Tuesday, December 31, 2013

Cinta (Akan) Menemukan Jalannya

********/*******


Tanggal 27 Desember 2013. Dua puluh tujuh. Entah kenapa ketika melihat angka itu pada kalender di pagi ini, tiba-tiba saja sebagian diri saya serasa mati.

Buat beberapa orang, angka 27 mungkin hanya sebuah angka yang tidak berarti apa-apa. Tapi sebagai wanita, angka 27 berarti sebuah kiamat kecil buat saya. Apalagi jika angka 27 itu dikaitkan dengan jumlah usia saya di awal tahun depan. Kedengarannya masih lama… tahun depan… tapi di hari ini, tahun depan hanyalah hitungan hari. Sama seperti yang saya rasakan ketika berusia 21, usia 27 rasanya terlalu jauh. Tapi inilah misteri dari sang waktu, sepertinya baru kemarin saja saya mulai kuliah di kampus biru.

Dulu, 7 tahun yang lalu, saya pikir ‘3S’ hanya sebuah lelucon. Yakni ketika wanita berusia belasan, mereka akan mulai berpikir “Siapa Saya”. Lalu ketika seorang wanita memiliki angka ‘2’ di depan angka ‘0’ di kue ulang tahunnya, mereka mulai berpikir lebih luas lagi: “Siapa Dia”. Di saat itulah (seharusnya) wanita mulai menerima dan menilai proposal dari calon-calon pasangan hidupnya; sebelum masuk ke fase yang ke-3: “Siapa sajalah… (yang penting nikah)”.

Saya memang memiliki gelar S2. Tapi tidak ada yang tahu, kalau saya sebenarnya, menurut lelucon itu, saat ini, sudah dalam tahap S-3 (siapa pria yang mau menikah denganku?).

********/*******

Natal. Entah kenapa harus berkumpul dengan keluarga saat hari Natal tiba. Meskipun jarak rumahku sekarang dengan kampung halaman hanya dalam hitungan jam, bukan jam-jaman, tapi hanya 1 jam, rasanya malas sekali untuk beranjak dari rumah ke stasiun, lalu menumpang kereta yang biasanya selalu penuh sesak, untuk tiba di rumah yang penghuninya selalu mempunyai pertanyaan-pertanyaan menakutkan.

“Kemarin dapat rangking berapa di kelas?” Pertanyaan mereka ketika aku duduk di bangku SMA.
“Dapat IPK berapa di semester ini?” Pertanyaan menakutkan yang lainnya ketika aku mulai kuliah di universitas (yang katanya) terbaik di kota ini. Padahal nama universitas tak pernah menjadi tolok ukur sebuah HRD perusahaan ketika merekrut karyawan. Hal ini baru aku ketahui belakangan, ketika mengikuti sebuah seminar dunia kerja di komunitas dewasa muda gereja.
Dan sekarang, aku sudah tahu apa pertanyaan yang sudah mereka siapkan.

“Kok terlambat pulangnya? Keretanya delay lagi?” Tanya ayahku yang beberapa waktu lalu untuk pertama kalinya naik pesawat terbang dan langsung mengenal kata itu. Tak pernah lagi beliau mengatakan kata “terlambat”. Sedikit lucu, tapi aku tahan tawaku.
“Iya, Yah. Keretanya delay. Jadi agak lama nunggu di stasiun Tugu.” Jawabku singkat. Karena aku langsung melihat Ibu beranjak ke luar rumah, dengan pertanyaan menyeramkan itu: “Lho? Mana calon mantu Ibu? Gak jadi diajak pulang ke sini?”

Pintu pagar masih terbuka. Aku masih mengenakan sepatu dan membawa tas yang penuh dengan baju. Ingin rasanya langsung berbalik lari dan pulang ke rumahku. Karena aku akan tahu apa yang akan diceritakan oleh Ibu di hari ini: “Itu temenmu SMP udah punya anak 2 lho…” atau “Kemarin waktu arisan di kompleks, temen-temen Ibu udah pada ceritain cucu-cucunya. Ibu jadi gak punya bahan cerita.”

