Thursday, January 20, 2011

Senjata Dalam Bentuk Talenta

"Maka jawab tuannya itu: Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam? ... Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya." [Matius 25 : 26,29]

Seorang samurai yang hanya bersenjatakan tanto -pisau pendek-, dan terpaksa berhadapan dengan musuh bersenjatakan katana -pedang maut-, tidak boleh menyesalkan senjata yang sedang dipegangnya. Itu tabu!
Menyesali senjata yang ada di tangan, adalah ratapan pasti menuju kekalahan. Yang sudah ada pada Anda adalah senjata penyelamat dan penghebat kehidupan Anda.
Bersyukurlah. Dan hebatkan diri Anda!
~Mario Teguh~

Ketika membacanya, saya kembali teringat saat-saat masih duduk di bangku SMA tingkat pertama. Kala itu kami, murid-murid baru di SMA 9 Yogyakarta, diajarkan sebuah teknik tawuran yang baik dan benar. Maklum saja, sekolah saya adalah salah satu SMA yang aktif tawuran di antara sekolah lainnya yang berada di Jogja. Bahkan pernah akibat memanasnya tensi permusuhan antara sekolah saya dengan sebuah SMA swasta, salah seorang murid tingkat 2 di sekolah saya menjadi korbannya (meninggal dunia). Padahal tidak jarang, sebelumnya, ada beberapa siswa yang masuk rumah sakit karena terlibat perkelahian di jalan raya.
Nah, salah satu teknik yang diajarkan oleh senior kami jika terlibat perkelahian di jalan raya adalah: “gunakan apa saja yang bisa kalian gunakan untuk menyerang atau mempertahankan diri.
Bisa menggunakan penggaris besi jika sedang membawanya. Bisa juga menggunakan kepala ikat pinggang (gesper) jikalau dalam keadaan di atas sepeda motor. Intinya: gunakan apa saja yang ada padamu, gunakan untuk menyerang atau mempertahankan dirimu, apapun senjata yang sedang dipegang oleh musuhmu.
Apa senjata yang ada di tanganmu untuk menghadapi musuhmu saat ini?
Arti "musuh" di sini bisa diartikan banyak. Konteks saya saat ini adalah kehidupan kita, hidup sebagai manusia yang ada di dunia. Apa talenta (kemampuan) Anda, yang bisa digunakan untuk bertahan atau melawan derasnya arus kehidupan?
  • Gue cuma bisa nulis puisi bro...
  • Ah, aku gak bisa ngapa-ngapain. Cuma bisanya bikin orang ketawa.
  • Coy, ane bisanya ya gini-gini aja. Main gitar keliling pasar.
  • Saya hanya bisa main bola. Tapi ya cuma tarkam aja.
  • (...) *bisa ditambahkan sendiri*
Saya lalu teringat sebuah adegan di film “Bodyguard”. Film yang bercerita tentang kisah asmara antara seorang penyanyi tenar dengan pengawal pribadinya. Kira-kira begini dialognya:
Mengapa kamu memutuskan menjadi seorang pengawal pribadi?” Tanya sang penyanyi.
Hmm.. karena saya tidak bisa menyanyi.” Jawab sang bodyguard yang kemudian diiringi tawa mereka berdua.
Simpel. Dialog yang sederhana. Tapi sangat mengena buat saya.
Siang ini juga ada alasan yang keren banget dari seseorang (@benisutrisno) saat ditanya “mengapa menulis penting buatmu?” Jawabnya: “karena gambar saya jelek dan saya gak bisa main gitar.
********/*******
Oleh karenanya untuk apa meratapi diri karena merasa kemampuan Anda “hanya gitu-gitu” saja? Fokuslah pada apa yang Anda punyai, bukan pada apa yang Anda tidak miliki. Gunakan itu. Maksimalkan talentamu. Bukankah dari setiap talenta yang diberikan akan diminta pertanggung jawaban oleh Sang Pemberi talenta? [Matius 25 : 14-30]
Misalnya Anda diberi kemampuan untuk menulis, jadilah penulis yang hebat. Kalau Anda diberi pita suara yang bagus, jadilah penyanyi yang bisa menghibur semua orang. Jikalau Anda diberi otak yang brilian, jadilah juara dunia olimpiade fisika/matematika. Dan kalaupun Anda hanya diberi otak yang biasa saja, pita suara yang jauh dari sempurna, dan tidak mempunyai keterampilan khusus lainnya; pasti ada kemampuan lain yang bisa dimaksimalkan dalam diri Anda. Entah kejelian mata Anda, keteguhan hati Anda, atau bisa juga kekuatan otot Anda; yang nantinya bisa dikaryakan untuk sesama. Karena tiap manusia pada dasarnya berguna dan diciptakan untuk melengkapi sesamanya. Semua manusia pasti "dikirim" ke bumi dengan dibekali, paling tidak, satu talenta.
Kenalilah dirimu, gunakanlah senjata yang ada padamu (talentamu), apapun itu, untuk melawan atau bertahan, di tengah derasnya arus gelombang kehidupan. Yakinkan diri Anda: aku bisa!



