********/*******
Tanggal 27 Desember 2013.
Dua puluh tujuh. Entah kenapa ketika melihat angka itu pada kalender di pagi
ini, tiba-tiba saja sebagian diri saya serasa mati.
Buat beberapa orang, angka
27 mungkin hanya sebuah angka yang tidak berarti apa-apa. Tapi sebagai wanita,
angka 27 berarti sebuah kiamat kecil buat saya. Apalagi jika angka 27 itu
dikaitkan dengan jumlah usia saya di awal tahun depan. Kedengarannya masih
lama… tahun depan… tapi di hari ini, tahun depan hanyalah hitungan hari. Sama
seperti yang saya rasakan ketika berusia 21, usia 27 rasanya terlalu jauh. Tapi
inilah misteri dari sang waktu, sepertinya baru kemarin saja saya mulai kuliah
di kampus biru.
Dulu, 7 tahun yang lalu, saya
pikir ‘3S’ hanya sebuah lelucon. Yakni ketika wanita berusia belasan, mereka
akan mulai berpikir “Siapa Saya”. Lalu ketika seorang wanita memiliki angka ‘2’
di depan angka ‘0’ di kue ulang tahunnya, mereka mulai berpikir lebih luas
lagi: “Siapa Dia”. Di saat itulah (seharusnya) wanita mulai menerima dan
menilai proposal dari calon-calon pasangan hidupnya; sebelum masuk ke fase yang
ke-3: “Siapa sajalah… (yang penting nikah)”.
Saya memang memiliki gelar
S2. Tapi tidak ada yang tahu, kalau saya sebenarnya, menurut lelucon itu, saat
ini, sudah dalam tahap S-3 (siapa pria yang mau menikah denganku?).
********/*******
Natal. Entah kenapa harus
berkumpul dengan keluarga saat hari Natal tiba. Meskipun jarak rumahku sekarang
dengan kampung halaman hanya dalam hitungan jam, bukan jam-jaman, tapi hanya 1
jam, rasanya malas sekali untuk beranjak dari rumah ke stasiun, lalu menumpang
kereta yang biasanya selalu penuh sesak, untuk tiba di rumah yang penghuninya
selalu mempunyai pertanyaan-pertanyaan menakutkan.
“Kemarin dapat rangking
berapa di kelas?” Pertanyaan mereka ketika aku duduk di bangku SMA.
“Dapat IPK berapa di
semester ini?” Pertanyaan menakutkan yang lainnya ketika aku mulai kuliah di
universitas (yang katanya) terbaik di kota ini. Padahal nama universitas tak
pernah menjadi tolok ukur sebuah HRD perusahaan ketika merekrut karyawan. Hal
ini baru aku ketahui belakangan, ketika mengikuti sebuah seminar dunia kerja di
komunitas dewasa muda gereja.
Dan sekarang, aku sudah tahu
apa pertanyaan yang sudah mereka siapkan.
“Kok terlambat pulangnya?
Keretanya delay lagi?” Tanya ayahku
yang beberapa waktu lalu untuk pertama kalinya naik pesawat terbang dan
langsung mengenal kata itu. Tak pernah lagi beliau mengatakan kata “terlambat”.
Sedikit lucu, tapi aku tahan tawaku.
“Iya, Yah. Keretanya delay. Jadi agak lama nunggu di stasiun
Tugu.” Jawabku singkat. Karena aku langsung melihat Ibu beranjak ke luar rumah,
dengan pertanyaan menyeramkan itu: “Lho? Mana calon mantu Ibu? Gak jadi diajak
pulang ke sini?”
Pintu pagar masih terbuka.
Aku masih mengenakan sepatu dan membawa tas yang penuh dengan baju. Ingin
rasanya langsung berbalik lari dan pulang ke rumahku. Karena aku akan tahu apa
yang akan diceritakan oleh Ibu di hari ini: “Itu temenmu SMP udah punya anak 2
lho…” atau “Kemarin waktu arisan di kompleks, temen-temen Ibu udah pada
ceritain cucu-cucunya. Ibu jadi gak punya bahan cerita.”
