Monday, May 31, 2010

Tertawalah!

Di jurnal kedokteran, tertawa meningkatkan pengeluaran catecholamine dan endorphie. Hal itu meningkatkan kandungan oksigen di darah dan menenangkan arteri. Menaikkan detak jantung dan meningkatkan tekanan darah. Dengan efek yang positif pada cardiovaskular dan tekanan darah. Hal itu sebaik yang dilakukan respon kekebalan tubuh.

Ya itulah kenyataan tentang: tertawa. Sederhana, tapi banyak manfaatnya.

Sejak saya SMA kelas 2, saya punya penyakit aneh: susah berhenti tertawa. Apalagi jika hal itu sangat lucu, dan terus menerus menari dalam imajinasi saya. Penyakit aneh saya mulai terlihat saat pertengahan semester kelas 2 SMA, setelah saya mengalami sebuah kecelakaan yang cukup memprihatinkan dan sangat menggelikan. Saat bersepeda, saya disenggol sebuah sepeda motor dan dengan mulus mencium aspal. Lucunya, hal itu terjadi di depan anak-anak SMA Stece (SMA Steladucce 1). Saat itu, sakitnya gak terasa. Rasa menahan malu karena ditolong anak-anak SMA Stece, rasanya lebih dominan daripada rasa sakit akibat kecelakaan itu. Lengan robek dan baju sobek. Bekasnya masih ada sampai sekarang. Dan mungkin, karena kecelakaan itu, salah satu "urat pengendalian tawa" yang saya miliki ikut rusak (putus). Kalau mengingat-ingat kejadian itu, rasanya masih lucu saja, bukan sakit yang dirasa.

Setelah melihat film Patch Adams, saya teringat lagi semua hal ini. Kemudian saya memikirkan sebuah hal yang sebaiknya dilakukan saat menjenguk orang sakit.

Sebenarnya, orang yang sakit sudah cukup tersiksa dengan penyakitnya. Jangan tambahkan lagi siksaannya saat menjenguknya, dengan mengatakan: bagaimana keadaanmu? Sebagai penjenguk, sebenarnya kita sudah bisa menilai sendiri dari keadaan yang terlihat. Kalau dia masih lemah, tergolek pasrah di tempat tidur, pastilah dia masih sakit. Dan pertanyaan itu pasti menambah derita psikologisnya. Karena tidak ingin mengecewakan orang yang sudah repot-repot datang menjenguknya, si sakit pasti akan berkata: sudah agak baikkan atau sudah lebih baik. Meskipun bukan itu yang dia rasakan. Bukankah lebih baik, jika memberikan pernyataan: keadaanmu sepertinya lebih baik. Basa basi yang lebih memberikan semangat positif. Daripada menanyakan keadaannya.

Atau, lebih baik lagi, jika si penjenguk tidak memberikan komentar apa-apa tentang penyakit si sakit. Cukup bercerita hal-hal lucu yang bisa membuatnya tertawa. Lelucon-lelucon sederhana, tapi bisa menghidupkan suasana. Jam kunjung di rumah sakit terbatas, paling lama 2 jam sehari. 22 jam berikutnya, si sakit akan bergumul lagi dengan sakit penyakitnya. Jadi, saat menjenguknya, berilah waktu 2 jam untuk membuatnya tertawa. Membuatnya melupakan penyakitnya, walau hanya sejenak. Bukankah itu lebih baik daripada membicarakan penyakitnya? Biarlah itu hanya menjadi urusan dokter dan perawat saja. Tugas penjenguk, ya menghiburnya saja.

Saya pernah mendengar cerita, tentang seorang wanita yang menderita kanker payudara. Setiap kali dijenguk temannya, dia marah jika ditanya tentang perkembangan penyakitnya. "Sakit! Itu saja. Saya tidak mau penyakit ini berkembang dan menggerogoti tubuh saya. Jadi jangan tanyakan itu lagi. Saya hanya mau mendengar cerita-cerita lucu di luar sana." Begitu katanya jika ada orang yang datang menanyakan keadaannya.

