Thursday, May 7, 2020

Kompetisi Lampu Sorot


(sharing utas dokter Jiemi)



Di sebuah adegan dalam film "Notting Hill", ada momen di mana hampir semua pemerannya duduk di satu meja makan, setelah makan malam, dan berkompetisi untuk mendapatkan potongan roti brownies terakhir yang disajikan sebagai hidangan penutup. Kompetisinya cukup mudah: siapa yang cerita hidupnya paling menyedihkan, dialah yang menjadi pemenang.

Adegan itu langsung teringat di kepala saya ketika membaca utas dokter Jiemi mengenai "Kompetisi Lampu Sorot".

Ketika sekolah konseling dulu, cara untuk menghindari kompetisi lampu sorot adalah dengan mengenali diri sendiri terlebih dahulu. Setelah kenal, setelah mengenali luka-luka batin yang disadari dan yang tidak disadari, lalu ikut "proses penyembuhan"nya hingga bisa berdamai dengan itu semua, barulah lolos ke level selanjutnya. Karena apa? "Gak mungkin kan ada konseli yang cerita masalah dengan pacarnya, lalu karena Anda, konselornya, juga punya luka yang sama, kemudian ikut emosional dan membuat panas suasananya. Atau lebih parahnya, Anda malah menggampangkan masalahnya: 'Halah... cuma gitu aja. Aku lho dulu...'".

Kompetisi lampu sorot: ketika ada orang lain cerita tentang masalahnya pada Anda, Anda malah menyoroti diri sendiri dengan masalah yang Anda pernah hadapi dan mengecilkan masalah orang di depan Anda.

Ketika orang datang pada Anda dengan masalahnya: "Nyokap gak tahu kalau sahabat gue sebenernya itu pacar. Gue takut dia gak siap terima bahwa anaknya bukan heteroseksual."
Tapi Anda malah meresponnya: "Mending elo cuma takut ketahuan homoseksual. Lha dulu gue malah jelas-jelas kelihatan banget bawa pacar beda agama ke rumah."

Ketika orang datang pada Anda dengan masalahnya: "Bokap maksa gue milih Capres pilihan dia. Kalau nggak, gue gak dikasih uang bulanan."
Tapi Anda malah meresponnya: "Ya udah sih, bilang aja loe nyoblos Capres sesuai keinginan bokap loe. Biarpun loe nyoblos lawannya."

Ketika orang datang pada Anda dengan masalahnya: "Saya udah bener-bener gak bisa percaya laki-laki lagi sih."
Tapi Anda malah meresponnya: "Bener, Jeng. Laki itu emang buaya semuanya!"

Pelaku kompetisi ini merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling menderita. Dia menjadikan penderitaan sebagai kompetisi agar sebagai pemenang, dia menjadi berhak yang paling banyak bicara dan lawan bicaranya seharusnya bersyukur kalau penderitaannya belum seberapa. Itu kenapa para calon konselor harus sembuh dulu dari luka-luka batin di dalam dirinya, sebelum nantinya bisa membantu para konseli untuk berproses menyembuhkan luka-luka di batinnya.

Lagipula rebutan lampu sorot ini, menurut dokter Jiemi, juga menampilkan sisi lain dari si pemenang kompetisi, yakni ingin memberi makan ego di dalam diri. Ya, seandainya mau jujur, orang-orang yang seperti ini sesungguhnya bukan ingin menolong orang lain, tapi karena kebutuhan untuk memuaskan ego di dalam dirinyalah yang mendorong dia merebut lampu sorot orang yang datang padanya dengan masalahnya. Dengan motif pemuasan egonya, dia jadi gagal mengukur penderitaan dari sudut pandang orang lain yang datang padanya, karena biar bagaimana pun masalah itu sifatnya personal: bagi seseorang, putus berpacaran itu sudah biasa, tapi tidak dengan yang lainnya. Jadi sebenarnya masalah hidup tiap orang itu unik, tidak ada "resep" untuk masalah yang terlihat generik.

Berempati menjadi kunci, tutup dokter Jiemi. Jika kita ingin membantu orang lain dengan masalahnya, maka kita perlu bersama-sama merasakan penderitaannya sebagai manusia. Cukuplah dengan mendengarkan saja; tanpa perlu menanggapi dengan bercerita tentang masalahmu yang mirip kepadanya. Juga jangan berkata kalau Anda memahaminya, bisa merasakan lukanya, jika Anda tidak benar-benar tahu persis rasanya terluka sepertinya.

Di adegan kompetisi roti brownies di film Notting Hill kita bisa belajar bahwa tak perlu rebutan lampu sorot, karena ada saatnya Anda akan mendapatkan kesempatan untuk bercerita. Karena sekali lagi, masalah itu sifatnya sangat personal sekali. Ia tidak akan hilang dengan dibandingkan, tapi kita bisa membantu mengatasinya dengan kekuatan empati dan kerelaan hati untuk mau mendengarkan.





No comments:

Post a Comment