ketika pak Adam meninggal? Perusahaan tempatmu bekerja akan gulung tikar karena tidak ada satu pun anak-anaknya, sebagai pewaris kekuasaannya, bisa melanjutkan apa yang telah pak Adam lakukan. Jika pak Adam meninggal, engkau akan diPHK dan menjadi pengangguran. Jadi, doakan dia. Doakan untuk kebaikannya, bukan malah mengutukinya. Aku, Tuhan Allahmu, mempunyai rencana sendiri untuknya, dan itu bukan urusanmu. Yang perlu kau lakukan adalah melakukan yang terbaik yang bisa kau lakukan, dan sisanya itu urusanKu."
Pria itu merasa bersalah karena kata-katanya di siang itu. Tapi sekarang dia tahu satu hal, bahwa dia akan tidak pernah menjadi pak Adam, karena dia tidak bisa menanggung semua beban yang diberikan Tuhan kepada pak Adam.

"Sekarang, angkat tas yang satunya," perintah Tuhan. Tas itu berat, tapi dia bisa mengangkatnya.
"Lihatlah isinya." Isinya sama seperti tas yang pertama: air. Sama banyaknya. Lalu Tuhan menumpahkan semua air dalam tas itu ke dalam sungai, dan terlihatlah dengan jelas kehidupan pria ini. Dia sedang terlihat sibuk dengan pekerjaan kantornya ketika anaknya datang menunjukkan hasil prakarya sekolah yang dibuatnya. Pria ini teringat peristiwa itu, dia malah membentak anaknya karena dianggap mengganggu konsentrasinya. Anaknya pergi berlari menangis kepada ibunya. Kemudian dia melihat bagaimana istri dan anak-anaknya mempersiapkan kejutan di hari ulang tahunnya. Tapi yang kemudian terjadi, dia malah memarahi istrinya karena dianggap melakukan pemborosan saja. Dia tidak tahu dan tidak bertanya darimana uang untuk membeli kue ulang tahunnya, yang ternyata berasal dari hadiah anaknya karena memenangkan lomba menggambar antar sekolah se-ibukota. Dia malah tidak menyadari kalau ada piala di ruang tamunya, karena terlalu menyibukkan diri dengan pekerjaannya.

Demi melihat itu semua, pria itu menangis sejadi-jadinya. Dia menjadi merasa bersalah pada keluarganya. Dia akhirnya sadar mengapa anak-anaknya seperti menjauhinya, dan sekarang dia tahu kalau ternyata mereka sangat menyayangi ayahnya. Dia menyesal karena sering memarahi istrinya. Padahal tanpa istrinya yang setia, dia pasti tidak dapat mendidik anak-anaknya. Dia juga akhirnya tahu kalau istrinya selalu menghibur anak-anaknya setelah dia membentak mereka, "papa sayang kok sama Tasia, sayang juga sama kak Rasya. Cuma papa sekarang lagi sibuk kerja. Main sama mama aja ya."

Tuhan lalu mengajaknya masuk ke dalam sungai. Airnya dingin. Segar sekali rasanya. Setelah bisa mengendalikan emosinya, Tuhan menyuruh pria itu membasuh mukanya. Ada rasa lega yang dia rasakan. Angin yang membelai mukanya seolah-olah mengangkat semua beban pikirannya. Ada ketenangan yang luar biasa. Setelah itu, Tuhan mengangkatnya keluar dari dalam sungai, dan seperti ada pengering raksasa yang meniupnya, tubuhnya kering seketika itu juga, dan ada rasa hangat menyelimutinya.

"AnakKu, engkau sekarang sudah menjadi manusia baru. Tinggalkanlah kehidupanmu yang lama. Singkirkanlah pikiran dan prasangka buruk kepada orang-orang yang ada di sekitarmu. Aku sudah merencanakan semua, merencanakan setiap detail kehidupan tiap-tiap manusia. Untuk setiap beban yang Aku ijinkan terjadi dalam kehidupanmu, Aku juga memberimu kekuatan untuk itu. Sebab beban itu ringan dan pasti bisa engkau angkat walaupun engkau berkata itu berat. Untuk tiap masalah ada tujuannya. Agar engkau menjadi lebih kuat, juga agar engkau menjadi lebih percaya kepadaKu. Tiap manusia mempunyai masalahnya sendiri, dan itu Aku desain untuk mereka pribadi. Tidak ada kehidupan yang selalu menyenangkan. Tapi tidak ada juga kehidupan yang menyengsarakan. Karena Aku tidak pernah berjanji selalu akan ada hujan atau hanya akan ada panas. Aku hanya berjanji untuk memberi kekuatan saat engkau merasa lelah, dan memberi semangat saat engkau merasa tidak berdaya."


********/*******

Dari setiap cerita ‘curahan hati’ (curhat) orang-orang kepada saya, baik itu melalui email, SMS, atau telepon, saya belajar banyak hal. Salah satunya, saya belajar kalau ternyata masalah tiap-tiap orang itu spesifik, berbeda tiap detailnya. Tidak semua cerita tentang putus cinta itu sama. Tidak semua cerita tentang pertengkaran suami-istri selalu disebabkan hal yang sama. Tidak semua cerita tentang masalah di dalam keluarga akan mempunyai dampak yang sama. Semuanya berbeda. Semuanya mempunyai tingkat kerumitan dan akibat yang berbeda-beda bagi yang mengalaminya. Oleh karenanya, kita tidak bisa menyamaratakan setiap konflik atau masalah yang ada. Bukankah setiap cerita mempunyai keunikan tersendiri? Begitu juga dengan masalah yang dialami masing-masing individu di dunia ini.
"Cuma dipukul suami? Laporin aja ke polisi." Atau, "halah... cuma diputus pacarnya sampai mau bunuh diri. Cari dong wanita lain, kan masih banyak." Bisa juga, "apa sih susahnya kerja gitu? Paling-paling cuma duduk, nungguin pembeli, terima duit, beres kan?" dan tanggapan-tanggapan "yang menggampangkan" masalah orang, karena selalu merasa kalau masalah kita lah yang paling berat.

Padahal karena kita sudah pernah melewatinya, sehingga kita bisa mengatakan kalau hal-hal yang dianggap berat bagi orang lain itu mudah bagi kita. Atau mungkin karena kita belum pernah merasakannya, sehingga kita tidak bisa tahu apa yang benar-benar dirasakan oleh mereka. Tapi alasan utamanya, karena Tuhan sudah tahu jika masalah seberat itu datang kepada kita, kita pasti tidak bisa menanggungnya, sehingga Tuhan tidak mengijinkan hal yang berat itu terjadi dalam kehidupan kita.

Saya juga belajar bahwa masalah saya bukanlah yang terberat, karena saya masih bisa mengangkatnya. Sehingga saya masih bisa bersyukur karenanya. Saya tidak bisa bayangkan jika masalah si A terjadi dalam hidup saya, atau perkara si B dalam keluarganya saya alami di kehidupan secara nyata. Saya akhirnya bisa bersyukur karena tahu, ternyata ada orang-orang yang mempunyai beban yang lebih berat dari beban yang saya pikul.

Ada yang bercerita tiap hari dihajar oleh ayahnya karena dia bukan anak kandungnya, melainkan anak selingkuhan istrinya. Ada juga yang hidupnya "dirusak" oleh pacarnya sendiri, dihamili lalu ditinggal pergi. Ada anak yang selalu merasa dianak tirikan di keluarganya, selalu dinomor duakan oleh orang tuanya. Ada seseorang menelepon ingin bunuh diri, karena merasa wajahnya yang buruk rupa, sehingga tidak ada yang mau menikah dengannya. Ada si sulung yang selalu merasa disisihkan papa-mamanya, karena dia adalah hasil MBA (Married Because Accident). Bahkan ada seorang gadis yang dikawini ayah tirinya sendiri, setelah ditinggal mati ibunya yang bunuh diri!


