Monday, June 1, 2020

Penyebab Pandemi Covid-19 Ini Adalah Saya


Ibadah hari Minggu ini berbeda sekali. Padahal hari ini bukan hari raya Paskah atau Natal, tetapi parkiran gereja sudah penuh dengan kendaraan sejak jam 5 pagi. Bahkan ketika ibadah belum dimulai, seluruh kursi dan bangku cadangan yang tersedia sudah terisi.

Mungkin karena hari ini adalah ibadah hari Minggu pertama, di jam pertama, pukul 6 pagi, setelah semua orang mendapatkan vaksin virus Covid-19. Saya pikir saya sama seperti Jemaat yang lainnya, semuanya sudah merindukan bertatap muka dengan teman-teman dan saudara seimannya, secara langsung dan bisa berjabat tangan atau berpelukan, tanpa melalui jaringan nirkabel dan aplikasi Zoom atau semacamnya. Saya merasakan energi dari kerinduan itu di pagi hari ini, dan entah kenapa saya yang biasanya malas menyapa, saat ini rasanya senang sekali bisa bersentuhan dengan manusia lainnya.

Ibadah dimulai. Saya beruntung bisa duduk di kursi di ruang ibadah utama. Saya pikir masih banyak Jemaat di luar gedung gereja yang gigit jari karena tidak mendapat kursi. Belum lagi memikirkan sibuknya petugas parkir dan para aktivis yang mengatur kendaraan agar bisa muat di tempat parkir. Ah, kenapa malah sibuk berpikir yang lain? Ok. Fokus. Tenang. Saat ini akan masuk ke hadirat Tuhan. Hmm, apakah kalau ibadah online selama ini berarti gak masuk ke hadirat Tuhan? Entahlah. Nah, gak fokus lagi dah... tenang. Diam. Matikan ponsel aja ya.

Di tengah ibadah, sebelum kotbah, tidak biasanya ada orang yang mau memberi kesaksian. Ah... bapak itu. Kasihan dia. Bisnisnya hancur akibat pandemi. Sebelum pandemi Covid-19, beliau adalah salah satu "penyumbang" terbesar gereja ini. Jika gereja mengumumkan sedang mengumpulkan dana untuk sarana/prasarana pelayanan, pasti minggu depan sudah ada nama "TM" sebagai pemberi persembahan terbesar dan kadang 50% lebih sudah terpenuhi karena bapak ini. Tapi saya dengar sih, setelah badai pandemi menghantam dalam negeri, usahanya di ambang kebankrutan hingga pernah masuk salah satu pokok doa di Warta Jemaat digital gereja ini. Entah bisnisnya apa, setahu saya sih di bidang jasa keuangan dan agen perjalanan. Semoga beliau bisa kembali ke keadaan semula, agar gereja ini mudah memenuhi kebutuhan pelayanannya.

"Sebelumnya saya minta maaf kepada Bapak/Ibu/Saudara sekalian. Karena setelah saya renung-renungkan, penyebab pandemi Covid-19 ini adalah saya."

Pikiran saya berhenti demi mendengar kalimat awal "kesaksian" ini. Apa? Jadi... bapak ini yang membuat virus Covid-19?
Lalu sama seperti saya, para Jemaat mulai bising seperti kawanan lebah; bersuara pelan tapi bernada resah.

"Ya, maafkan saya. Karena kebebalan hati saya, Tuhan akhirnya mengizinkan virus Covid-19 ini hingga ke Indonesia."

Jemaat mulai tenang. Mungkin karena penasaran. Ingin tahu apa sebab bapak yang baik ini turut andil menyebarkan virus Covid-19.

"Sebelum Covid-19 ini ada, saya adalah orang yang paling percaya diri dengan semua yang saya lakukan. Setiap usaha saya selalu berhasil, apa yang saya kerjakan pasti menuai hasil. Saya saat itu tidak lagi ingat kapan terakhir kali saya pernah gagal, dan karenanya saya selalu yakin ketika memulai usaha baru dan melakukannya dengan total. Bahkan saya saat itu sudah lupa, kapan terakhir kali mengajak Tuhan berdiskusi sebelum memulai segala sesuatunya. Meskipun kelihatannya saya selalu ingat akan Dia; dengan setiap hari Minggu ke gereja, memberi persembahan terbaik, menurut saya, kepada-Nya, menyuruh anak-anak saya ke Sekolah Minggu, menyekolahkan mereka ke sekolah Kristen agar mereka rajin berdoa, tetapi sesungguhnya saya sangat jauh dari Tuhan."

Hening. Bapak itu mengusap air mata di pipinya.

"Setiap ajakan untuk pelayanan, saya tolak dengan dalih kesibukan. Tapi saya memang sibuk dengan semua usaha baru saya, yang entah kenapa, selalu lancar-lancar saja. Dan kompensasinya, mungkin untuk menebus rasa bersalah saya, saya selalu loyal kepada gereja. Saya saat itu berpikir: biarlah saya yang ambil bagian untuk rajin bekerja untuk Tuhan, dan gereja saja yang berdoa untuk saya; bukankah kita semua peranannya beda-beda? Begitu pembelaan saya, pembenaran atas diri sendiri sebenarnya, saat saya mulai tidak ada lagi waktu untuk berdoa secara pribadi dan merenungkan firman-Nya. Saya pernah, suatu kali merasa, kalau Tuhan ingin secara pribadi berbicara dengan saya. Seminggu sebelum pasien Covid-19 pertama diumumkan presiden Jokowi, selama seminggu itulah saya selalu terbangun di dini hari. Tapi mungkin karena saya sudah tidak peka lagi akan suara-Nya, saya malah menggunakan waktu itu, karena tidak bisa kembali tidur, untuk menulis rencana ekspansi bisnis saya selanjutnya. Dini hari itu, selama seminggu, saya masih berpikir kalau yang saya lakukan wajar, karena pasar dunia mulai goyang akibat isu perang dunia dan wabah di Cina, dan saya merasa harus berbuat sesuatu untuk membuat rencana-rencana baru pada bisnis saya. Toh, banyak orang hidupnya bergantung pada saya; paling tidak ada 52 karyawan saya, keluarga mereka, dan gereja, hingga saya tidak pernah sedikit pun terpikir tentang kerinduan yang Tuhan rasakan kepada saya."