Aku sayang Ibu. Tapi beliau
selalu mempunyai pertanyaan-pertanyaan yang langsung menghujam hatiku.
********/*******
“Hai cowok, godain saya
donk…” Ingin rasanya berkata seperti itu. Tapi terdengar murahan, bukan? “Ingat,
harga diri…” Kata batinku.
“Apa?! Harga diri?! Di usia
yang hampir kepala tiga ini?!”
“Tenang, Fan. Kamu selalu
bisa menguasai situasi. Tapi… mungkin sekarang saatnya untuk panik!” Batinku
mulai mengkhianati.
********/*******
Kata Ibu, yang didengarnya dari
orang-orang, ketika pria menginjak usia-30 dan masih single alias jomblo, maka akan lebih susah lagi baginya untuk
berpikir tentang pernikahan. Lebih banyak lagi yang akan dipikirkannya.
Oleh karena itu, Ibu,
seperti orangtua-orangtua lainnya yang suka khawatir berlebihan pada apa
omongan orang-orang, seringkali menanyakan pertanyaan menyeramkan itu.
Aku pun mengerti tentang hal
itu. Karena sebenarnya aku juga takut memikirkan tentang pernikahan. Lihat saja
situasi di jaman sekarang: perceraian, kelamin suami dipotong istrinya karena
selingkuh, seorang istri disiram air panas oleh suaminya karena kesal dengar
omelannya, anak kurang gizi dan putus sekolah karena orangtuanya gak mampu
(kalau gak mampu ngapain punya anak?) hingga kasus ledakan penduduk… Ah, aku
sudah seperti orangtua saja. Terlalu khawatir berlebihan pada apa yang
orang-orang lakukan. Tapi bukankah usia 29 belum terlalu tua?
Di tengah lamunanku, Ayah
membuyarkannya dengan sebuah pertanyaan yang… “Van, kamu masih suka sama
perempuan, kan?”
Sangat menjurus.
Pasti ini gara-gara Olga
sekarang ada di layar kaca. Huft…
“Yah, ganti channel donk.
Jelek acaranya. Pembodohan publik itu.” Kataku mengganti subjek pembicaraan.
********/*******
Kalau dipikir-pikir,
ucapannya Vira benar juga.
“Fan, lihat kamu sekarang.
Manajer. Di luar kantor kamu jadi pengusaha. Ke mana-mana naik mobil. Selalu
pake setelan blazer. Mana ada to cowok sepantaran kamu yang berani pedekate?
Ada juga, mereka langsung keder, udah
jiper duluan.” Kata temanku, ketika
aku mengunjunginya sehabis melahirkan anak pertamanya.
“Gitu ya?” Jawabku datar.
Seperti merasakan kebenaran dalam ucapannya.
“Iya, gitu. Bener kan, say?”
Katanya mencari dukungan suaminya yang sedang nonton TV.
“He eh. Bener banget tuh,
Fan. Gue aja dulu gak berani deketin elu, makanya gue deketin temen elu.”
Lemparan bantal langsung mengarah ke ruang TV.
Lemparan bantal langsung mengarah ke ruang TV.
“Terus, aku mesti ngapain
Vir?” Tanyaku pasrah.
“Ya… jadi dirimu sendiri itu
penting. Tapi jangan terlalu dingin. Yang supel lah kayak aku gini… ha ha ha ha…”
Lemparan bantal kembali ke ruang tamu.
Lemparan bantal kembali ke ruang tamu.
Tiba-tiba aku iri dengan
suasana di rumah ini. Aku ingin segera pergi.
********/*******
Untung hari Natal cuma
sehari. Walaupun kalender menetapkan tanggal 26 Desember sebagai hari Natal
ke-2, tapi sepertinya aku mesti keluar dari rumah ini secepatnya.
“Pamit dulu ya, Yah.” Kataku
sambil mencium pipinya.
“Hati-hati di jalan. Awas
copet. Keretanya kalau dari sini jarang delay
kok.” Kata Ayah.