Mungkin saya sudah menggugat Tuhan, jika kejadian atau hal-hal itu terjadi dalam kehidupan saya. Tapi Tuhan itu baik, karena Dia tidak pernah mengijinkan hal-hal yang Dia tahu tidak akan kuat ditanggung oleh saya, terjadi selama saya hidup di dunia. Dia juga membukakan mata saya tentang hal-hal yang mengerikan, yang terjadi pada kehidupan orang-orang di "sekitar" saya, sehingga saya bisa selalu bersyukur karenanya.

Jika suatu hari nanti kita mulai berpikir kalau Tuhan itu tidak baik kepada kita, cobalah untuk lebih membuka mata terhadap apa yang terjadi di sekitar kita. Sehingga pada akhirnya kita dapat berkata, "terima kasih Tuhan, Engkau ternyata baik padaku, dengan tidak mengijinkan masalah yang tidak dapat kupikul terjadi dalam kehidupanku."

Well, seperti yang teman saya katakan: itulah hidup ... harus selalu sawang sinawang.



"...pikullah kuk yang KUpasang dan belajarlah padaKU, karena AKU lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang KUpasang itu enak dan bebanKU pun ringan."
[Matius 11 : 29-30]



Yogyakarta, 19 Agustus 2010 (5:53 AM)

Saturday, August 14, 2010

Alasan adanya Penderitaan (?)

Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir? Seolah-olah bila kita membagi sejarah, maka yang kita jumpai adalah pengkhianatan. Seolah-olah dalam setiap ruang dan waktu kita hidup diatasnya.

Ya, betapa tragisnya.

Hidup adalah penderitaan, kata Budha, dan manusia tidak bisa bebas dari padanya. Bagiku, kesadaran sejarah adalah sadar akan hidup dan kesia-siaan nilai-nilai. Memang hidup seperti ini tidak enak. Happy is the people without history, kata Dawson, dan sejarahwan adalah orang yang harus mengetahui dan mengalami hidup yang lebih berat.
[Soe Hok-Gie]

Bukan, tulisan ini bukan soal Soe Hok-Gie. Tulisan berikut tentang pertanyaan-pertanyaan pribadi saya yang tidak bisa saya tanyakan pada siapapun, termasuk kepada seorang bapak yang baru saja "melakukan sesi curhat" dengan saya. Karena alasan etika, saya tidak bisa bertanya kepadanya. Tapi kisahnya akan saya tuliskan nanti.

Tulisan Gie saya kutip karena pertanyaan yang berputar di dalam kepala saya saat ini: mengapa hidup ini selalu menderita? Mengapa bahagia hanya sekejap mata, kemudian manusia kembali berkubang dalam genangan air mata? Mengapa manusia tidak belajar dari generasi sebelumnya? Mengapa saya hidup lama di dunia? 23 tahun sangat lama, entah masih berapa lama lagi saya harus menderita.

Sejarah dunia banyak bercerita tentang perlawanan yang berbuah kemerdekaan dan kebebasan, walau kemudian dengan alasan estetika dan sejenisnya, sering mengesampingkan cerita tentang pembantaian dan kematian oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya. Ada yang berperan sebagai penyiksa, pemerkosa, pemeras, pengkhianat, dan pembunuh. Dan tentu saja ada yang disiksa, diperkosa, diperas, dikhianati, dan dibunuh oleh sesamanya. Seakan-akan itulah yang dimaksud dengan "pengorbanan".


Apakah jika ingin menguasai berarti harus membantai? Apakah jika ingin merdeka harus memperkosa? Apakah jika ingin bertumbuh harus membunuh?


Kisah kekejaman manusia yang terakhir saya baca adalah mengenai Insiden Dili, Timor Timur, yang sekarang sudah menjadi negara tetangga. Dulu, militer yang berkuasa disana pernah membantai orang-orang tak bersenjata. Saya tahu adanya rantai komando di organisasi kemiliteran. Kopral patuh pada sersan, sersan patuh pada letnan, letnan patuh pada kapten, kapten patuh pada mayor, mayor patuh pada kolonel, kolonel patuh pada jenderal, dan jenderal patuh pada pimpinan komando tertinggi militer. Karena itu saya bertanya-tanya, siapakah yang bertanggung jawab atas peristiwa pembantaian manusia disana? Apakah pemimpin tertinggi komando militer di negeri ini? Kemudian saya bertanya lagi kepada diri saya sendiri, apakah bekerja menjadi tentara akan membuat hati nurani menjadi tidak lagi berfungsi?

Sebuah wawancara fiktif pernah saya pikirkan, seandainya saya bisa masuk ke dalam ruangan di hati para tentara, yang diperintahkan untuk membantai dan menyiksa orang-orang yang tak bersenjata.

Saya akan bertanya padanya, "mengapa anda melakukan itu semua?"

Tentara itu duduk tegak di hadapan saya, dan terdapat meja kecil diantara kami. Diatas meja itu ada selembar foto dirinya diberi salam oleh seorang jenderal bintang
empat, ketika dia menerima hadiah kenaikan pangkat.

"Saya sebenarnya tidak pernah tahu alasan kami mengadakan operasi militer di kota Ningi. (*)
Saya, batalyon kami, hanya diperintahkan untuk melawan sekelompok orang yang dianggap berseberangan paham dengan negara ini, oleh jenderal-jenderal tua yang tidak pernah ke medan perang, yang hanya bisa menerima dan membaca laporan, merundingkan perdamaian, kemudian menegoisasikan nyawa kami, seolah-olah kami ini hewan kurban."

Tentara itu kemudian menyorongkan tubuhnya ke depan, seolah-olah takut ada yang mendengarkan, dengan berbisik dia berkata, "hanya satu yang saya takutkan setelah melakukan ini semua, tidak, ada dua... yaitu jika saya ternyata membunuh orang benar dan yang tidak bersalah hanya karena perintah dari atasan yang hanya pernah saya lihat dari kejauhan, dan karma itu ditanggung anak cucu saya kemudian."

Dia terdiam sejenak. Kembali duduk dengan tegak. Menerawang jauh, tapi pandangannya kosong.

Setelah itu dia melanjutkan, "sampai hari ini, saya masih belum mengerti mengapa saya diperintahkan untuk menarik pelatuk senapan, menusuk lambung para gerilyawan, hingga memotong lidah dan mencungkil mata mereka. Kata letnan, hal itu dilakukan untuk mempertahankan kemerdekaan."

Lelaki itu menangis. Walau tidak mengeluarkan air mata, saya tahu dia menangis. Suaranya terdengar pilu dalam ruang di hati kecilnya itu saat dia berkata, "tapi kemerdekaan siapa?"
Setelah itu dia menatap mata saya. Seolah-olah mencari jawaban disana,
"kawan, apakah engkau tahu apa itu kemerdekaan?"

Saya tidak tahu, saya tidak bisa menjelaskan apa itu kemerdekaan. Yang saya tahu, orang di depan saya ini sekarang berpangkat letnan, dan ketika peristiwa itu terjadi dia masih berpangkat sersan.

Kemudian saya bertanya-tanya, apakah karena itu keluarga para tentara jarang ada yang bahagia? Selalu ada saja masalah disana. Terutama ada saja musibah yang menimpa anak-anaknya. Apakah itu karena karma?