Bapak itu menghela nafasnya. Waktu untuk kesaksian sebenarnya sudah selesai, tapi semua MJ dan PNJ bergeming. Jemaat juga masih hening.

"Sampai kemudian virus itu masuk ke Indonesia dan dinyatakan oleh WHO sebagai pandemi, saya mulai dihadapkan dengan kenyataan kalau setiap hari bisnis saya merugi. Saat itu saya masih terus mengingkari kenyataan ini dengan afirmasi-afirmasi, 'Saya bisa melewati ini!' atau 'Tuhan pasti tetap menyertai', tapi keadaan sesungguhnya berbeda sekali. Saya tidak lagi menuai hasil dengan inovasi-inovasi. Saya tetap gagal meskipun selalu berinisiatif dan bekerja dengan total. Bahkan saat itu saya tidak lagi ingat bagaimana rasanya berhasil melakukan sesuatu; keberhasilan terasa jauh di masa lalu. Satu per satu karyawan mulai saya rumahkan. Kios-kios mulai tutup karena malah menambah kerugian, dan beberapa bahkan saya jual agar bisa memberi pesangon kepada karyawan yang saya PHK. Tiket dan voucher yang sudah terjual harus saya tebus karena tidak bisa digunakan. Tagihan-tagihan atas cicilan mulai berdatangan, meskipun tidak ada lagi pemasukan. Bahkan dana darurat perusahaan akhirnya saya cairkan demi bisa bertahan. Di saat itulah saya mulai mencari pertolongan ke teman bisnis, rekan usaha, dan keluarga, tapi semuanya ternyata mengalami keadaan yang sama. Saya masih belum ingat kalau ada Tuhan, belum. Saya hanya ingat kalau saya masih Kristen, dan karenanya saya masih rajin menonton ibadah online setiap hari Minggu. Nonton saja, karena dalam hati saya, perlahan, mulai menolak adanya Tuhan karena keadaan."

MJ, PNJ, dan Jemaat masih hening. Tidak ada kasak kusuk sedikit pun, meskipun alokasi waktu seharusnya sudah untuk kotbah Minggu. Bahkan Pakpen tetap diam di atas mimbar gereja.

"Sampai suatu ketika di hari Selasa, saat saya sudah 5 bulan dalam rumah saja, saya bersih-bersih gudang dengan tujuan mencari-cari barang yang sekiranya bisa diloakan. Saya mendapati buku kecil dari penulis idola saya, dulu, Xavier Quentin Pranata, dan menangis sejadi-jadinya di gudang itu karena sebuah cerita. Bayangkan, istri saya sampai lari ke gudang karena mengira saya sangat depresi sampai kesurupan."

Jemaat tertawa karena Bapak TM mulai melempar gurauan. Tapi tidak ada yang protes karena waktu kotbah sudah setengahnya digunakan.

"Jadi begini salah satu cerita di buku itu yang diberi judul: 'Saya Mematahkan Kakinya':
Ada seorang wanita sedang menikmati udara musim panas di Swiss dengan berjalan-jalan. Ketika mendaki sebuah lereng gunung, dia tiba di rumah seorang gembala. Dia melihat seorang gembala yang sedang duduk dikelilingi ternak-ternaknya. Di pangkuan gembala itu, terbaring seekor domba yang kakinya patah. Dengan perasaan penuh simpati, wanita itu bertanya, 'Apa yang terjadi dengan domba itu?' Dengan wajah penuh arti, gembala itu menjawab, 'Saya telah patahkan kakinya’.
Wajah wanita itu tiba-tiba berubah menjadi penuh kengerian dan rasa sakit. Karena melihat perubahan itu, sang gembala lalu dengan cepat berkata, 'Bu, dari semua domba saya, domba inilah yang paling bandel. Dia tidak pernah mematuhi saya. Dia tidak mau mengikuti arah yang saya tunjukkan. Dia suka ngelayap pergi ke tempat-tempat curam di tebing yang terjal dan sering membahayakan dirinya sendiri. Tidak hanya itu, dia juga membuat domba-domba saya yang lain berserakkan. Saya sudah berpengalaman menangani domba nakal seperti ini. Jadi, saya kemudian mematahkan kakinya. Hari pertama saya mendekatinya untuk memberi makan, dia mencoba menggigit tangan saya. Saya biarkan selama dua hari. Dan sekarang, dia tak hanya mau memakan makanan yang saya berikan, tetapi juga menjilati tangan saya dan menunjukkan sikap penyerahan bahkan kasih sayang. Dan sekarang, saya yakin, jika domba ini sudah sehat, dia akan menjadi domba paling teladan dalam kumpulan ternak saya. Tidak ada domba lain yang lebih cepat mendengar suara saya. Tidak ada domba lain yang mengikuti saya begitu dekat selain dia.'
Ya, cambukan Allah memang menyakitkan, namun menyembuhkan. Saya masih beruntung, Tuhan tidak mematahkan kaki saya atau membuat saya dan keluarga saya tertular Covid-19. Mulai hari itu sampai dengan sekarang, saya selalu menyertakan Tuhan dalam setiap perencanaan bisnis yang akan saya kerjakan. Saya selalu mengajak keluarga saya berdoa bersama. Saya bahkan meminta maaf kepada mereka. Ya, saya akhirnya berani mengakui kalau saya sering melupakan mereka karena sibuk sendiri dengan bisnis saya. Tidak ada lagi pembenaran diri kalau saya bekerja keras juga untuk mereka, juga tidak ada lagi rasa selalu kurang dalam batin saya akan harta benda, sebab pada akhirnya bukan uang dan kekayaan yang menolong jiwa saya, tetapi oleh karena Tuhan Yesus dengan perantaraan melalui mereka, keluarga saya, yang memulihkan saya hingga tidak sampai masuk rumah sakit jiwa."

Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (Ibrani 12:5-6)


Kemudian Bapak itu tersenyum dan memandang ke arah kursi di mana ada istri dan anak-anaknya duduk, sambil bergumam 'terima kasih'.

"Oia, tolong ingatkan saya pada Covid-19 ini kalau menolak diajak ikut latihan paduan suara atau beralasan tidak bisa datang ke persekutuan keluarga di gereja ya."

Lalu beliau tertawa kecil dan melemparkan pandangannya ke arah kursi MJ dan beberapa Jemaat, yang sepertinya mengenal baik dirinya.
Beberapa Jemaat mulai tertawa lepas, bahkan ada yang bertepuk tangan. Entah karena senang karena kotbah sepertinya akan singkat saja, atau ikut bersukacita karena kesaksian yang begitu... mencengangkan.

"Akhir kata, bersukacitalah atas cambukan yang Tuhan berikan kepada kita. Karena itu tanda kalau Tuhan masih sayang kepada kita semua."

Bapak itu turun dari podium dan diiringi riuh tepuk tangan Jemaat. Beberapa bahkan berdiri dan menyalaminya.

Ah... semoga nanti kotbahnya gak lama. Kasihan Jemaat yang menunggu di luar gedung gereja untuk ibadah yang akhirnya secara "live" diselenggarakan, setelah hanya bisa nonton online selama berbulan-bulan.

Saturday, May 9, 2020

Menjadi... Bukan Mencari

The Search for The Sacred: Bagaimana jika pertanyaannya bukan lagi: "Apakah Anda sedang mencari?", tetapi: "Apakah Anda sudah menjadi?".

Saat materi “Terapi Terapeutik” di kelas School of Counseling (SOC), pemateri mengatakan bahwa setiap orang itu hidup seperti dalam film, yang mempunyai genre masing-masing. Ada film kehidupan ber-genre drama, action, sci-fi, thriller, horor, komedi, komedi romantis, dsb., dan kita adalah lakon utamanya. Jika genre hidup kita drama, maka akan menarik pemeran-pemeran drama lainnya untuk masuk ke kehidupan kita: ada pemeran orang bermuka dua, ada pemeran orang yang suka menyakiti/disakiti, dan selalu ada yang memerankan orang yang suka berkata-kata di dalam hati sambil memainkan mimik muka sadis… Itu sebabnya, mereka yang belum kenal dirinya dan atau tidak mau mengubah “genre” hidupnya, cenderung akan mengulang-ulang peristiwa yang sama dan bertemu lalu berteman dengan mereka yang karakternya mirip-mirip dengan dirinya.

Misalnya, seperti yang pemateri SOC waktu itu cerita, ada seorang wanita yang selalu berhubungan dengan pria yang suka menyakitinya. Sampai berkali-kali, dan dia masih tidak tahu mengapa bisa terjadi. Pacarnya adalah pria-pria yang kasar, sering mem-bully dirinya, dan tidak segan melakukan kekerasan fisik padanya. Mungkin genre hidup wanita ini adalah drama. Di alam bawah sadarnya, dia suka disakiti sebenarnya. Kalau gak salah ingat, Pak Siswanto, pematerinya, berkata demikian. Saat itu saya tidak habis pikir, kok ada ya orang seperti itu… dan ternyata memang ada di dunia nyata. Berikut adalah pengakuan dari Ally Vestervelt, salah satu contoh orangnya, yang ditulis di buku “The Sacred Search”:

Lihatlah kesalahan-kesalahan calon pasangan Anda dan pikirkan apakah Anda bisa hidup dengan kelemahan-kelemahan itu, ya. Pikirkan apakah Anda ingin orang ini menjadi ayah/ibu bagi anak-anak Anda, dan sebagainya. Tetapi, saya memberi peringatan kepada para lajang untuk tidak menyalahkan hubungan buruk pada pihak lain. Saya pikir hal ini seperti mempersiapkan kegagalan dalam penikahan. Saya menghabiskan terlalu banyak waktu sebagai seorang lajang untuk mencari “suami yang baik” dan tidak punya cukup energi untuk memikirkan bagaimana saya bisa menjadi seorang istri yang baik.
Menurut pengalaman saya, kelemahan pasangan saya paling banyak mencerminkan kesalahan saya sendiri, meskipun saya tidak menyadarinya. Jika saya ada dalam sebuah hubungan dan berpikir, “Wah, pacar saya jelas tidak siap menikah, karena ia memiliki masalah besar seperti ini,” ternyata kemungkinan besar saya juga memiliki masalah besar seperti itu. Mungkin bukan persis masalah yang sama, tetapi masalah itu sebagian besar mencerminkan kelemahan pasangan saya. Saya khawatir banyak lajang yang sedang memandang pada sebuah hubungan buruk, lalu berpikir: “Oke, yang harus saya lakukan adalah memutuskan hubungan ini dan mencari calon yang lain. Itu tidak akan memecahkan masalah. Setidak-tidaknya, solusi itu tidak memecahkan masalah saya.
Butuh tiga hubungan tragis sebelum saya menyadari masalahnya adalah diri saya sendiri (betapa lamban saya belajar!). Saya terus berpikir kalau saja saya bisa keluar dari hubungan “buruk” ini, saya akan bisa menemukan hubungan yang lebih baik, –pria yang lebih baik–. Dan, ketika hubungan saya masih saja berjalan dengan buruk, saya masih belum melihat peran saya di dalamnya. Saya terus berpikir, "Mengapa Allah menentang saya? Apakah saya ini magnet bagi pria-pria brengsek?!"
Setelah dengan tiga orang pria luar biasa yang berbeda dan tiga kali putus hubungan luar biasa berikutnya, baru semuanya menjadi jelas bagi saya: ke mana pun saya pergi, hasilnya sama saja. Menemukan pria yang lebih baik bukan jawaban. Saya harus membereskan sesuatu yang salah dalam diri saya sendiri.