“Bu, pamit ya…” Tapi tidak
seperti Ayah, pesan Ibu kali ini sangat panjang.
“Inget umur. Kasihan besok
cucu Ibu kalau ayahnya telat nikah. Cucu Ibu baru umur 10 tahun, ayahnya udah
gak kuat lari-lari lagi. Pas umur 20 tahun nanti kamu malah udah pensiun.
Bukannya uang gak bisa dicari, itu berkat tersendiri kalau kamu punya anak
nanti. Tapi kalau dipersiapkan jauh-jauh hari, bukannya lebih baik? Pedekate
donk sama cewek. Apa di gereja gak ada cewek? Katanya kamu gabung di komunitas
dewasa muda gereja, cari lah di sana. Gak usah yang cantik-cantik. Asal baik,
takut sama Tuhan. Itu udah cukup….”
Aku cuma memandangi dahi Ibu
yang sudah berkerut. Gak berani melihat matanya yang biasanya teduh.
“...inget ya? Umur itu gak
terasa. Ibu bakal gak rela dipanggil Tuhan kalau belum gendong cucu seperti
teman-teman Ibu yang lainnya…”
“Bu, udah donk. Nanti ketinggalan
kereta.”
Ah… saved by my daddy. Ayah lalu mengantarku ke stasiun. Sepertinya, untuk
memastikan agar aku tidak terlambat naik ke kereta.
“Pokoknya yang penting sama
wanita. Bukan yang penting cinta…” Kata Ayah sebelum aku masuk peron stasiun.
Aku lalu memandang mimik
wajah Ayahku cukup lama, dengan pandangan untuk menegaskan kalau aku masih
menyukai wanita. Sangat menginginkan wanita. Tapi aku belum menemukan yang
cocok saja.
Cocok? Mungkin kata itu
terlalu absurd untuk dijelaskan. Para artis itu bilang, alasan mereka nikah
karena sudah sama-sama cocok. Tapi beberapa tahun kemudian, alasan mereka
bercerai karena tidak lagi menemukan kecocokkan. Jadi apa donk arti kata cocok
sebelum dan sesudah resepsi pernikahan diadakan?
Sepanjang perjalanan, di dalam
kereta aku terus memikirkan kata-kata Ibu tadi. Sesekali memikirkan perkataan
Ayah juga. Tapi… lebih baik aku memikirkan apa yang diucapkan Ibu. Benar juga sih.
Usia terus berjalan. Sekarang aku sudah 29 tahun. Misal paling cepat aku
menikah tahun depan, aku udah 30 tahun. Misal langsung punya anak, nanti anakku
lulus kuliah dan mandiri di usia 25, aku tepat pensiun. Pas banget ya? Tapi
kalau gak langsung punya anak… ah, nanti bisa tes kok spermaku subur atau
enggak. Hmm… bukan itu sih masalahnya sekarang. Masalahnya… aku belum punya
pacar!
Pandanganku menyapu isi
kereta. Kalau-kalau ada wanita yang cantik…
“Gak usah yang
cantik-cantik. Asal baik, takut sama Tuhan.” Kata-kata Ibu terngiang kembali.
Iya sih. Katanya cantik itu
luka. Jadi wanita cantik pasti penuh luka…
Aku sepertinya kelelahan.
Lelah pikiran. Aku harus tidur.
Ketika terbangun, aku sudah
tiba di stasiun Tugu. Suara gaduh penumpang, yang berebut masuk padahal
penumpang yang di dalam belum ke luar, membangunkanku.
Setiba di rumah, aku langsung
mengirim SMS kepada Ibu untuk memberitahu kalau aku sudah sampai. Tapi balasan
SMS yang aku terima tidak seperti biasanya:
“Kemolekan adalah bohong dan
kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan Tuhan dipuji-puji.
Inget ya… pedekate. Jangan lupa besok Minggu ke gereja, berdoa minta jodoh sama
Tuhan.”
Ah, Ibu sepertinya tahu
kalau aku jarang ke gereja beberapa minggu belakangan.