Saya mengenal dua keluarga yang karir kepala keluarganya dari kalangan militer. Sudah purnawirawan. Yang satu pangkatnya kolonel, satunya lagi pangkatnya brigadir jenderal ketika pensiun. Anak-anaknya, ada saja tertimpa malapetaka. Ada yang meninggal, ada yang hamil diluar nikah, ada yang cacat karena kecelakaan, ada yang gagal hidup pernikahannya, hingga ada cucunya yang sering sakit-sakitan.
Pertanyaan saya berlanjut. Bagaimana jika seandainya mereka bukan dari keluarga tentara? Apakah mereka akan hidup bahagia? Apakah mereka tidak pernah ditimpa bencana?

Pikiran saya meluas. Apakah penderitaan di negeri ini karena sejarah kelam masa lalunya? Sejarah tentang perebutan tahta kekuasaan, pengkhianatan, hingga pertumpahan darah untuk merebut daerah kekuasaan. Tentang penjarahan, tentang pembakaran gedung bangunan, tentang pemerkosaan, tentang penculikan, tentang pembantaian, tentang kejahatan-kejahatan manusia lainnya yang kemudian dikutuk oleh mereka yang teraniaya. (**)

Hingga kemudian saya berpikir: jangan-jangan satu per satu penderitaan dalam hidup ini karena salah manusia sendiri.

Seorang bapak, entah siapa namanya, barusan saja curhat (bercerita) kepada saya. Dia dulunya adalah "penikmat wanita" sejak duduk di bangku SMA. Sudah tak terhitung lagi berapa kali dia bercinta, tidak ingat juga berapa banyak wanita yang sudah ditidurinya. Dari mulai yang masih perawan, hingga yang "sudah langganan".
Singkat cerita, dia bertobat. Katanya karena sudah menemukan yang tepat. Setelah menikah, dia dikaruniai dua (2) orang putri dan satu (1) putra.
Saat anak pertamanya tumbuh dewasa, dia selalu khawatir ketika anaknya itu pergi dengan teman laki-lakinya. Entah kenapa, dia selalu melihat bahwa semua laki-laki itu sama saja seperti dirinya. Bapak ini selalu terbayang masa lalunya. Malah saking takutnya, dia pernah menyuruh semua anak perempuannya dilarang bergaul dengan laki-laki. Tapi yang terjadi, anak-anaknya malah semakin menjauhi bapaknya karena larangan yang dianggap terlalu otoriter ini. Anaknya, putri sulungnya, sekarang sudah masuk SMA. Bapaknya hanya bisa berdoa semoga semua anak perempuannya tidak menjadi korban laki-laki versi dirinya 30 tahun yang silam.

Ah, seandainya Tuhan tidak membalaskan kesalahan seorang bapak kepada anak-anaknya...


"...sebab Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku," [Keluaran 20 : 5]

"Tuhan itu berpanjangan sabar dan kasih setia-Nya berlimpah-limpah, Ia mengampuni kesalahan dan pelanggaran, tetapi sekali-kali tidak membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, bahkan Ia membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat." [Bilangan 14 : 18]


Yogyakarta, 14 Agustus 2010 (01:38 AM)

(*) Kota di buku "Saksi Mata" yang menceritakan Insiden Dili (Seno Gumira Ajidarma)
(**) Ketika menulis paragraf ini, saya teringat akan peperangan saat jaman kerajaan masih ada, hingga jaman pendudukan Belanda, dan semua penumpasan pemberontakan atau kerusuhan di era orde baru maupun orde lama

Thursday, August 12, 2010

Belajar dengan Meniru

Kalau dipikir-pikir kembali, semuanya sudah pernah ditulis. Semuanya sudah pernah diucapkan. Engkau belum pernah membaca atau mendengarnya, karena mereka yang menulis dan mengatakannya belum menjadi orang yang terkenal di dunia.

Jika kamu berniat menulis tentang cinta, sudah ada Shakespeare yang dulu sudah menuliskannya. Atau Kahlil Gibran, Nicholas Sparks, Marga .T, hingga Dewi Lestari yang lebih apik menuliskan cerita cinta.
Jika kamu berniat menulis tentang misteri, sudah ada Agatha Christie dengan kisah "Hercule Poirot"nya. Atau Alfred Hitchcock, Sir Arthur Conan Doyle, hingga Dan Brown yang menulis misteri kode Da Vinci.
Jika kamu berniat menulis tentang petualangan, sudah ada CS. Lewis dengan kisah Narnia yang terkenal dimana-mana. Atau JRR Tolkien, Ted Elliot, hingga Andrea Hirata yang menulis petualangannya hingga Eropa dan Afrika.

Jadi lupakan saja niatmu untuk menulis atau membuat naskah cerita untuk difilmkan. Kecuali kamu mempunyai ide yang benar-benar baru untuk diceritakan, barulah kamu bisa menjadi penulis. Kalau tidak, jadilah pelukis.

Kata-kata yang bodoh, bukan? Tapi kadang, oleh beberapa orang, kata-kata itu sungguh-sungguh mereka yakini, hingga akhirnya beberapa potensi lahirnya penulis baru mulai tereliminasi.

Meniru bukan tindakan yang bersifat plagiat. Berbeda, sangat berbeda. Plagiat berarti mencontek persis dari apa yang ditirunya. Tapi peniru, dia berimprovisasi dan memberikan tambahan inisiatif terhadap hal yang ditiru. Peniru ada banyak di sekitar kita. Hal itu tidak salah, karena dengan adanya peniru, karya-karya baru selalu tercipta setiap harinya.

Film "Avatar", "Surrogates", dan yang terkenal belakangan ini: "Inception", film-film itu meniru dasar pemikiran film Matrix Trilogi.
Ide: pikiran manusia bisa dipindahkan dan menjadi bentuk lain, menjadi pencitraan diri yang berbeda di dunia maya. Apakah salah? Tidak menurut saya. Dari sebuah ide yang baru, kemudian dikembangkan menjadi beberapa bentuk cerita yang memberi inspirasi baru. Atau ide: manusia berperang dengan robot di jaman yang akan datang. Akhirnya banyak diaplikasikan dalam film, misalnya: "I, Robot", "Terminator", dan yang paling terkenal tentu saja "Transformer". Atau adegan di sebuah film yang mirip dengan sebuah adegan di film lainnya. Ada yang salah? Menurut saya sah-sah saja. Pikiran manusia bisa saja sama, atau terilhami dari hal-hal yang memang sudah pernah dilihat sebelumnya.


Bisnis. Dunia perbankan misalnya. Yang pertama kali membuat inovasi internet banking adalah LippoBank. Kemudian bank lainnya meniru apa yang telah dilakukan oleh LippoBank. Hasilnya, layanan internet banking yang terbaik saat ini bukan lagi LippoBank, melainkan BCA, yang biarpun bukan yang pertama, hanya meniru, tapi menjadi yang terbaik.