Aku sayang Ibu. Tapi beliau selalu mempunyai pertanyaan-pertanyaan yang langsung menghujam hatiku.

********/*******

“Hai cowok, godain saya donk…” Ingin rasanya berkata seperti itu. Tapi terdengar murahan, bukan? “Ingat, harga diri…” Kata batinku.

“Apa?! Harga diri?! Di usia yang hampir kepala tiga ini?!”

“Tenang, Fan. Kamu selalu bisa menguasai situasi. Tapi… mungkin sekarang saatnya untuk panik!” Batinku mulai mengkhianati.

********/*******

Kata Ibu, yang didengarnya dari orang-orang, ketika pria menginjak usia-30 dan masih single alias jomblo, maka akan lebih susah lagi baginya untuk berpikir tentang pernikahan. Lebih banyak lagi yang akan dipikirkannya.

Oleh karena itu, Ibu, seperti orangtua-orangtua lainnya yang suka khawatir berlebihan pada apa omongan orang-orang, seringkali menanyakan pertanyaan menyeramkan itu.

Aku pun mengerti tentang hal itu. Karena sebenarnya aku juga takut memikirkan tentang pernikahan. Lihat saja situasi di jaman sekarang: perceraian, kelamin suami dipotong istrinya karena selingkuh, seorang istri disiram air panas oleh suaminya karena kesal dengar omelannya, anak kurang gizi dan putus sekolah karena orangtuanya gak mampu (kalau gak mampu ngapain punya anak?) hingga kasus ledakan penduduk… Ah, aku sudah seperti orangtua saja. Terlalu khawatir berlebihan pada apa yang orang-orang lakukan. Tapi bukankah usia 29 belum terlalu tua?

Di tengah lamunanku, Ayah membuyarkannya dengan sebuah pertanyaan yang… “Van, kamu masih suka sama perempuan, kan?”
Sangat menjurus.

Pasti ini gara-gara Olga sekarang ada di layar kaca. Huft…
“Yah, ganti channel donk. Jelek acaranya. Pembodohan publik itu.” Kataku mengganti subjek pembicaraan.

********/*******

Kalau dipikir-pikir, ucapannya Vira benar juga.

“Fan, lihat kamu sekarang. Manajer. Di luar kantor kamu jadi pengusaha. Ke mana-mana naik mobil. Selalu pake setelan blazer. Mana ada to cowok sepantaran kamu yang berani pedekate? Ada juga, mereka langsung keder, udah jiper duluan.” Kata temanku, ketika aku mengunjunginya sehabis melahirkan anak pertamanya.

“Gitu ya?” Jawabku datar. Seperti merasakan kebenaran dalam ucapannya.

“Iya, gitu. Bener kan, say?” Katanya mencari dukungan suaminya yang sedang nonton TV.

“He eh. Bener banget tuh, Fan. Gue aja dulu gak berani deketin elu, makanya gue deketin temen elu.”

Lemparan bantal langsung mengarah ke ruang TV.

“Terus, aku mesti ngapain Vir?” Tanyaku pasrah.

“Ya… jadi dirimu sendiri itu penting. Tapi jangan terlalu dingin. Yang supel lah kayak aku gini… ha ha ha ha…”

Lemparan bantal kembali ke ruang tamu.

Tiba-tiba aku iri dengan suasana di rumah ini. Aku ingin segera pergi. 

********/*******

Untung hari Natal cuma sehari. Walaupun kalender menetapkan tanggal 26 Desember sebagai hari Natal ke-2, tapi sepertinya aku mesti keluar dari rumah ini secepatnya.