********/*******
“Selamat datang, selamat
hari Minggu.” Ucapku sambil menyalami jemaat satu per satu.
Setiap hari Minggu, saya
bertugas menjadi penerima tamu. Penyambut jemaat di gereja, lebih tepatnya.
Tapi hari ini saya merasakan ada hal yang berbeda. Mungkin karena sebagian diri
saya ada yang mati. Atau karena peristiwa di rumah Vira malam tadi. Tapi
sepertinya karena batin saya mulai mengkhianati dengan bisikan-bisikan
mematikan setiap kali melihat pasangan muda yang datang ke gereja.
Sepulang dari gereja, saya
menangis di dalam mobil. Saya merasa tidak terima karena Tuhan belum
mempertemukan saya dengan pasangan yang tepat. Apalagi kotbah hari ini
menyinggung tentang cinta, tentang kasih Tuhan. Kok rasanya gak adil banget.
“Tuhan, saya percaya
rencana-Mu yang terbaik buatku. Rancanganmu selalu indah pada waktunya. Tapi
sampai kapan saya harus menunggu waktu-Mu?”
Tidak ada jawaban.
Ya… Tuhan tidak pernah
langsung menjawab doa seketika itu juga, pikirku.
Kutarik nafas panjang,
kuhidupkan mesin mobil, kunyalakan stereo… Aku sudah terlambat bertemu klien.
Brak!
Aku kaget. Sebuah sepeda
motor terjatuh di samping mobilku.
“Mbak! Lihat-lihat spion
dong kalau mau jalan. Lampu sein dinyalain kek.”
Astaga, aku lupa menyalakan
sein. Sepertinya motor itu terjatuh karena pria itu kaget melihat mobilku
tiba-tiba ke luar dari deretan mobil yang terparkir di pinggir jalan. Ah… aku sudah
sangat terlambat!
“Aduh, maaf Mas. Saya
buru-buru. Mas gak apa-apa kan?”
“Ya saya gak apa-apa. Tapi
motor saya rusak tuh! Punya SIM gak sih?!”
Astaga. Galak bener sih.
“Ya maaf, Mas. Saya kan tadi
udah bilang. Maaf. Gak sengaja juga. Saya punya SIM kok. Itu ganti yang rusak
kira-kira berapa?”
Spion pecah, spatbor, sama pelindung knalpot…
Kuhitung kira-kira berapa biayanya. Toh kakakku punya bengkel motor, aku nanti
bisa tanya dia. Aku bisa saja diperas sama orang galak ini.
“Mana SIMnya?”
“Lho, kok minta SIM saya?
Emang situ polisi?”
“Ya mau lihat aja. Siapa
tahu kamu cuma bohong bilang punya SIM. Nyalain lampu sein aja gak bisa.”
Gila!
“Bentar.”
Entah kenapa aku menurut
saja apa kata-katanya.
“Nih! Saya punya SIM A sama
SIM C. Gak nembak. Pake tes. Lha wong
baru kali ini saja saya bermasalah sama orang pas nyetir mobil.” Aku mulai
kehilangan kesabaran.
Orang-orang mulai
berdatangan. Astaga, saya tidak sadar kalau dari tadi jadi tontonan karena
cowok galak dan gila ini. Tapi…
“Ya udah. Nih.” Katanya sambil
mengembalikan SIM saya. “Lain kali kalau nyetir hati-hati. Lampu sein dipakai
kalau mau belok. Jangan belok tiba-tiba gitu.”
What?
Gayanya menasihati seperti polisi saja.
“Terus motormu itu, saya
ganti berapa?”
“Halah… gak usah. Cuma spion
doank. Gak apa-apa.”
“Lho? Kok gitu?”
“Ya habis Mbaknya matanya
sembab gitu. Kayak mau nangis. Sori, emosi sesaat tadi. Aslinya saya jarang
marah-marah.” Katanya sambil menaiki motornya.
“Heh… kok langsung mau
pergi?”
“Lha? Mau diterusin? Enggak
deh. Saya gak enak jadi tontonan orang. Biasanya ntar malah ujung-ujungnya yang
cowok disalahin. Udah ya… selamat hari Minggu.”