Musik. Banyak hal yang unik di dunia musik tentang "meniru". Gaya panggung Nidji meniru Coldplay, Sherina meniru Vanessa Carlton, Netral meniru Blink 182, dan masih banyak lagi yang lain. Bahkan dalam nada-nada lagu yang berbeda, ada saja yang terdengar sama, tapi tentu saja memiliki lirik yang berbeda.
Lagu "Twinkle-Twinkle Little Stars" dengan lagu "ABCDEFG", atau lagu "Burung Kakaktua" dengan lagu "Topi Saya Bundar". Bahkan lagu "Kasih Tak Sampai" milik Padi, mempunyai nada yang sama dengan bagian lagu "Mencintaimu" yang dinyanyikan Krisdayanti. Coba nyanyikan: "tetaplah menjadi bintang di langit..." dan "hanya satu yang tak mungkin kembali..." gimana, nadanya sama kan?
Atau yang menggelikan dua lagu yang bisa dimix jadi satu... "Ada Apa Denganmu" milik Peterpan dengan soundtrack film anak-anak, Sinchan. Coba nyanyikan: "kutanya malam, dapatkah kau lihatnya perbedaan, yang tak terungkapkan, tapi mengapa ... hanya aku yang dimarahi? Di musim panas merupakan hari bermain gembira, oh senangnya, aku senang sekali." Bisa kan? hehe.. *ah, semakin ngelantur saja*

Begitu juga dengan tulisan. Tiap penulis mempunyai pandangannya masing-masing tentang cinta, kehidupan glamor di kota, misteri-misteri dan teka-teki di sekitarnya, petualangan hidupnya, dan sebagainya. Memang semua ide-ide itu sudah pernah dituliskan, tapi apakah duniamu sama dengan dunia penulis cerita detektif Conan? Apakah lingkunganmu sama dengan lingkungan di kehidupan Dewi Lestari? Berbeda bukan? Sangat berbeda. Karena hanya ada satu kamu, juga tidak pernah ada satu orang pun sebelum dirimu yang sama persis seperti kamu, yang melihat cinta sama persis dengan caramu melihatnya. Tidak ada. Meski mungkin saja tingkat emosinya sama.

Saya pribadi selalu menyukai dan mengingat kata-kata ini:
Saya sekarang percaya bahwa di dunia ini tak ada foto baru dan hanya ada beberapa cerita baru. Kebanyakan merupakan kombinasi ulang hal-hal yang pernah diceritakan sebelumnya -- kombinasi yang luar biasa. Tapi yang baru, segar, dan asli adalah kacamata yang digunakan sang penulis untuk melihat berbagai situasi ini. Anugerah kita, dan dengan demikian tanggung jawab kita sebagai penulis, adalah untuk memandang berbagai situasi kehidupan dengan cara kita yang unik dan melaporkan kebenaran makna dan nilainya kepada publik pembaca supaya mereka bisa mempunyai wawasan yang segar mengenai kondisi manusia. Masing-masing dari kita unik di alam raya ini, sehingga demikian juga kisah-kisah yang kita tuturkan.
[Elisabeth Engstrom]


Atau sebuah quote dari pak Mario Teguh di salah satu sesi program acaranya,
Bagi yang selama ini jengah meniru, karena direndahkan oleh orang lain kalau meniru, dengarkan ini: saya, Mario Teguh adalah peniru. Seluruh proses belajar saya adalah meniru. Saya meniru luas, dalam, detail, sungguh-sungguh dalam meniru, untuk kemudian menjadi sulit ditiru. Pada saat anda sulit ditiru, anda menjadi original, walaupun anda mencapainya melalui peniruan. Mulai dari sekarang anjurannya kepada kita adalah menirulah orang-orang yang baik. Pilihlah pribadi-pribadi terkemuka dalam industri atau dalam karir anda, tirulah dia, tirulah untuk menyamainya, kemudian tirulah untuk melebihinya. Selalu lihat diri Anda sebagai pribadi yang bisa menjadi lebih. Karena anda bisa akan mencapai lebih dengan menjadi lebih. Selalu upayakan untuk menjadi lebih, lalu perhatikan apa yang terjadi.


Tidak ada yang salah dengan meniru. Meniru hal yang baik akan membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik. Bukankah sejak bayi kita selalu belajar meniru? Meniru orang tua kita makan, meniru kakak kita bersepeda, meniru kakek kita duduk bersila, dan lain sebagainya. Kita bertumbuh karena kita meniru orang lain yang sudah terlebih dahulu melakukannya.

Jadi, tuliskanlah apa yang ingin kamu tulis. Ceritakan apa yang ingin kamu katakan. Tidak perlu berpikir, "nanti bukuku dibilang niru si A, si B, si C," atau takut kalau nanti dikatakan plagiat. Selama karyamu itu ide baru yang ada di kepalamu, hasil dari kamu belajar meniru orang-orang yang lebih dahulu melakukannya dibanding dirimu, janganlah ragu. Kita belajar dari lingkungan, dan masing-masing orang mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap apa yang dilihatnya.
Laporkanlah itu melalui tulisanmu, sesuai gaya menulis dan sudut pandangmu. Setiap hal baru yang dialami seorang penulis, itu berarti cerita baru untuk ditulis.

Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan meniru.
Yang salah itu namanya keliru *halah, gak penting* :D

Yogyakarta, 12 Agustus 2010 (5:25 PM)

Wednesday, August 11, 2010

"Pole Position Gak Penting..."

Kimi Matias Raikkonen, mantan juara dunia F1 2007, pernah berkata seperti itu saat masih membalap untuk McLaren Mercedes. "Posisi start tidak penting. Sepanjang balapan pasti ada saja kejadian tidak terduga. Anda juga tidak pernah tahu apa yang terjadi di dalam kokpit lawan anda selama race berlangsung." Singkat, padat, dan jelas. Begitulah Iceman, julukan Raikkonen, selalu berbicara. Tidak pernah panjang lebar, tapi "saya lebih suka berbicara di lintasan." Talk less do more istilahnya. Hal ini dia buktikan pada GP Jepang 2005, saat menjadi pemenang, setelah start dari urutan belakang (17). Salah satu kemenangan fenomenal dalam sejarah Formula 1. Sepanjang balapan dia terus mendahului lawannya satu per satu, hingga beberapa tikungan sebelum finish, dia menyalip Fisichella, pembalap Renault yang memimpin jalannya lomba, dan akhirnya Raikkonen menjadi juara. Siapa yang menyangka? Tidak hanya dalam ajang kebut-kebutan mobil F1, semua pertandingan yang melintasi suatu jarak, entah itu balap sepeda, balap motor, hingga lomba lari marathon, peserta yang start paling depan belum tentu akan menjadi juara di garis finish. Begitu juga dalam arena kehidupan. Posisi awal yang buruk, belum tentu akan berakhir dengan hal yang sama. Kita semua "berlari", berpacu dengan waktu untuk melintasi suatu jarak (antara kelahiran dengan kematian), dan diantara rentang waktu itu, banyak hal yang bisa terjadi. Kita terlahir dalam keluarga yang serba kekurangan, penuh pertikaian, dan tidak pernah mendapat apa yang kita inginkan. Start yang buruk, kita lahir dalam keluarga yang tidak sesuai dengan harapan kita. Tapi itu bukan berarti kita akan kalah dalam pertandingan kehidupan. Atau kita terlahir dalam keluarga yang serba berkecukupan, berlebihan malah. Kita berada dalam keluarga yang kelebihan kasih sayang, kelebihan materi, kelebihan makanan, dan kelebihan-kelebihan yang lain, yang tidak semua orang bisa dapatkan dan rasakan. Start yang baik, kita lahir dalam keluarga impian kebanyakan orang. Tapi itu bukan berarti juga kita akan menang dalam pertandingan kehidupan. Takdir manusia hanya kelahiran dan kematian. Kita, manusia, tidak bisa memilih tanggal cantik atau siapa orang tua saat lahir. Kita juga tidak bisa memilih hari baik atau cara yang enak saat mati. Tapi nasib, kita yang menentukan. Nasib itu 100% dalam genggaman kita, dan kita harus bijak dalam menentukan pilihan-pilihan dengan menggunakan hikmat dari Tuhan. Jangan salahkan Tuhan jika hidup kita menjadi hancur berantakan, kemudian hidup pernikahan berakhir dengan perceraian, hingga kita terjebak dalam lumpur kemiskinan. Jodoh di tangan Tuhan? Betul. Tapi bukankah kita yang memilih pasangan dan menjalani kehidupan pernikahan? Rejeki juga di tangan Tuhan. Tapi bukankah kita yang memilih cara mendatangkan rejeki? Bagaimana kita bisa menyalahkan Tuhan? Padahal dalam menentukan pilihan, kita tidak pernah meminta pendapat dan saran dari Tuhan. Hingga kemudian nasib kita salahkan, atau malah keliru mengatakan kalau itu semua adalah takdir ... hidup dalam keluarga broken home, miskin, dan selalu melihat kekerasan setiap hari. Meratapi nasib? Boleh-boleh saja sih. Tapi mau sampai kapan? Tidak ada yang tahu hari esok. Tidak ada yang bisa diubah dari masa lalu. Yang kita miliki adalah hari ini. Sekarang ini. Jadi lakukanlah yang terbaik, apa yang bisa dilakukan saat ini.
Orang kaya tidak selamanya kaya, dan orang miskin tidak selamanya miskin. Ungkapan, "yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin," saya rasa hanya sebuah pemikiran dari orang yang tidak mau berusaha. Roda kehidupan itu memang berputar, tapi itu terjadi karena ada usaha untuk memutarnya. Saat sudah "diatas", sudah kaya dan mapan, tapi kemudian berhenti berusaha untuk menghentikan putaran roda kehidupan, ya dia pasti akan berada di bawah lagi. Begitulah prinsip roda kehidupan yang saya lihat dan rasakan. Tidak ada hal yang pasti di kehidupan ini.
Mungkin saat ini kita sedang berada di titik nadir kehidupan. Merasa disudutkan kenyataan yang tidak sesuai harapan, merasa lemah karena tidak bisa melawan kenyataan. Atau saat ini kita sedang berada di puncak dunia. Merasa menjadi orang paling bahagia sedunia, dan merasa kuat karena dukungan-dukungan orang di sekitar kita. Tapi itu semua tidak berlangsung selamanya kawan. Itu semua hanya sebuah momen, hanya sebuah fase dalam kehidupan. Itu semua hanya berlangsung saat ini, detik ini. Detik berikutnya, itu semua akan berlalu, hanya akan menjadi sebuah kenangan dari masa yang telah lalu. Ada dua jenis tahapan keberhasilan. Satu, jika kita sudah memperoleh apa yang dulu kita inginkan, kita bisa mengatakan bahwa itu sebuah keberhasilan. Dua, untuk yang sedang kita inginkan selanjutnya, yang akan kita capai setelah keberhasilan pertama kita dapatkan. Jadi, jangan pernah berhenti saat merasa berhasil, karena kita akan berhenti berusaha untuk menjadi lebih berhasil lagi. Jadi, sedang berada di titik manakah kita saat ini? Apakah sedang berlari, sedang berhenti, atau malah sedang keluar lintasan karena merasa tidak kuat lagi? Apapun itu, jangan pernah berpikir untuk kalah dan berhenti. Karena apapun yang terjadi sekarang, tidak pernah menentukan hasil akhir "perlombaan" dalam arena kehidupan. "Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya!" (I Korintus 9:24) *) Gambar podium GP Jepang 2005 dicomot dari sini. **) Gambar overtake Raikkonen terhadap Fisichella diambil dari sini. ***) Kimi Raikkonen saat ini mengikuti WRC bersama Red Bull Citroen.