*Allah tidak akan menuntut Anda untuk bermain biola, misalnya, jika Anda tidak diberiNYA talenta untuk bermain biola*

Wednesday, January 19, 2011

Alkitab dan Karya Sastra

Menulis adalah tentang tersambung dengan pengalaman orang lain mengenai dunia. [Catharine Bramkamp]

Beberapa dari kita mungkin tidak bisa mengerti saat itu juga, kala mendengar kata-kata bijak dari seseorang, misal Mario Teguh; atau saat melihat orang menangis hanya karena sebuah puisi atau lirik lagu. Bahkan saat membaca cerpen atau novel, kadang kita bingung: "mengapa cerita seperti ini bisa disukai?"

Tapi cobalah melihat dari sisi orang-orang yang manggut-manggut atau tersenyum sumringah setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Mario Teguh; seperti mendapat pencerahan. Kita bisa tertegun, terhenyak, tertohok, hingga menangis saat membaca sebuah cerpen, mendengar sebuah lagu, menikmati sebuah puisi; karena kita sedang atau pernah mengalami kejadian yang mirip bahkan persis seperti yang tertulis dalam cerpen, lirik lagu, dan bait puisi tadi. Kalau tidak, biasanya kita hanya menikmati atau menganggapnya biasa saja. Sampai akhirnya kita berada di dalam situasi si penulis cerpen, puisi, atau lirik lagu tadi; mengalami peristiwa dan merasakan pengalaman yang sama.

Saya kemudian teringat beberapa kalimat Dewi 'Dee' Lestari: pepatah bukan sekadar kembang gula susastra. Dibutuhkan pengalaman pahit untuk memformulasikannya. Dibutuhkan orang yang setengah mati berakit-rakit ke hulu agar tahu nikmatnya berenang santai ke tepian (agar bisa menciptakan pepatah: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian). Dibutuhkan orang yang tersungkur jatuh dan harus lagi tertimpa tangga (hingga bisa mengatakan sebuah pepatah: sudah jatuh tertimpa tangga pula). Dibutuhkan sebelanga susu hanya untuk dirusak setitik nila (dan terucap pepatah: karena nila setitik, rusak susu sebelanga).

Begitulah sastra; dibutuhkan sebuah pengalaman untuk menciptakannya. Diperlukan suatu peristiwa, agar bisa menuliskannya. Baik pengalaman pahit atau manis, hingga peristiwa yang menyedihkan atau menggembirakan. Oleh karenanya seorang Djenar Maesa Ayu bisa berkata: "luka adalah salah satu modal yang baik dalam berkarya." Dan Dewi 'Dee' Lestari juga pernah mengungkapkan hal yang tidak jauh bebeda: "cinta adalah topik terfavorit di dunia. Jika pernah jatuh cinta, pasti bisa menuliskan sebuah karya sastra."