Nah sekarang, bagaimana jika pertanyaannya bukan lagi: “Orang seperti apa yang Anda cari?” atau "Apa kriteria pasangan hidupmu nanti?", tetapi: "Apakah Anda sudah menjadi pribadi yang dicari oleh pasangan hidup yang Anda inginkan di kemudian hari?".

Banyak kaum pria menghabiskan waktu hidupnya untuk mencari wanita yang diinginkannya, yang sesuai kriterianya; tapi tidak pernah mencari tahu apa yang diinginkan oleh wanita dengan kriteria yang dicarinya. Sebaliknya, banyak kaum wanita menghabiskan tenaga dan waktunya untuk menjadi yang paling diinginkan oleh para pria; tapi tidak pernah mau tahu apa yang dicari oleh pria yang kelak diinginkannya untuk menjadi pendampingnya. Sehingga yang terjadi, mereka saling ribut menuntut karena masing-masing ingin pasangannya berubah sesuai keinginannya sendiri. Atau, yang lebih parah, salah satunya menjadi selalu menerima perlakuan pasangannya dan selalu mengalah; seolah-olah percaya bahwa takdir hidupnya memang demikian: diciptakan untuk selalu kalah.




Cerita pengakuan dari Ally Vestervelt tadi sedikit banyak menggambarkan situasi belakangan sekarang; hampir semua orang selalu mencari ke luar, tapi jarang yang melihat ke dalam dirinya. Sebagian besar orang selalu menuntut pasangannya melakukan sesuatu untuk dirinya, untuk menjadi seseorang yang diinginkannya; tanpa pernah merenungkan apakah dirinya sudah benar-benar seperti yang diinginkan pasangannya.

Karena pernikahan bukanlah sekadar mengenai menemukan orang yang tepat, sehingga Anda bisa memiliki pernikahan yang indah. Pernikahan itu juga tentang menjadi orang yang lebih baik dari hari ke hari; dan siapa pun yang (akan) menikah dengan Anda (harusnya) bisa membantu Anda mewujudkan hal ini. Sebab saya percaya, tujuan pernikahan Kristen bukanlah untuk mencari kebahagiaan semata, tetapi tujuannya lebih kepada pertumbuhan bersama-sama di dalam Tuhan dan bisa memberi dampak yang baik bagi sesamanya.

Jadi sebelum mencari orang yang tepat, jadilah orang yang tepat; agar bisa menarik si dia yang tepat untuk datang mendekat.

Friday, May 8, 2020

Joker: Bukan Orang Baik

Kalau Joker ada di Indonesia, mungkin lagu favoritnya itu "Secukupnya" dari band Hindia.

Salah besar jika ada yang memiliki kesimpulan kalau film Joker (2019) ini menunjukkan kalau orang jahat itu adalah orang baik yang tersakiti. Orang baik akan tetap jadi orang baik, seberapa pun ia disakiti. Juga menurut saya, film ini malah menjadi representasi buruk dari mereka, Orang-orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), yang digambarkan akan menjadi pelaku kriminal jika dibiarkan.

Arthur Fleck (yang lalu dijuluki: Joker) adalah seorang dengan gangguan jiwa: schizophrenia. Diperlihatkan kalau dia memang minum obat-obatan untuk menekan efek sakitnya: delusional/berhalusinasi. Dia juga punya banyak luka batin, kepahitan hidup, dan seorang korban perundungan (bully).

Seseorang yang seumur hidupnya selalu menempatkan diri sebagai korban (playing victim), memang hidupnya kebanyakan akan selalu berakhir seperti Arthur: menyalahkan semua orang akan apa yang terjadi di hidupnya, seolah-olah dia tidak punya kendali sedikit pun pada kebahagiaannya, pada emosinya, pada pikirannya, pada kebebasannya. Oleh karenanya dia, Joker, dijadikan simbol kaum yang senang berpikir dirinya adalah korban.

Poster film "Joker" (2019)

Saya pikir semua orang yang sudah dianggap dewasa, pasti punya pengalaman menjadi Arthur Fleck di dalam sebuah masa di hidupnya. Bedanya, ada mereka yang kemudian sadar bahwa hidupnya itu tidak dalam kendali orang lain, melainkan sepenuhnya dalam kuasa dirinya sendiri... dan ada mereka yang percaya bahwa dirinya tidak bisa melawan kehendak "semesta", sehingga tidak bisa berbuat apa-apa untuk dirinya, sehingga selalu menyalahkan siapa saja: pemerintah, sistem hukum, kesepakatan masyarakat, dll., yang membuat dirinya berakhir menjadi seorang yang delusional, selalu mengasihani diri sendiri saat tidak terlihat oleh orang-orang. Sakit? Iya. Memang sudah dan akan makin banyak orang sakit seperti Arthur Fleck ini di zaman sekarang. Di Indonesia saja, yang saat ini tercatat, ada 1 dari 10 orang yang menderita gangguan kejiwaan.