Saya cuma terdiam memandangi
cowok yang galak, gila dan aneh ini berlalu. Tapi saya juga merasa ada yang
aneh. Sebagian diri saya sepertinya hidup lagi.
Seorang jemaat gereja
mendekati saya, “Mbak Fani baik-baik kan?”
“Iya Bu. Gak pernah lebih
baik dari saat ini.”
Hanya Tuhan yang tahu
mengapa saya berkata seperti itu.
********/*******
Tidak seperti hari Minggu
biasanya yang cerah, pagi ini langit sedikit muram. Tapi tidak seperti biasanya
juga, pagi ini aku sudah siap pergi ke gereja. Biasanya meskipun hari cerah,
aku malas pergi ke gereja. Tapi hari ini walaupun gerimis, aku sudah di depan
gereja yang gedungnya terlihat sangat minimalis.
Satu hal yang aku tidak suka
ketika di gereja, adalah liturginya yang mengharuskan jemaat saling
bersalam-salaman dan mendoakan. Padahal ketika kami datang, kami hanya duduk
diam tanpa ada niat menyapa orang yang duduk di kiri dan kanan. Sepertinya
bersalaman dan bertegur sapa hanya menjadi formalitas liturgi saja, yang mau
tidak mau harus dilakukan jemaat gereja. Walaupun katanya masyarakat Jogja di
lagu “Yogyakarta” mempunyai budaya menyapa, hal ini aku lihat jarang dilakukan
di masa sekarang. Di gereja, kami para jemaat hanya disapa oleh penyambut
jemaat saja.
Entah kenapa pikiranku
kembali pada wanita yang menjadi penyambut jemaat tadi. Apa karena dia cantik?
Gak juga. Parasnya terlihat biasa saja. Apa ya? Senyumnya… ya, entah kenapa aku
selalu terpikat dengan wanita berlesung pipit. Apa karena Ibu juga mempunyai
lesung pipit? Katanya sih seorang pria akan mencari wanita yang mirip ibunya.
Tapi, enggak juga. Kenapa ya? Apa karena dia berkacamata? Karena dia wanita?
Dan kemudian mimik wajah ayahku ketika di depan pintu masuk peron stasiun
sekilas terbayang. Aku tertawa sendiri. Padahal saat itu pendeta sedang
berkhotbah dan tidak sedang melucu. Alhasil beberapa pandangan jemaat mengarah
kepadaku. Aku langsung memasang mimik serius, mendengarkan kotbah tentang cinta
kasih Allah kepada manusia.
Ah… cinta.
Kenapa akhir-akhir ini aku
mulai pusing dibuatnya? Padahal dulu aku sama sekali tidak memikirkannya.
Kenapa tiba-tiba semuanya menjadi masuk akal? Soal hubungannya dengan usia lah,
berkat, masa depan anak… kalau gitu siapa dong yang mau jadi istriku?
Lamunanku buyar karena ada
mobil yang tiba-tiba keluar dari bahu jalan. Tak sempat lagi mengerem, aku
langsung membanting stang motorku ke kanan. Karena aspal masih licin akibat
hujan, aku pun langsung nyungsep ke
jalan.
“Mbak! Lihat-lihat spion
dong kalau mau jalan. Lampu sein dinyalain kek.”
Mobil bagus gini gak punya
lampu sein apa? Punya mata gak sih? Sambil SMSan ya di dalam? Kata-kata umpatan
dan makian hampir aku keluarkan…. Astaga, wanita penyambut jemaat tadi. Aku
langsung canggung, antara mau marah atau…
“Aduh, maaf Mas. Saya
buru-buru. Mas gak apa-apa kan?”
Aku harus bagaimana?
“Ya saya gak apa-apa. Tapi
motor saya rusak tuh! Punya SIM gak sih?!”
Ide bagus. Aku tidak perlu
berkenalan. Aku bisa tahu nama lengkapnya dari SIMnya, lalu aku Googling, cari
Facebooknya, Twitternya.… Otakku brilian juga. Entah kenapa bibirku
diarahkannya untuk menanyakan SIMnya.