Memang itulah salah satu tugas seorang penulis: memberi seseorang, satu pembaca, kata-kata yang tepat. -Saat masing-masing dari mereka tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaannya- [Catharine Bramkamp]

********/*******

Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. [rasul Paulus]

Hingga akhirnya saya terpikir pada sebuah karya sastra terbesar sepanjang masa: Alkitab.

Di dalam Alkitab kita bisa menemukan segala macam jawaban dan solusi atas semua masalah dalam hidup kita, berdasarkan pengalaman orang-orang pilihan Allah. Mereka menuliskannya seusai mengalami peristiwa susah dan senang bersama Allah dalam kehidupan mereka. Semuanya kisah nyata, dan nyatanya Allah tidak berubah dari dahulu hingga sekarang dan sampai selama-lamanya. Jadi kejadian apapun yang tertulis di dalam Alkitab selalu relevan dari jaman ke jaman.

Kita juga bisa menemukan janji-janjinya yang menghibur dan menguatkan; kisah-kisah di dalam Alkitab juga bisa membuat kita tertegun, terhenyak, tertohok, hingga menangis. Bahkan beberapa cerita juga bisa membuat kita tersenyum dan tertawa bahagia.

Oleh karenanya saya suka heran dan tidak habis pikir dengan istilah "ayat emas". Beberapa orang yang menyukai sebuah atau beberapa ayat dalam Alkitab, kemudian mengatakan "inilah ayat emas di dalam Alkitab". Lalu, apakah ayat-ayat (saya lebih suka menyebut dengan: pasal-pasal) lainnya berarti perak atau perunggu?

Menurut saya, "ayat emas" dalam Alkitab adalah: Kejadian 1 pasal 1 hingga Wahyu 22 pasal 21.

Karena pada akhirnya saya menemukan banyak sekali jawaban serta penghiburan, berdasarkan peristiwa atau kejadian yang sedang saya alami; yang tidak hanya berasal dari sebuah atau beberapa pasal saja yang tertulis di dalam Alkitab. Seluruhnya, setiap kata yang tertulis di dalam Alkitab adalah sebuah janji, solusi, tips, perintah, hikmat, pengertian, hingga pada akhirnya membawa kebahagiaan dalam hidup kita sebagai manusia di dunia.

ALKITAB: ALamat KITA Bahagia (di bumi dan nantinya di surga).
BIBLE: Basic Instruction Before Leaving Earth

"Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus." [II Timotius 3:15]

Saturday, January 8, 2011

Menulis ala William Forrester

Suatu hari di sebuah ruangan HRD.

Setelah menutup map yang berisi beberapa lembar kertas yang berisi surat lamaran, CV, dan portofolio; dia berkata pada wanita yang duduk di hadapannya. "Kami membutuhkan seorang penulis. Orang yang bisa menulis setiap hari, bahkan mungkin setiap jam. Anda bisa melakukannya?"

Dengan yakin wanita itu berkata, "bisa. Saya yakin bisa."

"Apa yang Anda tulis setiap harinya?" Tanya staf HRD kemudian.

"Setiap hari saya selalu update 'news feed' di facebook, dan setiap jam saya update status di twitter." Katanya dengan mantab.

********/*******

Beberapa orang menganggap kegiatan (juga pekerjaan) menulis adalah hal yang susah, ribet, dan membutuhkan kemampuan khusus. Tapi toh nyatanya orang-orang itu bisa dengan mudah menulis 'news feed' di akun facebooknya dan update status twitternya. Jadi apakah menulis itu susah dan membutuhkan kemampuan khusus?

Teman saya, sebut saja Parah Cin, selalu heran jika saya duduk di depan laptopnya, lalu mengetik apa saja, menuliskan begitu saja ide-ide yang ada di kepala saya. "Kok bisa sih?" Komentar yang biasa dikatakannya. Padahal di lain waktu, saya juga geli melihatnya bisa dengan lancar memencet keypad Blackberrynya saat update status twitter atau 'bebeeman' (Blackberry Messenger).