Tuesday, August 10, 2010

Dia Setia

2 Timotius 2:13
"... jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya."

Pernah nggak kamu alami saat-saat di mana Tuhan sepertinya meninggalkan kita? Tuhan serasa tidak peduli lagi pada kita, walaupun hati kita menangis dan berteriak, dan kita kadang nggak habis pikir kenapa Tuhan biarkan kita berjalan sendirian.

Contoh kehidupan Yusuf: Dikasih mimpi yang indah (Kejadian 37:5-11) >>> besoknya masuk sumur >>> dijual dan jadi budak. Baru saja meniti karir, sudah difitnah dan jadi Bang Napi. Yusuf ngalami itu semua tidak dalam waktu yang singkat, kira-kira 13 tahun.
Atau contoh kehidupan Ayub: Dalam satu hari semua hartanya ludes, semua anaknya mati, istrinya meninggalkannya, dan ia terkena penyakit borok.

Ngeliat dari dua tokoh ini saja, seakan Tuhan tidak peduli pada umatNya. Tapi apa benar Tuhan meninggalkan Yusuf pada waktu di sumur dan di penjara? Apa benar Tuhan meninggalkan Ayub saat sendirian?

Jangan pernah punya pikiran seperti itu. Tuhan nggak keliatan, tapi bukan berarti Tuhan meninggalkan kita. Memang ada kalanya Tuhan mengijinkan hal yang tidak enak terjadi pada kita, tapi bukan berarti Tuhan enggak peduli. Tuhan sangat peduli pada kehidupan kita, bahkan Ia sangat menyayangi kita seperti seorang Bapa sayang pada anaknya. Tapi ada kalanya Tuhan mendidik kita agar tidak menjadi ”anak gampang” yang mudah menyerah pada keadaan.

Pada saat Yusuf di sumur dan di penjara, saya percaya Tuhan menemani dia. Juga saat Ayub sendirian, saya percaya Tuhan juga turut merasakan apa yang ia rasakan. Jangan pernah meragukan kesetiaan Tuhan, Ia mengijinkan semua itu terjadi hanya untuk mendatangkan kebaikan pada diri kita pada akhirnya.

Kenapa kita harus ragu pada kasih setia Tuhan? Percayalah sekalipun kita tidak melihatnya.


Situasi yang kita hadapi seringkali tidak menyenangkan dan tidak seperti yang kita harapkan. Tetapi janji Tuhan selalu baik dan amin. Bila kita mengasihi Dia dengan segenap hati dan kita hidup di dalamNya, sekalipun kelihatannya buruk dan tidak ada harapan, hal itu akan diubahkan menjadi keuntungan bagi kita dan membawa kemuliaan bagi namaNya.

Percayalah pada Tuhan sebab Dia setia.

Monday, August 9, 2010

Kotak Yang Tak Kasat Mata

Maaf, kalau tulisan berikut menyebutkan beberapa "merk".

"Bu, disuruh mama beli Rinso 5 sachet," kata Kevin, anaknya Parah Cin, suatu kali saat disuruh pergi ke warung. Penjaga warung yang sudah hafal dengan merk yang biasa dipake mamanya Kevin, langsung saja memberikan merk deterjen lain seperti biasanya.

Ato suatu saat yang lain.

"Pak, kapan mau beliin Honda buat Dimas? Dia kan udah kuliah sekarang." kata seorang istri kepada suaminya. Bukan merk motor Honda, tapi maksud istrinya suruh beli motor.

"Ma, Odol habis nih. Mau sikat gigi gak bisa," kata seorang suami pada istrinya. Padahal suaminya memegang merk lain, tapi istrinya tahu maksudnya, dia perlu membeli pasta gigi yang baru.

"Pak, Sanyo rusak. Gak bisa masak air." (yang dimaksud adalah pompa air, apapun merknya)
"Mas, beli Nokia. Hape lama saya rusak." (yang diinginkan hanya membeli ponsel baru, apapun merknya)
"Buatin Indomie rebus pake telor." (hanya ingin makan mie instant, apapun merk yang ada di dapur)
"Mbak, Aqua satu botol ya." (yang diberikan adalah sebotol air mineral, apapun merknya)

********/*******

Ya, itulah hal-hal yang sering terjadi di masyarakat kita. Sering memberikan label atau cap tersendiri, sesuai yang mereka inginkan. Mereka gak peduli, apakah orang lain tahu maksudnya atau tidak. Yang ada di benak mereka, Rinso itu berarti deterjen, dan Sanyo adalah pompa air. Titik. Perkara nantinya salah kaprah, salah ngasih barang, itu urusan belakang. Kalau sudah tahu sih gak masalah, cuma kalau orang yang belum mengenal sifat atau kebiasaannya, bisa jadi masalah.