“Pamit dulu ya, Yah.” Kataku sambil mencium pipinya.
“Hati-hati di jalan. Awas copet. Keretanya kalau dari sini jarang delay kok.” Kata Ayah.
“Bu, pamit ya…” Tapi tidak seperti Ayah, pesan Ibu kali ini sangat panjang.
“Inget umur. Kasihan besok cucu Ibu kalau ayahnya telat nikah. Cucu Ibu baru umur 10 tahun, ayahnya udah gak kuat lari-lari lagi. Pas umur 20 tahun nanti kamu malah udah pensiun. Bukannya uang gak bisa dicari, itu berkat tersendiri kalau kamu punya anak nanti. Tapi kalau dipersiapkan jauh-jauh hari, bukannya lebih baik? Pedekate donk sama cewek. Apa di gereja gak ada cewek? Katanya kamu gabung di komunitas dewasa muda gereja, cari lah di sana. Gak usah yang cantik-cantik. Asal baik, takut sama Tuhan. Itu udah cukup….”

Aku cuma memandangi dahi Ibu yang sudah berkerut. Gak berani melihat matanya yang biasanya teduh.

“...inget ya? Umur itu gak terasa. Ibu bakal gak rela dipanggil Tuhan kalau belum gendong cucu seperti teman-teman Ibu yang lainnya…”

“Bu, udah donk. Nanti ketinggalan kereta.”

Ah… saved by my daddy. Ayah lalu mengantarku ke stasiun. Sepertinya, untuk memastikan agar aku tidak terlambat naik ke kereta.

“Pokoknya yang penting sama wanita. Bukan yang penting cinta…” Kata Ayah sebelum aku masuk peron stasiun.

Aku lalu memandang mimik wajah Ayahku cukup lama, dengan pandangan untuk menegaskan kalau aku masih menyukai wanita. Sangat menginginkan wanita. Tapi aku belum menemukan yang cocok saja.

Cocok? Mungkin kata itu terlalu absurd untuk dijelaskan. Para artis itu bilang, alasan mereka nikah karena sudah sama-sama cocok. Tapi beberapa tahun kemudian, alasan mereka bercerai karena tidak lagi menemukan kecocokkan. Jadi apa donk arti kata cocok sebelum dan sesudah resepsi pernikahan diadakan?

Sepanjang perjalanan, di dalam kereta aku terus memikirkan kata-kata Ibu tadi. Sesekali memikirkan perkataan Ayah juga. Tapi… lebih baik aku memikirkan apa yang diucapkan Ibu. Benar juga sih. Usia terus berjalan. Sekarang aku sudah 29 tahun. Misal paling cepat aku menikah tahun depan, aku udah 30 tahun. Misal langsung punya anak, nanti anakku lulus kuliah dan mandiri di usia 25, aku tepat pensiun. Pas banget ya? Tapi kalau gak langsung punya anak… ah, nanti bisa tes kok spermaku subur atau enggak. Hmm… bukan itu sih masalahnya sekarang. Masalahnya… aku belum punya pacar!

Pandanganku menyapu isi kereta. Kalau-kalau ada wanita yang cantik…
“Gak usah yang cantik-cantik. Asal baik, takut sama Tuhan.” Kata-kata Ibu terngiang kembali.
Iya sih. Katanya cantik itu luka. Jadi wanita cantik pasti penuh luka…

Aku sepertinya kelelahan. Lelah pikiran. Aku harus tidur.

Ketika terbangun, aku sudah tiba di stasiun Tugu. Suara gaduh penumpang, yang berebut masuk padahal penumpang yang di dalam belum ke luar, membangunkanku.

Setiba di rumah, aku langsung mengirim SMS kepada Ibu untuk memberitahu kalau aku sudah sampai. Tapi balasan SMS yang aku terima tidak seperti biasanya:
“Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan Tuhan dipuji-puji. Inget ya… pedekate. Jangan lupa besok Minggu ke gereja, berdoa minta jodoh sama Tuhan.”

Ah, Ibu sepertinya tahu kalau aku jarang ke gereja beberapa minggu belakangan.

********/*******

“Selamat datang, selamat hari Minggu.” Ucapku sambil menyalami jemaat satu per satu.