Jika semua dokter bisa "menyembuhkan" seperti dokter-dokter dalam film Patch Adams. Dengan tawa dan senyuman, tidak hanya dengan obat-obatan. Dengan setulus hati, tidak hanya dengan melakukan operasi. Saya rasa, rerata pasien opname di rumah-rumah sakit akan berkurang jumlah "waktu istirahat"nya.

Bukankah hati yang gembira adalah obat? Dan semangat yang patah, mengeringkan tulang. Jadi, "menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga..."

Kalau pesan dari Warkop DKI: tertawalah, sebelum tertawa itu dilarang! Jika pemerintah tahu akan manfaat sebuah tawa, mungkin saja slogan baru akan muncul: tertawalah, sebelum tertawa itu terkena pajak pemerintah!

Hahahaha :))

Sunday, May 30, 2010

Saya Bermimpi

Saya bermimpi...
Tinggal di dunia tanpa korupsi.
Dunia tanpa polusi. Dunia tanpa polisi.

Saya bermimpi...
Hidup di dunia yang penuh cinta.
Tiada pertengkaran dan air mata. Tidak ada perceraian atau pengkhianatan cinta.

Saya bermimpi...
Bersemayam di dunia yang asri.
Air jernih di tiap sungai. Selalu ada hutan di setiap jengkal bumi.

Saya bermimpi...
Berdiam di dunia yang menyenangkan.
Dunia yang aman. Tiada peperangan atau kekacauan. Tidak ada kelaparan dan perselisihan.

Saya bermimpi...
Berdiri di dunia yang penuh kedamaian.
Manusia saling berpelukan. Hanya ada senyuman di bibir mereka, bukan kata makian.

********/*******
Tapi,
layaknya sebuah mimpi,
bagaimanapun indahnya,
saya tetap harus bangun,
membuka mata saya,
di dunia yang nyata,

dunia yang palsu,
dunia yang mulai kehilangan cinta,
dunia yang penuh dengan polutan,
dunia yang menawarkan kesedihan dan kekurangan,
dunia yang diwarnai rasa saling curiga diantara manusia.

********/*******
Saya ingin kembali,
ke dalam alam mimpi saya...
di dunia baru,
yang entah kapan,
saya akan melihatnya.

Karena saya percaya,
suatu hari nanti,
dunia impian saya,
akan menjadi nyata.



#
Bapa kami yang ada di surga,
dikuduskanlah namaMu.
Datanglah kerajaanMu,
jadilah kehendakMu.
Di bumi seperti di surga.
Berikanlah kami pada hari ini,
makanan kami yang secukupnya.
Dan ampunilah kami akan kesalahan kami,
seperti kami juga mengampuni
orang yang bersalah kepada kami.
Dan janganlah membawa kami
ke dalam pencobaan.
Karena Engkaulah yang mempunyai kerajaan,
dan kuasa, dan kemuliaan,
sampai selama-lamanya.
Amin.

Monday, May 24, 2010

Just Do It!



"Lakukan. Maka kau akan mempunyai kekuatan untuk melakukannya. Saat manusia bisa bermimpi akan suatu hal besar, maka mimpi itu adalah hal yang pasti bisa dilakukannya."


Seorang bijak beberapa waktu lalu, mengatakan hal itu kepada saya. Kata-kata tepatnya saya lupa. Tapi kira-kira seperti itulah.

Belum lama ini, seorang teman yang ada di facebook, bertanya pada saya, bagaimana caranya nulis.

"Saya tidak tahu. Hal itu terjadi begitu saja."

Tapi setelah saya pikir lagi, tidak ada hal yang terjadi begitu saja. Saya tidak pernah tiba-tiba bangun tidur, menghidupkan Nayla (nama komputer saya) , dan mengetik kata-kata di layarnya, kemudian ... voila ... jadilah sebuah tulisan. Tidak, prosesnya tidak seperti itu.

Ya, proses. Semua hal ada prosesnya. Sebab-akibat.

Satu tahun belakangan, saya suka membaca buku. Terinspirasi dari film "GIE" dan suka pada sosoknya, kemudian saya memulai sesuatu yang dia lakukan saat masih muda. Membaca. Tidak ada kata terlambat untuk apapun, yang ada hanya penyesalan. Jadi di usia saya yang sudah tidak muda, saya mulai membaca. Dari membaca, proses menulis itu bermula. Jika saya tidak suka dengan jalan cerita buku yang saya baca, saya mulai menulis jalan cerita sesuai versi yang ada dalam pikiran saya (baca: idealisme saya).