Hal inilah yang kemudian terbawa-bawa sampai ke pergaulan di lingkungannya.

Kemarin malam, saat saya makan di angkringan, seorang bapak nyeletuk pada temannya.

"Wong batak ki nek ra dadi preman utowo pengacara, mesti dadi koruptor." (Orang batak itu kalau gak jadi preman atau pengacara, pasti jadi koruptor).

Saya sendiri yang sebagai orang batak, jelas tidak terima. Nyatanya saya bukan preman, pengacara, apalagi koruptor. Kalau istilah saya, masyarakat kita suka men-generalisasi-kan sesuatu. Ya itu tadi, suka memberi label kepada sekelompok benda atau manusia, berdasarkan "merk" yang paling terkenal diantara kelompok sejenis. Padahal, tiap manusia itu berbeda, mempunyai keunikan tersendiri. Mempunyai ciri khas masing-masing. Kalau ibarat makanan, masing-masing kita mempunyai rasa yang unik. Memang, banyak jenis soto yang dijual di pinggir jalan, tapi apakah semuanya mempunyai rasa yang sama? Soto di Sagan dan di jalan Mangkubumi, jelas berbeda rasanya, meskipun mempunyai jenis yang sama, yaitu soto kudus.

Terkait kasus makelar pajak, yang kebetulan, nama yang paling tenar disebut media adalah Gayus Tambunan, seorang batak. Apakah itu berarti semua marga (klan) Tambunan itu koruptor? Apakah itu berarti semua orang batak pada umumnya, juga seorang koruptor? Bagaimana jika yang tertangkap adalah orang Jawa? Apakah itu berarti semua orang Jawa itu juga koruptor? Pikiran yang sangat picik, bukan?

Sebuah adegan di film Cin(T)a, saat Annisa mengetahui kalau Cina bekerja part time untuk menghidupi dirinya. Kemudian Cina bilang, "gak semua orang Cina itu kaya". Cina tahu, kalau Annisa punya mindset demikian, bahwa semua orang Cina itu kaya. Nyatanya, tidak demikian. Lihat saja orang Cina yang hidup di luar pulau Jawa pada umumnya. Bahkan orang Cina yang hidup di Sintawang, banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Inilah mindset yang salah, yang harus masyarakat bangsa ini ubah. Cara berpikir yang sempit, yang bisa merusak persatuan bangsa ini. Cara berpikir yang picik, yang bisa membuat perpecahan.

Apakah karena pelaku bom di negeri ini semuanya muslim, lalu kita bilang, muslim itu teroris? Hingga kita selalu waspada saat melihat perempuan bercadar dan lelaki berjenggot. Nyatanya, banyak kan muslim yang baik? Yang bisa hidup bermasyarakat dengan damai. Mengapa harus memberi label demikian terhadap semua orang muslim?

Apakah karena negara Amerika Serikat dan sekutunya menyerang Irak, sehingga kita anti terhadap semua warga negara Amerika Serikat? Menyebut mereka semua adalah penjahat perang atau orang kafir? Hingga beberapa orang selalu antipati saat melihat turis asing yang sedang berjalan-jalan di pusat keramaian, sambil berpikir bahwa mereka adalah agen CIA atau sejenisnya. Belum tentu turis itu juga seorang agen CIA atau orang Amerika. Bisa saja turis itu berkewarga negaraan Australia atau Eropa.

Apakah karena kebanyakan motor yang masuk bengkel adalah merk Honda, hingga kita bilang bahwa Honda itu jelek? Pernahkah kita berpikir, mengapa di pulau ini, kebanyakan pasien yang dirawat di rumah sakit adalah orang Jawa? Bukankah itu karena populasi orang Jawa lah yang terbanyak di pulau ini? Hal ini juga sama dengan kasus merk motor yang banyak masuk bengkel tadi.

Apakah karena kita melihat, segelintir orang Papua sering berbuat onar dan mabuk-mabukan, hingga kita berkata kalau orang Papua hidupnya gak ada yang beres? Atau kita melihat orang Sunda yang suka kawin-cerai, hingga kita berpikir kalau semua orang Sunda hidup perkawinannya gak ada yang benar. Dan seterusnya.. dan sebagainya..


********/*******

Ayolah, coba kita ubah cara berpikir sempit seperti itu. Hal ini, disadari atau tidak, membuat kita hidup dalam kotak-kotak yang tak kasat mata, yang lama kelamaan, bisa merusak persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.

Saat kita melihat Gayus Tambunan korupsi, ya lihatlah personalnya, jangan lihat dia orang suku apa.
Saat kita tahu Dulmatin seorang teroris, ya lihatlah personalnya, bukan apa agamanya.
Saat kita dikhianati seorang Makassar, ditipu seorang di Jakarta, dianiaya seorang bonek Surabaya, dan lain sebagainya. Cobalah untuk lebih melihat personalnya, jangan lihat dia darimana, orang mana, suku apa, agamanya apa, siapa orang tuanya, siapa keluarganya, dan lain-lainnya.

Toh, dia yang berbuat, bukan orang-orang dari sukunya atau orang-orang yang seagama dengannya.

Bukankah isu SARA adalah isu yang paling sensitif untuk memprovokasi massa? Hal inilah yang harusnya kita bisa lihat, agar kita bisa lebih bijaksana, saat akan bertindak dan berbuat, untuk sebuah kemajuan bangsa dan negara.

Pada akhirnya, hal itu juga untuk kebaikan kita bersama.

"Aku menyukai semua manusia... hanya saja, aku membenci iblis yang ada di dalam diri mereka."
(Italian Job The Movie)




*) Untuk Indonesia yang lebih baik.

Yogyakarta, 6 April 2010 (11:27 AM)

Terbiasa Berdosa

Beberapa waktu lalu, saat saya jalan bersama teman sepulang makan siang, saya berkata padanya: "enak ya punya rumah di pinggir jalan gini, deket kawasan perkantoran, tinggal buka usaha warung makan, pasti laris."
Teman saya lalu menjawab, "malah gak enak. Berisik."
"Lha kalau udah biasa, lama-lama kan gak kedengeran lagi berisiknya. Sama kayak orang yang rumahnya dekat rel kereta api. Awal-awalnya pasti terganggu dengan suara kereta api, lama-lama udah biasa, seolah-olah gak dengar lagi kalo kereta api sedang lewat."
Teman saya lalu menepuk pundak saya, "nah itu boi bahayanya kalo udah terbiasa. Jadi gak mawas lagi."

Saya kemudian teringat sebuah acara talkshow di salah satu stasiun TV swasta nasional. Tergelitik dengan salah satu sesi acaranya, ketika para bintang tamu disuruh membuat pengakuan dosa di hadapan pemirsa televisi. Perihal perbuatan dosa yang selalu teringat dalam benak mereka. Yang menarik, salah satu bintang tamu di acara itu berkata bahwa dia tidak mempunyai pengakuan dosa yang harus dikatakan. Padahal bintang tamu lain sudah menceritakan tentang "dosa-dosa masa lalu"nya, dari mulai suka bolos sekolah, sampai makan di warung gak bayar. Tapi saat giliran bintang tamu itu harus mengucapkan pengakuan dosanya, dia bingung mau bilang apa. Apa karena kebanyakan dosa jadi bingung nyebutinnya, atau karena dia merasa hanya melakukan dosa-dosa kecil saja, sehingga merasa itu semua bukanlah dosa? Entahlah...

Bagi saya, tidak ada dosa kecil maupun dosa besar. Dosa tetap dosa, seberapa remehnya hal yang telah dilakukan, jika melanggar perintah Allah, itu artinya dosa. Dan apapun bentuknya, berapa besar efeknya tehadap hidup kita atau orang lain, itu tetaplah dosa.

