Tuesday, March 20, 2012

Koma, Titik.

Saya merindukan diri saya di masa lalu.




















Ketika menulis menjadi kegiatan yang dilakukan untuk menumpahkan kepenatan, bukan menjadi beban. Untuk mengutarakan gagasan, bukan menambah pikiran. Untuk hiburan, bukan karena tuntutan. Untuk berbagi perasaan, bukan karena itu sebuah pekerjaan. Untuk mendewasakan, bukan menjebak dalam rutinitas harian.

Saya hanya tidak nyaman dengan keadaan sekarang. Ketika menulis menjadi sebuah cara untuk mendapatkan uang, bukan cara untuk bersenang-senang. Tidak bisa menulis apa yang diinginkan, karena ada mereka yang memberi bahan tulisan.

"Ini bisnis... ini industri buku... ini menyangkut orang banyak..." kilah mereka demikian. Padahal menulis hanya menulis. Tidak perlu kata puitis. Juga kalimat pemanis. Atau perhitungan matematis.

Seorang penulis yang baik adalah seorang pencerita, bukan orang yang melakukannya karena perintah mereka. Penulis adalah seorang yang egois. Idealis. Seorang analis. Imajinatif. Dan seharusnya hidup di sebuah gua, bukan di ruangan terbuka.

Saya rindu ketika menulis hanya sebuah kegiatan tanpa embel-embel materialistis. Yang coretannya enak untuk dinikmati oleh mereka, membuat pembacanya seolah-olah berada di dalam pikiran penulisnya. Hingga secara tidak sadar, mereka terpengaruh oleh apa yang dibacanya.

Ya, saya ingin mulai menulis...

Wednesday, March 7, 2012

Arsenal FC: Cara Saya Menikmati Sepakbola

Mungkin kita pernah mendengar kalau beberapa laki-laki menganggap sebuah klub sepakbola sebagai istri/pacar keduanya. Sehingga yang terjadi, jika klub kesayangan mereka bertanding, maka apa pun akan dilakukan. Dari mulai bangun dini hari, hingga menempuh perjalanan puluhan kilometer demi menonton klubnya bermain (misal sedang mati listrik di rumah). Bahkan uang terkadang tidak jadi masalah demi menonton klubnya bertanding. Dan jika diingat-ingat lagi, saya pun pernah heran dengan mindset seperti itu beberapa tahun lalu.

Tetapi sekarang, saya pun akhirnya mencintai dan suka menonton olahraga yang bernama sepakbola, karena sebuah klub sepakbola di daratan Inggris Raya: Arsenal FC.

Sebelumnya saya lebih suka dengan olahraga yang memertontonkan kecepatan, seperti MotoGP dan F1. Bahkan saya pernah berpikir, bahwa sepakbola adalah sebuah kekonyolan. Bagaimana
sebuah bola diperebutkan 20 orang, dan 2 orang lainnya hanya berdiri saja, berjaga-jaga, agar bola itu tidak masuk ke tiang berjala di belakangnya. Tapi hal itu ditanggapi oleh seorang teman saya yang suka dengan olahraga sepakbola: "Mobil sama motor cuma muter-muter di jalan yang itu-itu aja kok ditonton?"

Berangkat dari situlah saya mulai mencari tahu asiknya menonton sepakbola. Sama seperti saya telah menemukan asiknya menonton mobil dan motor yang cuma "berputar-putar" di jalanan yang sama. Saya ingin tahu mengapa olahraga konyol itu memiliki penggemar terbanyak di dunia, dibandingkan dengan olahraga lainnya. Bahkan sebuah sesi latihan bebas di F1 pernah dimajukan waktunya, hanya karena sebuah pertandingan sepakbola.

Dan menemukan Arsenal FC sebagai tambatan hati saya pada sepakbola, adalah seperti proses mencari kekasih pada umumnya.

Awalnya saya menyukai sepakbola karena sebuah klub sepakbola di Italia: AC Milan. Bekas-bekas bukti "cinta monyet" saya dengan klub milik mantan PM Italia itu masih bisa terlihat. Tetapi setelah melihat permainan Arsenal vs Villarreal di semifinal Liga Champions 2006, rasa suka pada sepakbola berubah menjadi rasa cinta pada sepakbola. Hingga hari ini, Arsenal bisa mengubah sudut pandang saya tentang filosofi sepakbola itu sendiri.

"Keindahanlah yang pertama, kemenangan cuma sampingan. Pangkalnya pada kegembiraan." (Socrates, mantan kapten timnas Brazil)


Sepanjang perjalanan hubungan saya dengan Arsenal, tidak dipungkiri saya pun pernah menyukai klub sepakbola lainnya. Dari mulai Bayern Munich, Barcelona hingga Swansea City yang terakhir ini bertanding melawan Arsenal. Tapi bukankah itu wajar dalam sebuah hubungan cinta? Rasa suka pada klub lainnya karena melihat keindahan permainan mereka. Seperti rasa suka yang diam-diam ditujukan pada Sandra Dewi atau Franda, bahkan ketika kita sedang melihat mereka di TV bersama pasangan di ruang keluarga. Juga ketika hubungan dilanda sebuah kebosanan, misal ketika Arsenal selalu kalah atau selalu menang, sering membuat saya berpaling sejenak untuk memilih menonton pertandingan klub lainnya.