Tapi apa bisa sebuah negara, atau kota seperti Gotham, akan mampu bergerak maju (menjadi lebih baik) jika semua penduduknya menganggap apa yang dilakukan oleh Joker itu benar? Lalu tiap hari terjadi kerusuhan di mana-mana, kekacauan karena selalu ada ketidakpuasan, pemberontakan pada pemerintahan... dan ketika kehidupan bergerak mundur secara perlahan, semuanya berlagak menjadi korban. Ya kalau begitu selamanya Gotham akan menjadi kota mati. Kalau sudah begitu siapa yang bisa disalahkan? Mereka akan saling terus menyalahkan, lalu bunuh-bunuhan di antara mereka yang berpikir dirinya adalah korban. Terus?
Terus ya akan looping, berputar di situ-situ saja; bergerak di tempat, gak akan ke mana-mana.

Sudah sering digambarkan kalau kejahatan itu hanya akan menghasilkan kejahatan lain. Kekerasan hanya akan menyublim menjadi kekerasan dalam bentuk lain. Begitu seterusnya... kapan selesainya?

Jadi gak usahlah memperbaiki sistem (pemerintahan) dengan cara membuat atau jadi jalan kerusuhan, lalu berdalih 'jika gak gitu, gak akan diperhatikan'.

Padahal digambarkan di film Joker, Arthur Fleck itu sesungguhnya adalah korban kekerasan orangtua angkatnya. Dia diadopsi bukan untuk disayangi, tapi malah dijadikan pelampiasan, dibuat sasaran ketidakwarasan, akibat sakit jiwa yang diderita ibunya. Setelah dewasa, Arthur lalu membunuh ibunya yang sudah selama ini dirawatnya. Kekerasan terjadi lagi. Pembunuhan dianggap hal yang wajar jika terjadi. Kebrutalan-kebrutalan yang selalu dijadikan pembenaran bagi mereka yang menganggap dirinya adalah korban... yang salah selalu orang lain. Dirinya selalu benar... apakah mulai terdengar familiar?

Cuma saya juga menangkap pesan kalau "menjadi korban" itu juga diakibatkan oleh ketidakpekaan orang lain juga, akibat hilangnya rasa empati pada sesamanya. Oleh sebab itu apa yang bisa dilakukan pada fakta bahwa saat ini sudah ada "Arthur Fleck" di sekitar kita, dan akan bertambah lagi di masa yang akan datang di Indonesia?

Ya... milikilah rasa empati pada sesama, jangan selalu ingin menguasai semuanya; atau ingin memiliki segalanya. Sebab akan selalu ada korban pada sistem yang dibuat oleh mereka yang serakah dan hanya berpikir soal dirinya. Juga kembali lagi, realitanya tidak semua korban di sini bisa berpikir jernih untuk menyadari bahwa dirinya adalah pengendali hidupnya sendiri.



Setiap orang yang kamu temui di luar sana memiliki masalah dan beban yang berat menurutnya, yang kamu tidak tahu seberapa besar itu memengaruhi dirinya. Jadi tetaplah bersikap baik pada siapa saja dan lakukanlah ini pada tiap kesempatan yang ada. Mungkin dengan demikian, para "Arthur Fleck" di sekitar kita tidak akan berubah menjadi "Joker" di masa depan.

Sekian.

Thursday, May 7, 2020

Kompetisi Lampu Sorot


(sharing utas dokter Jiemi)



Di sebuah adegan dalam film "Notting Hill", ada momen di mana hampir semua pemerannya duduk di satu meja makan, setelah makan malam, dan berkompetisi untuk mendapatkan potongan roti brownies terakhir yang disajikan sebagai hidangan penutup. Kompetisinya cukup mudah: siapa yang cerita hidupnya paling menyedihkan, dialah yang menjadi pemenang.

Adegan itu langsung teringat di kepala saya ketika membaca utas dokter Jiemi mengenai "Kompetisi Lampu Sorot".

Ketika sekolah konseling dulu, cara untuk menghindari kompetisi lampu sorot adalah dengan mengenali diri sendiri terlebih dahulu. Setelah kenal, setelah mengenali luka-luka batin yang disadari dan yang tidak disadari, lalu ikut "proses penyembuhan"nya hingga bisa berdamai dengan itu semua, barulah lolos ke level selanjutnya. Karena apa? "Gak mungkin kan ada konseli yang cerita masalah dengan pacarnya, lalu karena Anda, konselornya, juga punya luka yang sama, kemudian ikut emosional dan membuat panas suasananya. Atau lebih parahnya, Anda malah menggampangkan masalahnya: 'Halah... cuma gitu aja. Aku lho dulu...'".

Kompetisi lampu sorot: ketika ada orang lain cerita tentang masalahnya pada Anda, Anda malah menyoroti diri sendiri dengan masalah yang Anda pernah hadapi dan mengecilkan masalah orang di depan Anda.

Ketika orang datang pada Anda dengan masalahnya: "Nyokap gak tahu kalau sahabat gue sebenernya itu pacar. Gue takut dia gak siap terima bahwa anaknya bukan heteroseksual."
Tapi Anda malah meresponnya: "Mending elo cuma takut ketahuan homoseksual. Lha dulu gue malah jelas-jelas kelihatan banget bawa pacar beda agama ke rumah."

Ketika orang datang pada Anda dengan masalahnya: "Bokap maksa gue milih Capres pilihan dia. Kalau nggak, gue gak dikasih uang bulanan."
Tapi Anda malah meresponnya: "Ya udah sih, bilang aja loe nyoblos Capres sesuai keinginan bokap loe. Biarpun loe nyoblos lawannya."