Pernah, seorang teman di facebook menulis status: "memfitnah orang demi kebaikan salah gak sih?"

Seolah-olah, dia berpikir kalau sebuah kesalahan bisa ditutupi dengan sebuah kebaikan. Mungkin karena pengaruh film Robinhood, seseorang yang mencuri harta orang kaya untuk menolong orang miskin, hingga kemudian disebut sebagai pahlawan. Tapi apapun yang Robinhood lakukan dengan harta curiannya, dia tetaplah pencuri. Dan tindakan mencuri itu tetaplah dosa. Atau yang masih fresh di ingatan kita, saat seorang aktor gaek coret-coret di atap gedung MPR/DPR. Memang tindakannya (katanya) murni menyampaikan kekesalan dan aspirasi rakyat negeri ini yang gerah dengan sikap para wakilnya di Senayan. Tapi apakah perbuatan mencoret-coret gedung yang bukan hak miliknya merupakan tindakan yang terpuji? Kalau hal ini dibiarkan, aksi anarkis untuk menyampaikan aspirasi lama-lama akan dianggap hal yang biasa dan lumrah. Tapi apakah ini sebuah cara berpikir yang benar?

Saya pribadi juga disadarkan dengan hal itu. Saya dulu merasa kalau bohong kecil-kecilan, nyuri kue dari meja makan, nerobos lampu merah, nonton filmnya orang yang mirip Ariel-Luna, jualan gak jujur, hingga ngumpat di jalanan, itu semua bukanlah sebuah dosa, karena itu seperti sebuah kebiasaan. "Ya, karena semua orang melakukan..." begitu pikiran saya. Tapi akhirnya saya sadar, biar bagaimanapun, dengan alasan apapun, hal-hal itu tetaplah dosa di mata Allah, dan saya tetap harus mengakuinya di hadapanNya, dan memohon ampun akan itu semua, sambil berusaha tidak melakukannya lagi.

Dulu saat SMA, sekolah saya terletak di dekat tempat pembuangan sampah sementara. Hanya berjarak 50 meter dari gerbang sekolah. Pada awalnya baunya sangat mengganggu. Saat melintas di dekatnya, saya harus menutup hidung. Tapi setelah setahun bersekolah di tempat itu, bau sampah itu sudah tidak mengganggu lagi. Tiap hari, saat pulang maupun berangkat sekolah, saat bermain di dekat tempat sampah, hingga makan di sekitar tempat pembuangan sampah itu, saya sudah tidak mencium bau busuk lagi. Ya, karena udah biasa sih. Malah kadang kalau gak ada lagi “aroma khas” sampah, rasanya seperti ada yang hilang, seperti ada yang kurang.

Sikap terbiasa untuk hal-hal buruk inilah yang salah. Seharusnya tanamkan sikap untuk selalu mawas diri dari rasa nyaman akibat rutinitas, yang jangan-jangan sudah menjadi kebiasaan, dan ternyata itu adalah kesalahan yang selalu dibiarkan.

Saya penasaran. Jangan-jangan budaya korupsi di negara ini sulit diberantas karena para pelaku korupsi sudah terbiasa mengambil hak yang bukan miliknya. Atau budaya seks bebas di negeri ini demikian subur karena para pelakunya sudah terbiasa “tidur” dengan orang yang bukan pasangannya. Juga kleptokrasi yang sudah menjadi kebiasaan: dengan memberi “uang damai” kepada polisi saat ditilang, menarik “uang lelah” saat mengurus KTP/KK (yang seharusnya gratis), dan lain sebagainya. Sebuah perilaku yang salah dan berdosa, tetapi karena sudah biasa, jadi hilang rasa bersalah saat melakukannya. Bahaya yang tidak terlihat oleh mata : karena sudah biasa!

Ada dialog dalam film “Pintu Terlarang” yang saya ingat sekali.
Sudah berapa kali aborsi?
Pertama kali.
Mm.. first timer..
Hening sejenak.
Waktu pertama kali kami menggugurkan anak kami kemari, pulangnya kami tidak bisa tidur selama seminggu. Yang pertama rasanya seperti pembunuhan. Yang kedua, masih merasa bersalah. Tapi selanjutnya, seperti rutinitas, kayak makan malam di restoran.

Yang menarik perhatian saya saat kalimat “...tapi selanjutnya, seperti rutinitas...” diucapkan. Ada penegasan dialog disana. Aborsi itu pembunuhan, tapi karena rutin dilakukan, jadilah sebuah kebiasaan, seperti makan malam di restoran. Mungkin juga karena itulah seorang pembunuh yang sudah sering membunuh, saat melakukan pembunuhan untuk kesekian kalinya, sudah tidak memiliki perasaan bersalah saat merajang korbannya seperti merajang bawang berambang. Ah, jadi inget Ryan Jombang. Juga teroris yang masa kecilnya kurang bahagia, saat sudah besar jadinya suka ledakkin “petasan” dan bikin “kembang api” dimana-mana, bisa-bisanya tersenyum senang saat melihat korban tewas atau korban luka-luka akibat petasan yang dia ledakkan.

Terbiasa dengan sesuatu yang salah bisa jadi termasuk gangguan kejiwaan.

Takutnya, jika hal-hal yang salah jadi dianggap biasa, hal-hal itu kemudian akan menjadi sebuah budaya. Budaya korupsi, budaya main hakim sendiri, budaya kampanye ngobral janji, budaya kekerasan yang (akhir-akhir ini) dibudidayakan oknum FPI, budaya aborsi, budaya seks bebas, budaya MBA (Married Because Accident), budaya artis pakai narkoba, dan lain sebagainya. Saya takut masyarakat sudah gak peka karena sudah terbiasa dengan hal-hal itu di sekitarnya. Dan bahayanya lagi, ketika orang-orang yang sudah terlanjur “berbudaya buruk” itu melakukan pembelaan-pembelaan dengan pembenaran apa yang telah mereka lakukan dan budayakan. Lak wis ngawur tenan!*

Oleh karenanya, jangan suka membiasakan diri terhadap sesuatu yang salah. Saat pertama kali melakukan dan merasa bersalah, STOP sampai disitu saja. Ada pepatah: “apa yang terjadi satu kali tidak bakal terjadi lagi. Tapi apa yang terjadi dua kali, pasti akan terjadi untuk ketiga kali.” Dan selanjutnya, terserah Anda.

Jadi biasakanlah melakukan hal-hal yang baik. Apa saja hal-hal baik itu? Anda sudah tahu. Hal-hal yang biasanya susah untuk dilakukan (pada awalnya). Tapi jika sudah terbiasa melakukan hal-hal baik, dan menjadikan sebuah kebiasaan baik, niscaya sebuah budaya baik akan tercipta dengan sendirinya.

*) Nah sudah salah sekali!

Yogyakarta, 08 Agustus 2010 (1:48 PM)

Sunday, August 8, 2010

Mari Membaca

Pasokan kata-kata di seluruh dunia semakin bertambah, tapi permintaan semakin menurun. (Lech Walesa, mantan presiden Polandia).

Semoga karya sastra anak bangsa di kemudian hari tidak menurun nilainya. Bagaimana caranya agar hal tersebut terwujud? Dengan menghargainya lebih lagi. Salah satunya dengan membaca.
Aku terbengong-bengong melihat tingkah Arai. Ibuku sibuk menggulung kabel telepon yang kami campakkan. Aku semakin tak mengerti waktu Arai bergegas membuka tutup peregasan, mengambil celengan ayam jagonya, dan tanpa ragu menghempaskannya. Uang logam berserakkan di lantai. Napasnya memburu dan matanya nanar menatapku saat ia mengumpulkan uang koin. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun dan pada detik itu aku langsung terperangkap dalam undangan ganjil sorot matanya. Seperti tersihir aku tergoda pada berbagai kemungkinan yang ditawarkan kelakuan sintingnya. Tanpa berpikir panjang aku menjangkau celenganku di dasar peregasan dan melemparkannya ke dinding. Aku terpana melihat koin-koin tabunganku berhamburan, baru kali ini aku memecahkan ayam jago dari tanah liat itu.