Setiap hari Minggu, saya bertugas menjadi penerima tamu. Penyambut jemaat di gereja, lebih tepatnya. Tapi hari ini saya merasakan ada hal yang berbeda. Mungkin karena sebagian diri saya ada yang mati. Atau karena peristiwa di rumah Vira malam tadi. Tapi sepertinya karena batin saya mulai mengkhianati dengan bisikan-bisikan mematikan setiap kali melihat pasangan muda yang datang ke gereja.

Sepulang dari gereja, saya menangis di dalam mobil. Saya merasa tidak terima karena Tuhan belum mempertemukan saya dengan pasangan yang tepat. Apalagi kotbah hari ini menyinggung tentang cinta, tentang kasih Tuhan. Kok rasanya gak adil banget.

“Tuhan, saya percaya rencana-Mu yang terbaik buatku. Rancanganmu selalu indah pada waktunya. Tapi sampai kapan saya harus menunggu waktu-Mu?”

Tidak ada jawaban.
Ya… Tuhan tidak pernah langsung menjawab doa seketika itu juga, pikirku.

Kutarik nafas panjang, kuhidupkan mesin mobil, kunyalakan stereo… Aku sudah terlambat bertemu klien.

Brak!

Aku kaget. Sebuah sepeda motor terjatuh di samping mobilku.

“Mbak! Lihat-lihat spion dong kalau mau jalan. Lampu sein dinyalain kek.”

Astaga, aku lupa menyalakan sein. Sepertinya motor itu terjatuh karena pria itu kaget melihat mobilku tiba-tiba ke luar dari deretan mobil yang terparkir di pinggir jalan. Ah… aku sudah sangat terlambat!

“Aduh, maaf Mas. Saya buru-buru. Mas gak apa-apa kan?”

“Ya saya gak apa-apa. Tapi motor saya rusak tuh! Punya SIM gak sih?!”

Astaga. Galak bener sih.

“Ya maaf, Mas. Saya kan tadi udah bilang. Maaf. Gak sengaja juga. Saya punya SIM kok. Itu ganti yang rusak kira-kira berapa?”
Spion pecah, spatbor, sama pelindung knalpot… Kuhitung kira-kira berapa biayanya. Toh kakakku punya bengkel motor, aku nanti bisa tanya dia. Aku bisa saja diperas sama orang galak ini.

“Mana SIMnya?”

“Lho, kok minta SIM saya? Emang situ polisi?”

“Ya mau lihat aja. Siapa tahu kamu cuma bohong bilang punya SIM. Nyalain lampu sein aja gak bisa.”

Gila!

“Bentar.”
 Entah kenapa aku menurut saja apa kata-katanya.

“Nih! Saya punya SIM A sama SIM C. Gak nembak. Pake tes. Lha wong baru kali ini saja saya bermasalah sama orang pas nyetir mobil.” Aku mulai kehilangan kesabaran.

Orang-orang mulai berdatangan. Astaga, saya tidak sadar kalau dari tadi jadi tontonan karena cowok galak dan gila ini. Tapi… 

“Ya udah. Nih.” Katanya sambil mengembalikan SIM saya. “Lain kali kalau nyetir hati-hati. Lampu sein dipakai kalau mau belok. Jangan belok tiba-tiba gitu.”

What? Gayanya menasihati seperti polisi saja.

“Terus motormu itu, saya ganti berapa?”

“Halah… gak usah. Cuma spion doank. Gak apa-apa.”

“Lho? Kok gitu?”

“Ya habis Mbaknya matanya sembab gitu. Kayak mau nangis. Sori, emosi sesaat tadi. Aslinya saya jarang marah-marah.” Katanya sambil menaiki motornya.

“Heh… kok langsung mau pergi?”

“Lha? Mau diterusin? Enggak deh. Saya gak enak jadi tontonan orang. Biasanya ntar malah ujung-ujungnya yang cowok disalahin. Udah ya… selamat hari Minggu.”

