Thursday, July 9, 2015

"Saya Sudah Lelah..."

Mom, are you afraid?
Oh Caroline, I’m not afraid. I'm just curious... what comes next?
(sebuah dialog di film ‘The Curious Case of Benjamin Button’ antara seorang anak dan ibunya yang terbaring di rumah sakit)

Membaca kisah pendeta Martyn Lloyd Jones, saya teringat kisah seorang lansia yang diceritakan pendeta Hadyan Tanwikara saat Camp KDM di Wonosobo, tahun lalu. Pendeta Hadyan bercerita tentang seorang wanita tua yang (kalau saya tidak salah ingat) ingin didoakan agar cepat dipanggil oleh Tuhan. “Saya sudah lelah...” begitu tuturnya pada pendeta Hadyan.

Begitu juga dengan kisah pendeta Martyn. Saat tubuh tuanya sudah sangat lemah, yang membuatnya hanya bisa terbaring di tempat tidurnya sepanjang hari; ia berkata pada seorang jemaat yang baru saja mendoakannya agar cepat sehat dan pulih, katanya: “Jangan menahanku agar lebih lama lagi masuk dalam kemuliaan Allah.” Sebuah perkataan iman yang terdengar janggal. Tetapi jika direnungkan hal itu sangat luar biasa.

Bagi orang percaya, kematian seharusnya dipandang bukan sebagai sesuatu yang mengerikan. Buat mereka yang sudah percaya pada Tuhan Yesus seumur hidupnya, kematian seharusnya dipandang sebagai sebuah jalan menuju damai sejahtera dan kemuliaan Allah yang kekal. Untuk yang ditinggalkan di dunia, pastilah mengalami kesedihan yang luar biasa karena mempunyai perasaan --sudah ditinggalkan-- oleh mereka yang dikasihinya. Tetapi bukankah semua yang ada di dunia ini fana, hanya sementara?

Itu sebabnya rasul Paulus (dan Ahok) berkata: “...karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” Karena mereka orang-orang percaya, yang sudah hidup dengan bersandar pada apa yang dikatakan oleh (firman) Tuhan, sehingga mereka yakin bahwa jaminan keselamatan sudah didapatkan. Inilah yang membedakan ajaran Kristen (orang percaya) dengan ajaran lain di dunia. Dan bukankah inilah inti iman Kristen?

taken from "Curious Case of Benjamin Button" movie
 
Mengutip ucapan pendeta Budi S. Marsudi dalam sebuah kotbahnya (yang kurang lebih demikian): “Mereka yang dipanggil oleh Tuhan ke surga itu karena tugas dan tujuan mereka di dunia sudah selesai. Mereka lebih dibutuhkan oleh Tuhan di surga untuk suatu pekerjaan yang mulia.” Begitulah seharusnya kita hidup dengan percaya bahwa semuanya: apa yang kita miliki di dunia dan tujuan kita diciptakan, hanyalah untuk kemuliaan Allah semata.

Dan firman Tuhan seharusnya menjadi pegangan dasar saat hidup di dunia; sebagai dasar pemikiran, penghiburan serta pengharapan untuk kita. Jika itu kita hayati, yakini dan lakukan, pada akhirnya kita akan bisa berkata: “Hai maut di manakah sengatmu?” dan kematian bukanlah lagi sesuatu yang menakutkan.

Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya.” (Mazmur 116:15)

~Vic, 090715~

42

Pertama-tama, seharusnya kamu menuliskan ini semua di angka 24.

Natallia Widagdo, Victor Hasiholan, Kwartanto Tricahyo
Kenapa dinamakan ulang tahun? Bukankah tahun tak pernah berulang? Jadi bagaimana kalau kita sepakati saja bahwa mulai hari ini ucapkanlah: "Selamat tahun baru untuk usiamu."

Lalu mengapa ritual tahun baru untuk sebuah usia hampir selalu diperingati saat detik jarum jam melewati angka 12 di malam hari? Padahal mungkin saja ia pertama kali bernafas di dunia ini sekitar pukul 7 malam dan berarti masih ada waktu 19 jam sebelum usianya genap berubah.

Juga pertanyaan itu: siapa yang pertama kali mengucapkan selamat atas bertambahnya usiamu. Mengapa hal ini menjadi begitu penting sehingga seorang Dewi Lestari memohon pada sang waktu agar berhenti sejenak dulu. Bukankah SMS dan email yang dibuat otomatis oleh para kolega dan rekan bisnismu, akan selalu mengalahkan semua makhluk bernyawa untuk mengucapkan selamat dengan tulus?

Dan mengapa hari kelahiran menjadi begitu penting bagi manusia? Apakah semut ingat kapan ia menetas dari telurnya? Apakah pohon leci mencatat kapan ia mulai berkecambah saat menjadi biji? Apakah gunung benar-benar tahu kapan ia pertama kali terbentuk di atas muka bumi?

Terus pentingkah merayakan tahun baru untuk sebuah usia? Padahal ini berarti merayakan berkurangnya usiamu di dunia. "Merayakan kehidupan dan beryukur atasnya pada Tuhan" mungkin terdengar sebagai alasan yang paling masuk akal kenapa teman-temanmu meminta traktiran makan. Seremonial dengan makan mengingatkan salah satu kebutuhan untuk tetap bertahan pada roda kehidupan. Tapi bisakah kita menggantinya dengan ritual lainnya? Misalnya... kebut-kebutan di jalanan, untuk merasakan bagaimana bernilainya sebuah kehidupan.

Masih banyak hal yang bisa ditanyakan. Dan akan ada banyak pilihan-pilihan jawaban di angka dua puluh delapan. Untuk sudut pandang kebanyakan orang, usia 28 memang belum cukup matang. Tetapi bagi sebagian kecil manusia yang selalu berpikir bagaimana mengefisienkan waktu hidupnya dan mau membayar jutaan rupiah untuk sebuah riset mengenai cara menghemat 3 detik di antrian McDonald's, usia 28 sudah terlalu matang dan harus segera diangkat untuk memulai babak baru kehidupan.

What next? Apa selanjutnya? Inilah pertanyaan yang harusnya juga dipikirkan saat usiamu hampir berada di kepala tiga... hampir senja.
Tetapi... vonis itu juga bisa jadi diucapkan terlalu pagi.

"Because if no one comes from the future to stop you from doing it, then how bad of a decision can it really be?" Happy birthday to me.

Bumi, 080715.

*42: jawaban untuk semua misteri dan pertanyaan di alam semesta