“Ya maaf, Mas. Saya kan tadi
udah bilang. Maaf. Gak sengaja juga. Saya punya SIM kok. Itu ganti yang rusak
kira-kira berapa?”
Aduh. Kok malah bahas motor
jelek ini.
“Mana SIMnya?” Kataku dengan
nada tinggi. Aku mulai bingung menghadapi situasi ini.
“Lho, kok minta SIM saya?
Emang situ polisi?”
“Ya mau lihat aja. Siapa
tahu kamu cuma bohong bilang punya SIM. Nyalain lampu sein aja gak bisa.” Aku
mencari-cari alasan sedapatnya. Orang-orang mulai memperhatikan.
“Bentar.”
Dia masuk kembali ke dalam
mobil.
“Nih! Saya punya SIM A sama
SIM C. Gak nembak. Pake tes. Lha wong
baru kali ini saja saya bermasalah sama orang pas nyetir mobil.”
Buset. Bisa juga dia marah
padahal udah salah.
Aku pura-pura berlagak
seperti polisi. Mencocokkan wajahnya dengan foto di SIM. Padahal aku hanya
ingin memperhatikannya wajahnya lebih lama lagi. Tapi kok sepertinya dia mau
nangis ya? Gawat.
“Ya udah. Nih.” Aku
kembalikan SIMnya lagi. Aku sudah mendapatkan apa yang aku cari. “Lain kali
kalau nyetir hati-hati. Lampu sein dipakai kalau mau belok. Jangan belok
tiba-tiba gitu.”
“Terus motormu itu, saya
ganti berapa?”
“Halah… gak usah. Cuma spion
doank. Gak apa-apa.” Padahal aku mikir juga biayanya.
“Lho? Kok gitu?”
“Ya habis Mbaknya matanya
sembab gitu. Kayak mau nangis. Sori, emosi sesaat tadi. Aslinya saya jarang
marah-marah.” Aku sudah tidak tahu harus bicara apa lagi.
“Heh… kok langsung mau
pergi?”
Astaga. Kok malah aku yang
dimarahin?
“Lha? Mau diterusin? Enggak
deh. Saya gak enak jadi tontonan orang. Biasanya ntar malah ujung-ujungnya yang
cowok disalahin. Udah ya… selamat hari Minggu.”
Aku langsung putar gas.
Ada perasaan aneh menyelinap
di hati.
Aku sudah dapat apa yang aku
butuhkan. Fania Larasati Budianto. Itu sudah cukup.
********/*******
Malam tahun baru. Jalanan
sudah penuh dengan para pengendara motor, mobil dan sepeda. Saya pikir Jogja
sudah mulai penuh dengan manusia. Harus pintar-pintar menyetir kalau ingin
mobil selamat tanpa tergores di jalan. Apalagi motor-motor di sini seperti
penguasa jalanan. Seenaknya sendiri berbelok atau memotong jalur. Asal ada
celah langsung masuk saja. Tidak lihat kiri kanan depan belakang.
Ah… kenapa sih pengendara
motor aneh itu lagi yang terlintas di pikiranku?
Suara stereo aku kencangkan
supaya pikiranku teralihkan. Tetapi benakku masih belum bisa diajak berteman.
********/*******
Aku ketiduran. Sudah jam 9
malam. Sialan.
Hanya cuci muka, aku
langsung berpakaian.
‘Semoga dia datang malam
ini,’ bisikku pada Tuhan dalam hati. Aku sudah dibuat gak karuan beberapa hari
ini. Apalagi setelah aku menginvestigasi, istilah yang lebih baik daripada stalking, semua twitnya selalu membuat dan mengajak orang-orang untuk bersemangat
dan berpikir positif. Apalagi setelah aku melihat status Facebooknya yang
masing single, rasanya itu hadiah
Natal buatku. Meskipun aku tidak tahu bagaimana cara mulai mendekatinya dan
berkenalan sungguhan. Karena pertemuan pertama sepertinya tidak meninggalkan
kesan.