Saya cuma terdiam memandangi cowok yang galak, gila dan aneh ini berlalu. Tapi saya juga merasa ada yang aneh. Sebagian diri saya sepertinya hidup lagi.

Seorang jemaat gereja mendekati saya, “Mbak Fani baik-baik kan?”

“Iya Bu. Gak pernah lebih baik dari saat ini.”

Hanya Tuhan yang tahu mengapa saya berkata seperti itu.

********/*******

Tidak seperti hari Minggu biasanya yang cerah, pagi ini langit sedikit muram. Tapi tidak seperti biasanya juga, pagi ini aku sudah siap pergi ke gereja. Biasanya meskipun hari cerah, aku malas pergi ke gereja. Tapi hari ini walaupun gerimis, aku sudah di depan gereja yang gedungnya terlihat sangat minimalis.

Satu hal yang aku tidak suka ketika di gereja, adalah liturginya yang mengharuskan jemaat saling bersalam-salaman dan mendoakan. Padahal ketika kami datang, kami hanya duduk diam tanpa ada niat menyapa orang yang duduk di kiri dan kanan. Sepertinya bersalaman dan bertegur sapa hanya menjadi formalitas liturgi saja, yang mau tidak mau harus dilakukan jemaat gereja. Walaupun katanya masyarakat Jogja di lagu “Yogyakarta” mempunyai budaya menyapa, hal ini aku lihat jarang dilakukan di masa sekarang. Di gereja, kami para jemaat hanya disapa oleh penyambut jemaat saja.

Entah kenapa pikiranku kembali pada wanita yang menjadi penyambut jemaat tadi. Apa karena dia cantik? Gak juga. Parasnya terlihat biasa saja. Apa ya? Senyumnya… ya, entah kenapa aku selalu terpikat dengan wanita berlesung pipit. Apa karena Ibu juga mempunyai lesung pipit? Katanya sih seorang pria akan mencari wanita yang mirip ibunya. Tapi, enggak juga. Kenapa ya? Apa karena dia berkacamata? Karena dia wanita? Dan kemudian mimik wajah ayahku ketika di depan pintu masuk peron stasiun sekilas terbayang. Aku tertawa sendiri. Padahal saat itu pendeta sedang berkhotbah dan tidak sedang melucu. Alhasil beberapa pandangan jemaat mengarah kepadaku. Aku langsung memasang mimik serius, mendengarkan kotbah tentang cinta kasih Allah kepada manusia.

Ah… cinta.

Kenapa akhir-akhir ini aku mulai pusing dibuatnya? Padahal dulu aku sama sekali tidak memikirkannya. Kenapa tiba-tiba semuanya menjadi masuk akal? Soal hubungannya dengan usia lah, berkat, masa depan anak… kalau gitu siapa dong yang mau jadi istriku?

Lamunanku buyar karena ada mobil yang tiba-tiba keluar dari bahu jalan. Tak sempat lagi mengerem, aku langsung membanting stang motorku ke kanan. Karena aspal masih licin akibat hujan, aku pun langsung nyungsep ke jalan.

“Mbak! Lihat-lihat spion dong kalau mau jalan. Lampu sein dinyalain kek.”

Mobil bagus gini gak punya lampu sein apa? Punya mata gak sih? Sambil SMSan ya di dalam? Kata-kata umpatan dan makian hampir aku keluarkan…. Astaga, wanita penyambut jemaat tadi. Aku langsung canggung, antara mau marah atau…

“Aduh, maaf Mas. Saya buru-buru. Mas gak apa-apa kan?”

Aku harus bagaimana?

“Ya saya gak apa-apa. Tapi motor saya rusak tuh! Punya SIM gak sih?!”

Ide bagus. Aku tidak perlu berkenalan. Aku bisa tahu nama lengkapnya dari SIMnya, lalu aku Googling, cari Facebooknya, Twitternya.… Otakku brilian juga. Entah kenapa bibirku diarahkannya untuk menanyakan SIMnya.