Arai terkekeh.

Aku tak tahu apa yang telah merasukiku. Aku juga tak secuil pun tahu apa rencana Arai. Yang kutahu adalah Allah telah menghadiahkan karisma yang begitu kuat pada sang Simpai Keramat ini -- mungkin sebagai kompensasi kepedihan masa kecilnya. Hanya dengan menatap, ia mampu menguasaiku. Atau mungkin juga aku bertindak tolol karena persengkokolan kami sudah mendarah daging.

"Kumpulkan semua, Ikal!!" perintahnya bersemangat. "Masukkan ke dalam karung gandum."

Koin-koin itu hampir seperempat karung gandum.

"Ayo ikut aku, cepat!! Pakai dua sepeda!!"

Kami berlari menuju sepeda sambil menenteng karung gandum yang beratnya gemericing. Kelakuan kami persis perampok telepon koin. Arai mengayuh sepeda seperti orang menyelamatkan diri dari letusan gunung berapi. Di luar pekarangan ia menikung tajam dalam kecepatan tinggi. Aku pontang-panting mengikutinya dengan hati penasaran. Yang terpikir olehku kami akan menghibahkan tabungan kami untuk Mak Cik. Mengingat kesulitan Mak Cik, aku tak keberatan.

Tapi ketika sepeda melewati perempatan, Arai berbelok ke kiri. Aku tersengal-sengal memanggilnya.

"Rai!! Mau ke mana??!!"

Jika ingin ke rumah Mak Cik, seharusnya ia belok kanan.

"Aku tahu, Kal. Ikut saja!!"

Maka layar pun digulung dan drama dimulai.



********/*******
Itulah sepenggal kisah dalam novel "Sang Pemimpi" karangan Andrea Hirata. Ada yang berbeda dari sepenggal tulisan itu saat diubah ke layar kaca, melalui sebuah film. Sejujurnya, cerita "Sang Pemimpi" jauh lebih enak dinikmati dengan membaca novelnya, daripada hanya menonton film yang mengadaptasi novel yang sama. Entahlah, apakah karena akting kurang meyakinkan para pemainnya, ataukah karena pengejahwantahan penulis skenario yang kurang tepat dalam menuliskannya. Sejauh yang saya lihat, sangat jarang sebuah film adaptasi dari novel, cerpen, atau cerbung lebih baik, dan lebih enak dinikmati daripada membaca novel, cerpen, atau cerbung itu sendiri.

Tapi "generasi kita gak mempan dikasih tulisan, karena kita generasi God philosophi in the movie... pengennya serba instan, cepet." [dialog di film cin(T)a]
Jadilah sekarang semua buku yang best seller dibikin film. Sehingga, "ah males gue baca bukunya, tebel banget, ntar selesai baca jadinya pake kacamata. Mending nunggu filmnya aja!"

Bukan meremehkan industri perfilman, hanya saja yang mau saya katakan adalah: dengan membaca kita dilatih untuk lebih bisa berimajinasi. Dengan imajinasi, kita bisa terbang di alam mimpi. Dan dengan mimpi-mimpi itulah peradaban manusia bisa terus berkembang. Coba seandainya tidak ada manusia yang berimajinasi ingin terbang bebas seperti burung di angkasa, pasti hingga saat ini tidak pernah ada pesawat terbang. Atau seandainya saja tidak ada manusia yang berimajinasi ingin bisa berbicara langsung dengan keluarga di lain kota atau negara, pasti hingga saat ini tidak pernah ada pesawat telepon atau ponsel yang bisa membuat orang-orang bebas berbicara dengan siapa saja, dimana saja.

Memang "bukan rahasia bila imajinasi lebih berarti dari sekedar ilmu pasti." [dipopulerkan Dewa 19]

Bahkan salah satu perusahaan otomotif di Jepang, Honda, pernah membuat proyek "bebas bermimpi", sesuai jargon perusahaan mereka "The Power of Dreams", dan menghasilkan sebuah motor yang sangat irit dan mobil yang berbahan bakar air (H2O). Juga salah satu perusahaan software ternama, Microsoft, menggaji 1000 anak muda di Amerika, hanya untuk berimajinasi tentang apa yang mereka impikan di masa mendatang. Di kemudian hari, teknologi-teknologi baru pun tercipta.

Tidak, tidak ada yang salah dengan menonton film atau televisi. Hanya saja, terlalu sering menonton film atau televisi, akan membuat pikiran kita menjadi terbatas. Apalagi di Indonesia saat ini, program tayangan televisi yang mencerdaskan semakin berkurang, malah hampir tidak ada.

"Buku adalah jendela dunia" katanya. Dan Mohammad Hatta juga pernah berkata, "selama dengan buku, kalian boleh memenjaraku dimana saja. Sebab dengan buku, aku bebas."

Jadi, marilah kita coba untuk berinovasi dan berimajinasi, dengan lebih banyak dan lebih sering membaca buku, ketimbang duduk di depan layar televisi, dan hanya bisa menikmati, tanpa belajar membuat deskripsi atau diksi.

Penggalan cerita berikut kalau difilmkan, mungkin pengaruhnya akan biasa saja kepada penontonnya dan hanya berdurasi beberapa detik saja. Tapi jika dibaca...

Mengendap-endap, perempuan itu membuka pintu studionya sendiri seperti seorang pencuri yang takut tertangkap. Manusia paling berbakat dalam daftarnya tengah berupacara di dalam situ, memerawani ruangan lukisnya dengan sapuan tangan ajaib yang patut disambut riuh tepuk tangan. Mana mungkin momen bersejarah ini ia lewatkan.

Lampu studio masih menyala benderang. Perempuan itu melongok, memutar lehernya ke berbagai arah untuk meninjau dinding yang seharusnya sudah jadi lukisan spektakuler. Namun bidang-bidang besar itu tampak bersih. Matanya memicing tanda tidak terima. Kakinya lanjut melangkah hingga berdirilah ia di pusat ruangan, matanya terus mencari. Lambat laun, sehamparan pola halus menyeruak muncul, mengapung ke permukaan dinding. Dan ketika pandangannya mulai terfokus, hamparan itu tahu-tahu menyesaki ruangan, bagai air bah yang menerjangnya sekaligus tanpa diduga.

Terdengar bunyi saklar lampu dimatikan. Studio itu sontak gulita. Namun pada detik yang sama, ia merasa dikepung larik-larik sinar yang menyilaukan. Matanya kembali memicing, mengadaptasi kondisi dramatis tadi, sekaligus berpikir... cicak? Napasnya tertahan. Ratusan cicak berpendar, menyelimuti empat bidang dan langit-langit. Membungkusnya dalam takjub dan tanda tanya.

[Dewi Lestari - Cicak di Dinding (kisah dalam Recto Verso)]


Jadi, sudahkah Anda membaca hari ini?

NB (NamBah):
Membaca apa saja, 2 jam sehari, dapat membuat kepekaan dan kecerdasan emosional manusia bertambah. Diiringi dengan informasi-informasi baru yang diterima, otomatis ilmu pengetahuan yang mendukung proses belajar akan lebih banyak, sehingga membuat manusia tersebut lebih berguna.

Yogyakarta, 07 Agustus 2010 (10:23 PM)