Tapi pada akhirnya, hati saya tetap kembali pada Arsenal. Entah kenapa. Mungkin karena cinta. Sama seperti cinta yang bisa membuat seseorang berkomitmen pada pasangannya untuk menjalani hidup senang dan susah bersama selamanya. Forever and ever...

"Walaupun melibatkan uang milyaran, sepakbola tetaplah sebuah permainan. Harus bisa juga bersenang-senang saat melakukannya. Dalam semua pertandingan, pasti ada yang kalah dan yang menang." (Thierry Henry, mantan kapten Arsenal FC dan timnas Perancis)


Oleh karena itu jika ada orang-orang yang bisa dengan mudah mendeklarasikan dirinya sebagai penggemar Manchester United di tahun 2008, lalu mengganti gambar profilnya di Facebook dengan stadion Camp Nou di tahun 2009, saya mahfum kalau mereka sedang mencari tambatan hatinya di sepakbola. Mungkin mereka masih bingung dengan sebuah konsep mengenai cinta, karena yang mereka tahu hanyalah rasa suka.

Karena cinta, seorang ayah dan anak rela naik sepeda ribuan kilometer demi melihat klub pujaannya berlaga di final Liga Eropa. Karena cinta, seorang mahasiswa bisa menghemat luar biasa demi membeli jersey original klub kesayangannya. Karena cinta, seorang pemuda bisa dengan rela hati mengurus fans club sebuah tim sepakbola tanpa mendapat imbalan apa-apa. Karena cinta, sekelompok orang rela menghabiskan suaranya untuk berteriak-teriak pada layar kaca di depannya. Karena cinta yang menguatkan mereka. Dan saya yakin, hal itu tidak akan dilakukan oleh mereka yang hanya suka pada sebuah klub sepakbola... --suka karena selalu menang. Suka karena mempunyai banyak pemain bintang. Suka karena ada David Beckham sebagai bagian dari timnya-- Karena rasa suka hanya sementara. Sementara cinta mampu membuat seseorang melakukan segalanya... bahkan hal-hal yang dianggap tidak waras oleh orang-orang pada umumnya.


Tetapi saya tidak pernah setuju dengan fanatisme pada (klub) sepakbola. Seperti tawuran antar massa supporter. Menyebut nama klub lawan dengan tidak hormat. Tidak respek kepada pemain klub lawan (padahal bisa saja, suatu hari nanti dia bergabung dengan klub pujaan kita). Hingga melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan juga orang lain, hanya karena ingin menunjukkan berapa besar rasa setia pada klub pujaan kita.

Bagaimana mungkin semua hal itu bisa dilakukan, jika manager kedua tim selalu bersalaman ketika selesai pertandingan? Ya, pertandingan hanya berlangsung sekitar 90 menit. Di luar itu hanyalah bumbu olahraga sepakbola. Tetapi hal ini sering diabaikan dan tidak disadari, oleh banyak penonton olahraga yang paling digemari di dunia ini. Bahkan anehnya ketika pertandingan sudah usai. masih saja ada yang bertikai karena hal yang sebenarnya sudah selesai.

Pernahkah sebuah skor pertandingan sepakbola berubah, hanya karena penontonnya membuat ulah? Menciptakan keributan akibat tidak suka dengan hasil akhirnya, bahkan hingga membuat wasitnya terluka? Karena yang rugi hanyalah diri sendiri. Dan bisa saja ketika pertandingan klub kesayangannya dimulai lagi, beberapa supporternya hanya bisa menontonnya dari balik dinding bui.

********/*******

Sama seperti pertandingan olahraga lainnya di dunia ini, sepakbola pada akhirnya hanyalah untuk dinikmati . Tetapi karena kenikmatan adalah sebuah rasa, yang artinya relatif bagi setiap orang, inilah yang kemudian menciptakan rasa suka hingga rasa cinta pada klub-klub sepakbola yang ada.

Dan Arsenal FC adalah pilihan saya untuk menikmati sebuah olahraga yang bernama sepakbola. Oleh karenanya, hubungan saya dengan mereka (Arsenal) tidak pernah didasarkan pada jumlah kemenangan, atau pemain yang mereka miliki sekarang, juga siapa manager atau pelatih mereka di lapangan dan berapa banyak jumlah tropi yang mereka dapatkan.

Saya juga sependapat dengan Dennis, yang berkata dalam salah satu tweetnya: "I don't care Arsenal will lose or win. Or Wenger can't take care this team. Or Nasri go to Manchester City because this team can't paying him. I'm still Gooner, and I'm proud of it."

Yeah, I'm Gooner... Wherever... Forever...

Yogyakarta, 22 Januari 2012 (sesaat sebelum Arsenal vs Manchester United)
*diedit setelah Arsenal vs AC Milan (6 Maret 2012)