“Ya maaf, Mas. Saya kan tadi udah bilang. Maaf. Gak sengaja juga. Saya punya SIM kok. Itu ganti yang rusak kira-kira berapa?”

Aduh. Kok malah bahas motor jelek ini.
“Mana SIMnya?” Kataku dengan nada tinggi. Aku mulai bingung menghadapi situasi ini.

“Lho, kok minta SIM saya? Emang situ polisi?”

“Ya mau lihat aja. Siapa tahu kamu cuma bohong bilang punya SIM. Nyalain lampu sein aja gak bisa.” Aku mencari-cari alasan sedapatnya. Orang-orang mulai memperhatikan.

“Bentar.”

Dia masuk kembali ke dalam mobil. 

“Nih! Saya punya SIM A sama SIM C. Gak nembak. Pake tes. Lha wong baru kali ini saja saya bermasalah sama orang pas nyetir mobil.”

Buset. Bisa juga dia marah padahal udah salah.

Aku pura-pura berlagak seperti polisi. Mencocokkan wajahnya dengan foto di SIM. Padahal aku hanya ingin memperhatikannya wajahnya lebih lama lagi. Tapi kok sepertinya dia mau nangis ya? Gawat.
“Ya udah. Nih.” Aku kembalikan SIMnya lagi. Aku sudah mendapatkan apa yang aku cari. “Lain kali kalau nyetir hati-hati. Lampu sein dipakai kalau mau belok. Jangan belok tiba-tiba gitu.”

“Terus motormu itu, saya ganti berapa?”

“Halah… gak usah. Cuma spion doank. Gak apa-apa.” Padahal aku mikir juga biayanya.
“Lho? Kok gitu?”

“Ya habis Mbaknya matanya sembab gitu. Kayak mau nangis. Sori, emosi sesaat tadi. Aslinya saya jarang marah-marah.” Aku sudah tidak tahu harus bicara apa lagi.

“Heh… kok langsung mau pergi?”

Astaga. Kok malah aku yang dimarahin?
“Lha? Mau diterusin? Enggak deh. Saya gak enak jadi tontonan orang. Biasanya ntar malah ujung-ujungnya yang cowok disalahin. Udah ya… selamat hari Minggu.”

Aku langsung putar gas.

Ada perasaan aneh menyelinap di hati.

Aku sudah dapat apa yang aku butuhkan. Fania Larasati Budianto. Itu sudah cukup.

********/*******

Malam tahun baru. Jalanan sudah penuh dengan para pengendara motor, mobil dan sepeda. Saya pikir Jogja sudah mulai penuh dengan manusia. Harus pintar-pintar menyetir kalau ingin mobil selamat tanpa tergores di jalan. Apalagi motor-motor di sini seperti penguasa jalanan. Seenaknya sendiri berbelok atau memotong jalur. Asal ada celah langsung masuk saja. Tidak lihat kiri kanan depan belakang.

Ah… kenapa sih pengendara motor aneh itu lagi yang terlintas di pikiranku?

Suara stereo aku kencangkan supaya pikiranku teralihkan. Tetapi benakku masih belum bisa diajak berteman.

********/*******

Aku ketiduran. Sudah jam 9 malam. Sialan.

Hanya cuci muka, aku langsung berpakaian.

‘Semoga dia datang malam ini,’ bisikku pada Tuhan dalam hati. Aku sudah dibuat gak karuan beberapa hari ini. Apalagi setelah aku menginvestigasi, istilah yang lebih baik daripada stalking, semua twitnya selalu membuat dan mengajak orang-orang untuk bersemangat dan berpikir positif. Apalagi setelah aku melihat status Facebooknya yang masing single, rasanya itu hadiah Natal buatku. Meskipun aku tidak tahu bagaimana cara mulai mendekatinya dan berkenalan sungguhan. Karena pertemuan pertama sepertinya tidak meninggalkan kesan.