Jika saat membaca, saya teringat pada sesuatu, saya akan langsung menuliskannya. Tidak panjang, singkat saja. Misal, saat saya membaca "Jembatan Jaman", saya kemudian menuliskan tentang generasi muda dan tua. Nah, proses tersulit sebenarnya ada di sana, yaitu menuliskan pikiran saat itu juga. Terkadang, ada rasa malas di proses itu.

"Ah, ntar aja. Nanggung bacanya."
atau
"Komputer masih mati, ntar lah."

Itu dulu.

Setelah saya mencerna lagi kata-kata dari orang bijak itu, bener juga ya? Saya, suka menunda-nunda melakukan sesuatu. Hal kecilnya, ya itu tadi. Menulis. Pada dasarnya menulis gak harus di komputer. Bisa saja di kertas bekas, atau ponsel. Saat ide segar itu terlintas, sebaiknya langsung dituangkan, sebelum tertimpa oleh pikiran lainnya. Karena kita hidup di jaman yang arus informasinya serba cepat, otak kita belum tentu bisa merangkum semua bacaan, tontonan, atau perkataan, yang tertangkap oleh indera kita tiap harinya. Jadi, sebuah catatan kecil atau notes di ponsel, sering berguna untuk menyimpan ide segar.

Gak hanya menulis. Saya juga sering menunda melakukan hal-hal lainnya. Mandi, makan, belajar, jemput teman, meeting, hingga menunda pacaran :p

Dan hal itu sebenarnya akan memundurkan timeline saya. Misal, saat saya menunda untuk makan, maka saat waktu yang seharusnya bisa melakukan hal lain, saya malah makan. Saat saya menunda mandi di pagi hari, kegiatan-kegiatan selanjutnya akan terlambat, atau saya lakukan dengan terburu-buru.

Kembali soal menulis tadi, saya sering kehilangan beberapa ide segar yang lewat begitu saja. Ya karena itu tadi, saya tidak melakukan sebuah langkah kecil saja, yaitu menuliskannya saat ide itu terlintas di kepala saya.

Saya menulis, sebenarnya dimulai dari mengembangkan ide itu saja. Tidak lebih. Saat pengembangan itu berhenti di sebuah kata, saya akan menyimpannya dalam folder 'draft'. Untuk dibaca lain waktu, karena siapa tahu, di kemudian waktu saya mempunyai pikiran yang baru untuk menambahkan kata-kata pada tulisan itu.

Di timeline twitternya Djenar Maesa Ayu hari ini, ada percakapan yang menarik,
"kalo nulis suka berhenti di tengah-tengah, itu yang buat males"
"kalo males berarti kamu gak serius"
"hiks...ajarin"
"satu-satunya cara belajar nulis adalah dengan nulis. Kalo kamu gak bisa, ya coba terus."
"tapi kalo gak ada ide, kan susah kakak"
"memang nulis susah dan butuh kerja keras"
dan seterusnya.. dan seterusnya..

Ya gitu. Satu-satunya cara buat belajar nulis ya dengan nulis. Apa aja yang ada di pikiranmu, ya ditulis aja. Perkara jadi mbulet, jelek, aneh, banyak salah ketik (karena kecepatan jari kalah sama kecepatan pikiran), gak jadi soal. Saat 'draft' itu sudah tercetak di hitam di atas putih, pastilah sang penulis jadi tahu apa yang hendak disampaikannya, apa yang hendak dituliskannya. Karena memang setiap tulisan mempunyai sebuah tujuan.

Jadi kalau saya ditanya, gimana caranya nulis, ya banyak-banyak lah baca, dan siapin kertas atau buku tulis yang bisa ditulisi sewaktu-waktu. Atau saat jalan-jalan di mal, tempat wisata, atau di mana saja, dan tidak memungkinkan menulis diatas kertas, ya pakailah ponsel. Atau katakan pikiranmu kemudian direkam (kalau ada fitur recording di ponselmu).