Ketika orang datang pada Anda dengan masalahnya: "Saya udah bener-bener gak bisa percaya laki-laki lagi sih."
Tapi Anda malah meresponnya: "Bener, Jeng. Laki itu emang buaya semuanya!"

Pelaku kompetisi ini merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling menderita. Dia menjadikan penderitaan sebagai kompetisi agar sebagai pemenang, dia menjadi berhak yang paling banyak bicara dan lawan bicaranya seharusnya bersyukur kalau penderitaannya belum seberapa. Itu kenapa para calon konselor harus sembuh dulu dari luka-luka batin di dalam dirinya, sebelum nantinya bisa membantu para konseli untuk berproses menyembuhkan luka-luka di batinnya.

Lagipula rebutan lampu sorot ini, menurut dokter Jiemi, juga menampilkan sisi lain dari si pemenang kompetisi, yakni ingin memberi makan ego di dalam diri. Ya, seandainya mau jujur, orang-orang yang seperti ini sesungguhnya bukan ingin menolong orang lain, tapi karena kebutuhan untuk memuaskan ego di dalam dirinyalah yang mendorong dia merebut lampu sorot orang yang datang padanya dengan masalahnya. Dengan motif pemuasan egonya, dia jadi gagal mengukur penderitaan dari sudut pandang orang lain yang datang padanya, karena biar bagaimana pun masalah itu sifatnya personal: bagi seseorang, putus berpacaran itu sudah biasa, tapi tidak dengan yang lainnya. Jadi sebenarnya masalah hidup tiap orang itu unik, tidak ada "resep" untuk masalah yang terlihat generik.

Berempati menjadi kunci, tutup dokter Jiemi. Jika kita ingin membantu orang lain dengan masalahnya, maka kita perlu bersama-sama merasakan penderitaannya sebagai manusia. Cukuplah dengan mendengarkan saja; tanpa perlu menanggapi dengan bercerita tentang masalahmu yang mirip kepadanya. Juga jangan berkata kalau Anda memahaminya, bisa merasakan lukanya, jika Anda tidak benar-benar tahu persis rasanya terluka sepertinya.

Di adegan kompetisi roti brownies di film Notting Hill kita bisa belajar bahwa tak perlu rebutan lampu sorot, karena ada saatnya Anda akan mendapatkan kesempatan untuk bercerita. Karena sekali lagi, masalah itu sifatnya sangat personal sekali. Ia tidak akan hilang dengan dibandingkan, tapi kita bisa membantu mengatasinya dengan kekuatan empati dan kerelaan hati untuk mau mendengarkan.





Wednesday, May 6, 2020

Secukupnya (Hindia)

"Gue dilahirkan dari keluarga yang cukup memaksa gue untuk menjadi dewasa duluan. Dan dari kecil gue selalu beranggapan bahwa itu semua adalah salah bokap gue. Di tahun ke-10 bokap gue kanker, ada satu insiden yang mengharuskan gue ngobrol sama dia. Di situ dia cerita, cerita dari dari sisi dia dan pada saat dia nangis, gue baru sadar bahwa bokap gue pun manusia yang bisa buat salah. Dua bulan kemudian, di rumah sakit, dia bilang ke gue, di atas kasur, 'Valen, kamera papi ya.' Dan gue jawab, 'Tenang, Pi. Valen kok yang pake.'"
(Tanpa rangkaian kejadian tersebut, saya tidak mungkin mulai menekuni videografi)

Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang? (Renggang)
Tak perlu memikirkan tentang apa yang akan datang, di esok hari.
Tubuh yang berpatah hati, bergantung pada gaji,
Berlomba jadi asri, mengais validasi.
Dan aku pun terhadir, seakan paling mahir
menenangkan dirimu yang merasa terpinggirkan dunia
tak pernah adil.

Kita semua gagal, angkat minumanmu
bersedih bersama-sama.
Sia-sia... (pada akhirnya)
putus asa... (terekam pedih semua)
masalahnya (lebih dari yang)
secukupnya.

Rekam gambar dirimu yang terabadikan bertahun silam.
Putra-putri sakit hati, ayah ibu sendiri,
komitmen lama mati, hubungan yang menyepi.
Wisata masa lalu, kau hanya merindu.
Mencari pelarian, dari pengabdian yang terbakar sirna,
mengapur berdebu.

Kita semua gagal, ambil s'dikit tisu
bersedihlah secukupnya.
Secukupnya... ('kan masih ada)
penggantinya... (belum waktunya kau bisa)
menjawabnya...
secukupnya.

Semua yang sirna 'kan kembali lagi.
Semua yang sirna 'kan nanti berganti.



Dan inilah quotes dari para Sobat Anonim yang ditampilkan di video klip tersebut:

"Aku diasingkan keluarga sejak nenek meninggal karena perebutan harta."

"Even my parents call me a dumbass."

"It's been years and I still feel like falling, how can I get back up if I haven't reached the bottom?"

"I am constantly being fatshamed. I laugh, but it hurts inside."

"Gue sebagai junior selalu merasa berada di bawah bayang-bayang lo."

"Bapak minta saya lulus sebelum dia pensiun."

"I saw my ex with someone new in John Mayer's concert and it ruined my night."

"Tante gue nganggep rendah keluarga gue karena merasa pendapatan bokap minim banget."

"I think my sister regrets marrying her husband."

"Aku udah kurang sabar gimana?"

"Dunia gue dibalikin 180 derajat saat Bokap ninggalin gue selama-lamanya."

"Bunda meninggal karena kanker awal tahun ini. Kalimat terakhir almarhum ke gue adalah 'Jangan lupa kunci pintu depan.'"