Seperti yang aku duga, jalanan sudah penuh dengan manusia. Tapi inilah keuntungan naik motor ketika jalanan macet. Selalu ada celah untuk dilewati. Yang naik mobil malah mengantri.

Hmm… bagaimana kalau dia tidak ke gereja karena malas keluar rumah karena tahu jalanan bakal macet seperti ini?

‘Ya kalau dia gak datang, berarti dia bukan jodohmu. Tapi kalau dia datang, itu kesempatan buatmu.’ Kataku pada diriku. Tepatnya kata hatiku pada diriku.

********/*******

Masih kurang 15 menit sebelum kebaktian dimulai. Kebaktian jam 10 malam, tetapi gereja tetap saja dipenuhi orang-orang. Pandanganku langsung mencari tempat duduk yang kosong. Seorang petugas kebaktian yang mengenalku langsung memberikan kode ‘ada tempat duduk kosong’.

“Sendirian aja kan?” Tanyanya.
‘Enggak. Maunya berdua.’ Jawabku dalam hati.
“Itu masih ada satu yang kosong.” Sambil menunjuk deretan bangku di tengah-tengah ruangan.

What? Dia lagi?

Kakiku sepertinya mulai ikut-ikutan mengkhianatiku. Ia memaksaku melangkah ke deretan bangku itu. Tapi ketika saya duduk di sebelahnya, dia sedang asyik sendiri dengan ponselnya. 

Biasanya, dalam keadaan normal, saya bukanlah orang yang kepo, yang ingin tahu urusan orang. Tapi saat ini saya sepertinya sedang tidak normal, sehingga mata saya bergerak untuk melihat layar ponselnya… dan… saya melihat twitpic foto wajah saya di sana.

OMG! Saya langsung salah tingkah. Dia ternyata stalker saya. Baiklah. Kemudian saya mulai ngetwit: ‘Malam tahun baru. Duduk di gereja di sebelah orang aneh. Huft...’

********/*******

Aku melihat-lihat seisi ruangan gereja. Dia tidak terlihat sama sekali. Hmm… mungkin dia memang bukan jodohku. Ya sudahlah…

Deretan bangku di tengah-tengah ruangan masih kosong. Aku senang karena akulah yang pertama kali duduk di deretan bangku kosong di dalam ruangan yang akan dipenuhi orang-orang. Perasaan ini memang sedikit aneh; seperti perasaan orang yang lebih suka duduk di pojok ruangan, orang yang suka mengantre di nomor 7 atau orang yang suka duduk di meja yang bisa menghadap pintu keluar ketika makan di restoran.

Masih setengah jam lagi sebelum kebaktian dimulai. Aku mengambil ponsel dan mulai mengirimkan SMS ucapan selamat tahun baru kepada beberapa orang yang aku kenal dekat, lalu mengucapkan selamat tahun baru di Facebook dan Twitter. Aku cek akun twitternya. Tidak ada twit kalau dia akan ke gereja. Lalu mulailah aku melihat-lihat twitpicnya, melihatnya berfoto selfie, foto dengan teman dan keluarganya saat Natal, dan yang paling menyenangkan: tidak ada fotonya berdua dengan cowok. Aku tersenyum sendiri. Kembali aku cek timelinenya… ‘Malam tahun baru. Duduk di gereja di sebelah orang aneh. Huft...’

Ah, dia sudah datang. Siapa orang aneh di sebelahnya?

Aku langsung menoleh ke kanan… ke belakang… ke kiri… dan… dia ada di sana.

Apa? Aku dianggap orang aneh?

Dia sedang berdoa. Aku langsung mempunyai firasat, kalau malam ini akan sangat panjang.
 
********/*******

Ketika berdoa untuk menyiapkan hati dan diri sebelum beribadah, ada rasa yang membuncah di dada saya. Apakah karena pria ini duduk di sebelah saya? Entah. Tapi saya merasa ‘berdua’. Seperti harapanku kepada petugas kebaktian tadi.

