Monday, November 28, 2016

Takut

"Sudah berapa lama pacaran sebelum menikah?"
"Sekitar 3 tahunan lah..."

Kita mungkin pernah mendengar kalau di dalam Alkitab, kalimat "Jangan takut" atau kalimat sejenis itu tertulis sebanyak 365 kali; yang berarti setiap hari, kita diperintahkan untuk tidak takut terhadap apa pun yang terjadi di dunia ini. Tapi mengapa kita, saya, sering memiliki ketakutan-ketakutan yang bahkan kebanyakan hanya ada di pikiran?

Seperti seseorang yang baru saja curhat soal ketakutannya terhadap pasangannya. Selama 5 tahun, dia takut untuk benar-benar menyayangi pasangannya karena takut akan ditinggalkan. "Kata orang kan gitu: 'Jangan terlalu sayang, nanti bisa gila kalau ditinggalkan.' Jadi karena itu aku takut buat beneran jatuh cinta sama dia." Begitu dalihnya.

Saya juga pernah mendengar cerita dari seorang pendeta, yang salah satu aktivis di gerejanya melakukan hubungan seks dengan pacarnya, yang juga sama-sama melakukan pelayanan di gereja yang sama, sampai hamil dan kemudian melakukan aborsi, dengan dalih: "Aku takut ditinggal sama dia." Lalu ketika si pendeta bertanya: "Setelah kamu melakukan aborsi karena perbuatannya, kamu masih pacaran sama dia?" dan jawabannya membuat shock si pendeta: "Saya masih pacaran sama dia, masih berhubungan seks dengannya; karena saya takut tidak ada pria lain yang mau menikahi saya selain dia." Jawabnya dengan berlinang air mata, cerita si pendeta.

Saya juga baru saja melakukan sesi konseling karena ketakutan-ketakutan yang diciptakan di pikiran saya. Cemas, khawatir, ragu-ragu, tidak bergerak sehingga tidak maju-maju; adalah beberapa efek nyata dari ketakutan atas kejadian-kejadian yang bahkan belum terjadi. Meskipun pasti terjadi, tapi sekarang belum terjadi dan mungkin saja tidak akan terjadi seperti bayangan-bayangan dalam pikiran saya selama ini.

"Lalu suami kamu tahu ketakutan-ketakutanmu itu?"
"Ya belum lah ... makanya aku ceritanya sama kamu. Terus aku harus ngapain?"

Sejujurnya, saya juga gak tahu dia harus berbuat apa. Karena saya pun mempunyai masalah yang sama dengan dia, yakni menghadapi banyak ketakutan dalam benak saya. Tapi kemudian saya teringat sesuatu ...

"Coba cerita aja sama suamimu soal ketakutan-ketakutanmu. Beralasan sih menurutku. Tapi kamu pernah baca gak cerita tentang seorang istri yang selama pernikahannya juga takut untuk menunjukkan kasih sayangnya pada suaminya ... tiap hari suaminya dijutekkin, dimarah-marahin, sering didiemin ... walaupun suaminya gak melakukan kesalahan apa-apa dan tetap sabar menghadapi kelakuan aneh istrinya. Sampai kemudian suaminya kecelakaan parah dan si istri mengaku semuanya saat di rumah sakit, kalau dia takut untuk mencintainya karena takut akan kehilangannya."

"You made it up? 🙂"

"Enggak lah, aku pernah baca. Tahu lah banyak banget artikel atau cerita semacam itu di internet akhir-akhir ini."

"Okay. I'll try. Tengkyu Vic. Selalu menyenangkan kalau ngobrol sama kamu 😊"

Ya ... saya lebih suka begitu, kalau itu semua dianggap hanya obrolan; bukan sesi konseling atau sejenisnya.


Hingga akhirnya saya berpikir, (dan membuat saya kembali menulis di blog ini 😀) bahwa ketakutan-ketakutan itu adalah kekuatan pengaruh iblis yang tidak ingin kita, saya, manusia, bertumbuh lebih lagi dalam iman dan perbuatan. Seperti yang saya rasakan ketika rasa takut itu menyelinap di pikiran: saya menjadi tidak berani untuk berbuat lebih dan membuat saya tidak bergerak ke mana-mana.

Dan ketika saya sampai di bagian ini, saya teringat kalimat dalam kitab I Yohanes 4:18 bahwa "Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih."

Takut kehilangan pacar dan karenanya mau melakukan dosa dengannya? Takut dipecat dari perusahaan dan karenanya tidak jujur pada pelanggan? Takut mengasihi pasangan karena takut ditinggalkan?
Jadi sekarang kita sudah tahu jawabannya: jika rasa takut menjadi alasan kita berbuat sesuatu, berarti perbuatan itu jauh dari makna KASIH. Dan demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.

Untuk ... (sebut saja) Nina.
Yogyakarta, 27 November 2016