"Nyokap gak tahu kalau sahabat gue sebenernya itu pacar. Gue takut dia gak siap terima bahwa anaknya bukan heteroseksual."

"Mamanya di mana, Dek? Kok gak pernah kelihatan?"

"Gue merasa gagal banget sebagai manusia."

"Saya mendapatkan pesan WhatsApp dari perempuan cantik tak dikenal, katanya ayah saya sedang merokok di teras rumahnya."

"Ayah kena PHK sepihak."

"Woi item, baris yang bener!"

"Orangtuanya ingin menantu yang pakai hijab."

"I am occassionally harrassed by my boss at the office. I'm scared if I speak up, I'd lose my job."

"Kondisi fisik mata gue kurang normal. Gue selalu minder ketemu orang baru."

"Bokap maksa gue milih Capres pilihan dia. Kalau nggak, gue gak dikasih uang bulanan."

"Walau lama nabungnya, tapi seneng sih akhirnya bisa ngajak Adek nonton di IMAX waktu itu."

"Apa rasanya sih dibolehin pulang di atas jam 8 malam?"

"Seumur hidup gue pengin banget jadi pilot. Setelah tiga kali gagal seleksi, kayaknya gue nyerah aja."

"Pengin resign... tapi nanti keluarga gimana?"

"Gue belum pernah cerita ke siapapun; 10 Januari lalu gue coba gantung diri."

"Seharusnya aku membiarkan Bapak mati saja saat ia mengancam bunuh diri beberapa minggu setelah memukul Ibu."

"Gimana sih rasanya shalat bareng-bareng keluarga, dengan ayah sebagai imam?"

"Aku korban pelecehan seksual, korban patriarki teman sepekerjaan, dan hampir bunuh diri karena depresi."

"Saya mengabadikan beliau lewat tato."

"Ibu bilang bahwa di sini sepi. Ini mimpi, karena beliau sudah meninggal."

"Beliau udah 10 tahun lebih selingkuh dan gak berhenti-henti."

"Gue udah gak tahu gimana lagi caranya bilangin mama."

"Minim yang tahu kalau saya punya schizophrenia."

"Bokap meninggal pas gue lulus sekolah, jadi dia gak pernah ngerasain gaji gue."

"Aku udah kurang sabar gimana?"

"Semenjak Ibu tahu kalau Bapak selingkuh, Ibu jadi jauh. Sibuk dengan dunianya sendiri."

"Malu banget punya kakak kayak dia."

"Jangan sayang sama orang yang gak tepat, karena akan jadi bumerang buat diri lo sendiri."

"Gue pernah nemu heroin di kamar bokap gue."

"Masih stres banget mikirin gimana caranya saya bisa balikkin uang."

"Kamu gak pantes berkuliah di sini."

"Emangnya bisa?"

"Ibu masih gak tahu kalau cincin emasnya saya gadaikan."

"Tersinggung dong gue, mereka ngasih gue hijab sebagai kado ulang tahun."

"Saya udah bener-bener gak bisa percaya laki-laki lagi sih."

"Saya takut gak bisa bayar kos bulan depan."

"Saya belum siap menikah. Orangtua memaksa, harus tahun ini. Calonnya pun gak kenal."

"Mati rasa ngelihat iklan-iklan travel. Orang kayak gue kayaknya gak akan bisa."

"Paling enggan kalau ditanya tentang pekerjaan ayah saya."

"I lost my mother when I was still only 18 months old. I don't even know how she looked like."

"Lamaran beasiswa saya belum ada yang tembus sampai sekarang."

"Aki meninggal saat gue naik gunung, dan gue baru tahu pas sampai rumah."

"Nyesel gak dateng ke pemakaman temen gue, waktu itu gak merasa kehilangan. Telat sadar kalau sebenernya dia ada terus buat gue."

"Satu-satunya yang gak di-support kuliah lagi di keluarga karena aku cewek. Katanya gak penting."

"Saya dan mama beda agama. Katanya mama ikhlas kalau saya ikut papa. Apa yang terjadi ketika kami berdua meninggal? Apakah kami akan ada di surga yang sama?"

"Gue mending mereka berdua pisah aja sih kalau berantem terus gini."

"I tried to commit suicide 5 times."

"Kami bertiga tinggal satu atap, tapi tak pernah makan satu meja."

"Gue dan pacar bahagia, kita beda agama. Cuma kadang kepikiran kalau rasa ini hanya untuk beberapa tahun ke depan saja."

"Papa udah mulai lupa dengan nama anak-anaknya sendiri. Pedih banget ngelihatnya."

"Aku tulang punggung keluarga saat ini. Adik-adik masih belum dapat kerja."

"Ibu pernah bilang kalau dia nyesel ngelahirin saya."

"Nyatanya ada banyak kejadian sedih di rumah yang saya gak tahu."

"You learn to live with it, put in a box and keep it somewhere."

"Kalau lagi ngerasa kayak gini, kadang bangun dari kasur aja susah banget. Cuma lihatin langit-langit."

"Di titik ini gue cuma pengin pulang."

"Gue cuma berharap suatu saat bisa banggain mereka berdua aja sih."

"I am constantly being fatshamed. I laugh, but it hurts inside." (repeat)

Tuesday, May 5, 2020

Jembatan Zaman


"Masa muda dalam usia di mana manusia mencari pola-pola kepribadiannya, akan selalu mewarnai kehidupan manusia ... Dunia ini akan terus terbawa sampai akhir hidupnya." (Soe Hok-Gie)

Dari zaman Soe Hok-Gie sampai sekarang ini, selalu ada gap antara generasi tua dan generasi muda ketika berinteraksi. Selalu ada jarak antara orang tua dan para pemuda. Selalu ada roaming antara anak dan orangtua. Selalu ada “ruang kedap udara” di antara kelompok generasi hingga seolah-olah masalah dalam berkomunikasi wajar terjadi.