Saya bisa saja berpindah tempat duduk, mencari celah kosong di deretan kursi jemaat di belakang. Tapi tubuh saya sepertinya tidak menginginkannya. Kaki dan pantat saya sepertinya bersepakat untuk lekat dan tidak mau berjalan ke mana-mana lagi.

‘Oh, Tuhan… secepat inikah jawaban-Mu?’

********/*******

Aku ikut berdoa.
‘Oh, Tuhan… semoga dia jodohku.’

********/*******

Sepanjang kebaktian, Ivan dan Fani hanya diam. Seolah tidak saling saling kenal sebelumnya. Tapi Ivan tidak sabar untuk sampai pada bagian liturgi yang mengharuskan jemaat saling bersalam-salaman dan mendoakan. Hal yang sebelumnya tidak disukainya. Ivan ingin menjabat tangan Fani dan berkenalan dengannya lebih jauh.

Yang tidak diketahuinya, Fani pun menunggu hal yang sama.

“Mari jemaat, kita berdoa syafaat. Jemaat bisa saling berkenalan dengan jemaat yang ada di samping kanan dan kiri, saling menanyakan tentang pergumulan hidup yang ingin didoakan.” Kata majelis jemaat di akhir kebaktian.

“Ivan Edward Lesmana. Resminya. Sesuai SIM dan KTP.” Katanya sambil tersenyum.
“Fania Larasati Budianto. Kamu udah tahu kan?” Dia pun ikut tersenyum.
“Maaf ya soal tempo hari. Aku sebenarnya bingung, antara ma…”
“Udah, gak usah dibahas. Kalau kamu gak jatuh, kamu gak bakal tahu Twitterku kan?”
“Dan akun Facebook lalu alamat emailmu.” Kata Ivan menambahi.

Fani tertawa. Entah kenapa dia merasa begitu… bahagia.
“Jadi apa yang jadi pergumulan hidupmu? Ada yang ingin didoakan?” Fani berusaha mengendalikan perasaannya. Biar bagaimana pun ini masih dalam liturgi kebaktian.

“Aku ingin didoakan biar segera bertemu pasangan hidupku, lalu menikah. Biar Ibuku cepat punya cucu dan Ayahku jadi tahu kalau anaknya masih menyukai wanita.” Ivan mengatakannya dengan mimik serius.

Fani ingin tertawa, tapi lagi-lagi batinnya tidak menyetujuinya. Untunglah.
“Sama, saya juga. Saya ingin didoakan agar segera dipertemukan dengan pemilik tulang rusuk di mana saya dulu diambil, dan saya berharap dia pria yang baik, gak gampang marah dan…”

“Dan?”

“Dan aneh sedikit gak apa-apa sih. Yang penting kalau udah jadi pacar saya, pria itu gak akan stalking Twitter dan Facebook cewek lain.”

“Ouw, yang setia? Oke. Aku bakal setia kok.”

“Lho?”

“Ha ha ha ha…” Kami tertawa.

Anehnya, tidak ada jemaat lain yang notice pada mereka berdua. Padahal saat itu ruangan sedang hening karena semuanya sedang berdoa. Seperti mereka sedang berada di bilik ruangan yang tak kasat mata.

“Oke. Mari kita berdoa.”

Entah siapa yang memulainya atau yang menggerakkannya, tangan mereka, Ivan dan Fani mulai bergandengan ketika mereka berdoa, meminta penyertaan dari Tuhan terhadap masa depan mereka, di tahun yang baru saja dimasuki oleh mereka.

Di luar gereja sayup-sayup terdengar suara petasan riuh bersahut-sahutan menyambut tahun yang baru. Seolah-olah turut juga menjadi tanda, sebuah awal yang baru untuk jalinan kasih kasih sepasang anak manusia yang saling mendamba cinta.

Yogyakarta, 31 Desember 2013
*) ditulis untuk kompetisi menulis cerpen #NulisKilat