Seperti yang aku duga,
jalanan sudah penuh dengan manusia. Tapi inilah keuntungan naik motor ketika
jalanan macet. Selalu ada celah untuk dilewati. Yang naik mobil malah
mengantri.
Hmm… bagaimana kalau dia
tidak ke gereja karena malas keluar rumah karena tahu jalanan bakal macet
seperti ini?
‘Ya kalau dia gak datang,
berarti dia bukan jodohmu. Tapi kalau dia datang, itu kesempatan buatmu.’
Kataku pada diriku. Tepatnya kata hatiku pada diriku.
********/*******
Masih kurang 15 menit sebelum
kebaktian dimulai. Kebaktian jam 10 malam, tetapi gereja tetap saja dipenuhi
orang-orang. Pandanganku langsung mencari tempat duduk yang kosong. Seorang
petugas kebaktian yang mengenalku langsung memberikan kode ‘ada tempat duduk
kosong’.
“Sendirian aja kan?”
Tanyanya.
‘Enggak. Maunya berdua.’
Jawabku dalam hati.
“Itu masih ada satu yang
kosong.” Sambil menunjuk deretan bangku di tengah-tengah ruangan.
What?
Dia lagi?
Kakiku sepertinya mulai
ikut-ikutan mengkhianatiku. Ia memaksaku melangkah ke deretan bangku itu. Tapi
ketika saya duduk di sebelahnya, dia sedang asyik sendiri dengan ponselnya.
Biasanya, dalam keadaan
normal, saya bukanlah orang yang kepo, yang ingin tahu urusan orang. Tapi saat ini
saya sepertinya sedang tidak normal, sehingga mata saya bergerak untuk melihat
layar ponselnya… dan… saya melihat twitpic
foto wajah saya di sana.
OMG! Saya langsung salah
tingkah. Dia ternyata stalker saya.
Baiklah. Kemudian saya mulai ngetwit:
‘Malam tahun baru. Duduk di gereja di sebelah orang aneh. Huft...’
********/*******
Aku melihat-lihat seisi
ruangan gereja. Dia tidak terlihat sama sekali. Hmm… mungkin dia memang bukan
jodohku. Ya sudahlah…
Deretan bangku di
tengah-tengah ruangan masih kosong. Aku senang karena akulah yang pertama kali
duduk di deretan bangku kosong di dalam ruangan yang akan dipenuhi orang-orang.
Perasaan ini memang sedikit aneh; seperti perasaan orang yang lebih suka duduk
di pojok ruangan, orang yang suka mengantre di nomor 7 atau orang yang suka
duduk di meja yang bisa menghadap pintu keluar ketika makan di restoran.
Masih setengah jam lagi
sebelum kebaktian dimulai. Aku mengambil ponsel dan mulai mengirimkan SMS
ucapan selamat tahun baru kepada beberapa orang yang aku kenal dekat, lalu
mengucapkan selamat tahun baru di Facebook dan Twitter. Aku cek akun
twitternya. Tidak ada twit kalau dia
akan ke gereja. Lalu mulailah aku melihat-lihat twitpicnya, melihatnya berfoto selfie, foto dengan teman dan
keluarganya saat Natal, dan yang paling menyenangkan: tidak ada fotonya berdua
dengan cowok. Aku tersenyum sendiri. Kembali aku cek timelinenya… ‘Malam tahun baru. Duduk di gereja di sebelah orang
aneh. Huft...’
Ah, dia sudah datang. Siapa
orang aneh di sebelahnya?
Aku langsung menoleh ke
kanan… ke belakang… ke kiri… dan… dia ada di sana.
Apa? Aku dianggap orang
aneh?
Dia sedang berdoa. Aku
langsung mempunyai firasat, kalau malam ini akan sangat panjang.
********/*******
Ketika berdoa untuk
menyiapkan hati dan diri sebelum beribadah, ada rasa yang membuncah di dada
saya. Apakah karena pria ini duduk di sebelah saya? Entah. Tapi saya merasa
‘berdua’. Seperti harapanku kepada petugas kebaktian tadi.