Salah satu hal yang saya ingat dari mantan kandidat target calon istri saya adalah tegurannya pada saya, setengah marah, ketika saya sering mengatakan "jangan" pada saat diberi kesempatan memberikan "sambutan" pada aktivis-aktivis baru dalam pelayanan. "Kamu bisa tahu itu gak bener kan karena kamu udah ngelakuinnya. Dari situ kamu terus belajar dari kesalahan, kan? Lha mereka? Kasih dong mereka kesempatan buat kesalahan, biar bisa belajar juga! Jangan apa-apa bilang 'Itu salah!', 'Jangan bikin gitu karena gini....', 'Udah gak usah coba-coba, gini benernya!', ya gimana mereka bisa belajar? Jelaslah banyak orang bilang kamu otoriter, gak kasih ruang buat kesalahan."

Orang tua berkata, "Saya pernah menjadi (anak) muda, jadi tahu seperti apa (pikiran) mereka." Tapi juga dalam idealisme kemudaannya, generasi yang lebih muda berpikir kalau zaman itu berubah, "Iya, mereka pun pernah muda, tapi kan zamannya udah berbeda."

Sebenarnya ada kelebihan dari masing-masing generasi. Generasi yang lebih tua punya pengalaman; karena meskipun zaman selalu berubah, tapi ada beberapa hal yang tidak pernah berubah. Dan generasi yang lebih muda punya visi dan kemampuan yang lebih baik untuk beradaptasi, sehingga bisa membuat roda zaman terus berputar dan membawa dunia menjadi lebih lebih baik. Oleh karena itu, yang sebaiknya dilakukan oleh masing-masing generasi adalah menghindari sikap arogan dan mau menang sendiri. Caranya? Generasi muda bisa mulai mendokumentasikan dirinya sendiri, menulis sejak dini, mengarsipkan setiap tahap perjalanan hidup, pemikiran, dan apa-apa saja yang dilakukan di dalam sebuah catatan, yang pastinya akan berguna saat tua nanti. Generasi yang lebih tua juga bisa mulai lebih terbuka, mungkin dengan membuka dokumentasi dirinya dengan berkata apa adanya, bagaimana perjalanan hidup saat masa mudanya.

Di sebuah adegan film "Shawshank Redemption", saat seorang narapidana tua melakukan sesi wawancara perihal pembebasan bersyaratnya, dia berkata: "Aku menyesali perbuatanku? Tak sehari pun dalam hidupku aku tak menyesalinya, tapi bukan karena aku di sini atau menurutmu itu sudah sepantasnya. Jika kukenang seperti apa diriku dulu ... muda ... yang masih bodoh ... melakukan kejahatan besar ... aku ingin bicara dengannya. Aku ingin menyadarkan dirinya. Memberitahunya bagaimana kehidupan itu. Tapi aku tak bisa. Anak itu sudah lama pergi ... dan yang tersisa hanya pria tua renta ini. Aku harus menghadapinya."

Atau di awal video klip Hindia "Secukupnya", seorang anak muda melakukan monolog di depan kamera: "Gue dilahirkan dari keluarga yang cukup memaksa gue untuk menjadi dewasa duluan. Dan dari kecil gue selalu beranggapan bahwa itu semua adalah salah bokap gue. Di tahun ke-10 bokap gue kanker, ada satu insiden yang mengharuskan gue ngobrol sama dia. Di situ dia cerita, cerita dari dari sisi dia dan pada saat dia nangis, gue baru sadar bahwa bokap gue pun manusia yang bisa buat salah. Dua bulan kemudian, di rumah sakit, dia bilang ke gue, di atas kasur, 'Valen, kamera papi ya.' Dan gue jawab, 'Tenang, Pi. Valen kok yang pake.'" (Tanpa rangkaian kejadian tersebut, saya tidak mungkin mulai menekuni videografi)

********/*******


Mereka, generasi tua, sebenarnya hanya ingin yang terbaik bagi hidup kita sebagai anak muda, hanya saja seringkali tidak tahu cara yang benar untuk mengatakannya. Mereka, orangtua kita, sesungguhnya hanya ingin memberi petuah hidup yang bijaksana pada anaknya, karena mereka mengenal siapa anaknya dan tidak ingin anaknya mengulangi kesalahan yang sama. Juga generasi muda, sebenarnya juga ingin bebas melakukan kesalahan yang sebanyak-banyaknya agar tahu yang benar itu gimana, hanya saja seringkali dianggap ke luar batas oleh generasi tua. Anak-anak muda, juga sesungguhnya ingin visinya dihargai oleh orangtuanya, karena mereka merasa juga kenal dirinya dan tahu kemampuannya, dan tidak ingin orangtuanya terlalu khawatir pada masa depannya.

Oleh karenanya dibutuhkan "Jembatan Zaman" yang dibangun dari pengalaman generasi tua dan idealisme generasi muda. Jembatan zaman yang menghubungkan dua generasi, yang bisa menyatukan pemikiran generasi tua dengan aksi generasi muda. Selanjutnya, cukuplah berjalan di jembatan itu agar sebagai generasi tua, tidak perlu bersusah payah menyeberangi sungai zaman yang terbentang luas di bawahnya. Juga agar generasi yang lebih muda, tidak perlu sampai hilang di dalam arus sungai zaman yang mengalir deras seperti siap menenggelamkan siapa saja.

Sebab menjadi generasi muda dan generasi tua adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah masa hidup yang harus dilalui.

Bukan dengan kesombongan diri, melainkan dengan kerendahan hati.