Kegiatan menulis sebenarnya tidak serumit yang dibayangkan oleh orang-orang seperti Parah Cin. Walaupun saya juga pernah menganggapnya demikian. Tapi pandangan itu berubah setelah saya menonton film "Finding Forrester", dimana salah satu adegan yang paling saya ingat adalah ketika William Forrester mengajari Jamal Wallace mengetik dengan jari-jarinya. Tugas kita menulis, bukan berpikir. Jadi tulis saja apa yang kamu mau tulis, seperti berkata-kata. Nikmati dan rasakan jari-jarimu menari di atasnya (tuts mesin tik). Kira-kira begitu yang dikatakannya.

Meskipun menulis juga memerlukan beberapa teknik seperti penempatan tanda baca, menuliskan ejaan dengan benar, dan lain sebagainya; tetapi bukankah itu bukan tugas dasar seorang penulis? Saya sependapat dengan Forrester: tugas penulis itu menulis, bukan berpikir. Mengoreksi tulisan itu pekerjaan seorang proof reader atau seorang editor. Walaupun nantinya seseorang yang terbiasa menulis akan tahu teknik-teknik menulis yang baik. Tapi bagaimana cara memulai untuk menulis adalah sesuatu yang berbeda. Tiap orang mempunyai gaya, seperti layaknya logat atau cara tiap orang berbicara.

Mengutip sebuah kalimat yang pernah dikatakan seorang penulis, saya lupa siapa dia, seekor burung bernyanyi bukan karena dia ingin bernyanyi, tetapi karena burung itu mempunyai sebuah lagu untuk dinyanyikan.

Begitu juga dengan penulis. Seseorang menulis bukan karena dia ingin menulis, tetapi karena orang itu mempunyai sebuah pikiran untuk dituliskan. Pikiran yang terlalu berharga jika hanya diucapkan. "I talk (to TV) things I think not worth writing about." -Truman Capote-
Karena kata-kata yang keluar dari mulut seseorang sifatnya hanya sementara, tetapi tulisan bersifat abadi dan selamanya. Walaupun si pemilik pemikiran sudah berubah pikiran, tetapi pemikiran yang dia tuliskan akan selalu tinggal di pikiran pembacanya. Itulah mengapa ada kalimat: tanpa penulis di sebuah jaman, sejarah tidak bisa diingat selamanya.


Tips menulis yang sederhana: banyak-banyaklah membaca. Karena sebagian besar pembaca pasti menulis, dan semua penulis pasti membaca. Jangan berkhayal menjadi penulis yang baik jika tidak pernah membaca. Bahkan seseorang pernah berkata: being a good writer is 3% talent and 97% not being distracted by the internet. Jadi sebenarnya pengaruh bakat menulis itu sangat sedikit. Jika seseorang tekun membaca, paling tidak dua (2) jam tiap harinya, dapat dipastikan orang tersebut dapat menulis dengan baik juga.

Tips menulis lainnya: usahakan setiap hari menulis. Walau hanya sedikit itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Update status twitter dan menulis 'news feed' di facebook, bisa juga dikategorikan sebagai kegiatan menulis. Itu sebabnya twitter dan teman-temannya disebut microblogging. Kemudian ketika ruang 140 dan 420 karakter dirasa tidak cukup, ada wadah lain yakni blog atau buku catatan harian. Menulis bisa dimana saja, itu intinya.

Akhir kata, mencontek sebuah kutipan dialog di film 'Ratatouille': everyone can cook. Setiap orang bisa memasak. Sekarang saya juga ingin berkata: everyone can write. Setiap orang bisa menulis.


You must write your first draft with your heart. You rewrite with your head. The first key to writing is... to write, not to think! [William Forrester in 'Finding Forrester']