Saya bisa saja berpindah
tempat duduk, mencari celah kosong di deretan kursi jemaat di belakang. Tapi
tubuh saya sepertinya tidak menginginkannya. Kaki dan pantat saya sepertinya
bersepakat untuk lekat dan tidak mau berjalan ke mana-mana lagi.
‘Oh, Tuhan… secepat inikah
jawaban-Mu?’
********/*******
Aku ikut berdoa.
‘Oh, Tuhan… semoga dia
jodohku.’
********/*******
Sepanjang kebaktian, Ivan
dan Fani hanya diam. Seolah tidak saling saling kenal sebelumnya. Tapi Ivan
tidak sabar untuk sampai pada bagian liturgi yang mengharuskan jemaat saling
bersalam-salaman dan mendoakan. Hal yang sebelumnya tidak disukainya. Ivan
ingin menjabat tangan Fani dan berkenalan dengannya lebih jauh.
Yang tidak
diketahuinya, Fani pun menunggu hal yang sama.
“Mari jemaat, kita berdoa
syafaat. Jemaat bisa saling berkenalan dengan jemaat yang ada di samping kanan
dan kiri, saling menanyakan tentang pergumulan hidup yang ingin didoakan.” Kata
majelis jemaat di akhir kebaktian.
“Ivan Edward Lesmana.
Resminya. Sesuai SIM dan KTP.” Katanya sambil tersenyum.
“Fania Larasati Budianto.
Kamu udah tahu kan?” Dia pun ikut tersenyum.
“Maaf ya soal tempo hari.
Aku sebenarnya bingung, antara ma…”
“Udah, gak usah dibahas.
Kalau kamu gak jatuh, kamu gak bakal tahu Twitterku kan?”
“Dan akun Facebook lalu
alamat emailmu.” Kata Ivan menambahi.
Fani tertawa. Entah kenapa
dia merasa begitu… bahagia.
“Jadi apa yang jadi pergumulan hidupmu? Ada yang
ingin didoakan?” Fani berusaha mengendalikan perasaannya. Biar bagaimana pun
ini masih dalam liturgi kebaktian.
“Aku ingin didoakan biar
segera bertemu pasangan hidupku, lalu menikah. Biar Ibuku cepat punya cucu dan
Ayahku jadi tahu kalau anaknya masih menyukai wanita.” Ivan mengatakannya dengan mimik
serius.
Fani ingin tertawa, tapi
lagi-lagi batinnya tidak menyetujuinya. Untunglah.
“Sama, saya juga. Saya ingin
didoakan agar segera dipertemukan dengan pemilik tulang rusuk di mana saya dulu
diambil, dan saya berharap dia pria yang baik, gak gampang marah dan…”
“Dan?”
“Dan aneh sedikit gak
apa-apa sih. Yang penting kalau udah jadi pacar saya, pria itu gak akan
stalking Twitter dan Facebook cewek lain.”
“Ouw, yang setia? Oke. Aku
bakal setia kok.”
“Lho?”
“Ha ha ha ha…” Kami tertawa.
Anehnya, tidak ada jemaat
lain yang notice pada mereka berdua.
Padahal saat itu ruangan sedang hening karena semuanya sedang berdoa. Seperti
mereka sedang berada di bilik ruangan yang tak kasat mata.
“Oke. Mari kita berdoa.”
Entah siapa yang memulainya
atau yang menggerakkannya, tangan mereka, Ivan dan Fani mulai bergandengan
ketika mereka berdoa, meminta penyertaan dari Tuhan terhadap masa depan mereka,
di tahun yang baru saja dimasuki oleh mereka.
Di luar gereja sayup-sayup
terdengar suara petasan riuh bersahut-sahutan menyambut tahun yang baru.
Seolah-olah turut juga menjadi tanda, sebuah awal yang baru untuk jalinan kasih
kasih sepasang anak manusia yang saling mendamba cinta.
Yogyakarta, 31 Desember 2013
*) ditulis untuk kompetisi menulis cerpen #NulisKilat