Soal bagus atau enggaknya, jangan terlalu dipikirkan. Yang ada malah gak pernah nulis apa pun. Dan hal itu sebenarnya jangan jadi beban buat penulis, karena yang menentukan bagus atau tidaknya, itu pembacanya. Kalau penulisnya, pasti bilang tulisannya bagus-bagus saja (seperti saya :p).

Ya, pede aja lagi. Karena setiap tulisan itu unik, ada ciri khas yang ditinggalkan penulisnya disana. Kalau si penulisnya pesimis sama tulisannya, gimana pembacanya?

Just do it! Whatever it is.

Ambil Enaknya Aja

Tidak ada kehidupan yang berjalan serba baik-baik saja, sesuai dengan apa yang diinginkan. Pastilah ada klimaks, ada puncak masalah, atau ada bagian yang tidak disukai karena di"salah mengerti".

Sama seperti tulisan atau film yang kita baca dan lihat di layar televisi. Pernah gak saat jam 10 malam, kita pindah saluran TV kita ke "Bioskop TransTV", dan melihat sebuah adegan film yang belum pernah kita tonton. Hanya sepenggal adegan. Apakah kita langsung bisa menilai film itu baik atau buruk? Tidak bisa bukan? Kita harus menonton film itu dari awal hingga akhir untuk memberikan penilaian terhadapnya.

Sama halnya saat membaca sebuah tulisan. Seperti tulisan berikut.


Cinta benar-benar telah menyusahkanku

Ketika kita saling berdiri berjajar berdua, seolah menyatu...
Malamnya aku tak bisa tidur karena wajahmu tak mau pergi dari kamarku.

Ketika kita saling bersendau gurau dengan joke yang gak bermutu,
Kepalaku pusing sejak itu, memikirkan 'apakah engkau cinta terakhirku'?

Ketika kita berjalan berdua menyusuri hypermarket itu untuk membuang waktu,
Aku hanya bisa mengagumi keindahan dirimu, engkaukah mahadewiku?

Siapa dirimu?
Yang berani merusak tidur dan selera makanku?
Yang membuatku melamun sepanjang waktu?

Namun ingin kukatakan padamu,
Setiap malam aku bersyukur kita telah bertemu
Karena hanya padamu, aku akan merasa rindu...

*) terinspirasi dari puisi "Rindu", yang ditulis A Ling pada Ikal (novel Laskar Pelangi)



Saat kita hanya membaca paragraf kelima saja, kita menyimpulkan bahwa tulisan itu adalah tulisan tentang kemarahan. "Siapa dirimu? Yang berani merusak tidur dan selera makanku? Yang membuatku melamun sepanjang waktu?"
Atau jika hanya membaca kalimat di awal saja, kita menyimpulkan bahwa tulisan itu adalah sebuah gerutuan. "Cinta benar-benar telah menyusahkanku."

Padahal isi dan maksud keseluruhan tulisan itu bukan tentang kemarahan, atau sebuah gerutuan. Hanya sebuah surat cinta, tentang rasa rindu. Tapi jika kita membaca sebuah paragraf saja, atau hanya melihat sekilas tulisan di awalnya, penilaian lain akan terlontar dari pikiran kita.

********/*******

Betapa banyak manusia yang hidupnya jadi tidak bahagia, karena hanya melihat "sepenggal adegan" di hidupnya, atau "membaca sebuah paragraf" saja di tulisan kehidupannya. Tidak melihat keseluruhan adegan, atau membaca hingga selesai tulisan tentang hidupnya.

Dalam sehari saja, ada banyak peristiwa yang terjadi. Misal, saat pagi sarapan, baju kita ketumpahan kecap, hingga kita harus kembali ke rumah untuk mengganti baju, kemudian telat masuk kerja. Saat siang hari, kita mendapat kejutan sebuah promosi dari atasan. Saat malam dalam perjalanan pulang, kita terjebak macet di jalan, padahal ingin segera memberi kabar gembira untuk keluarga.

Ada dua hal yang kemungkinan bisa terjadi:
Pertama, membuka pintu rumah dengan tawa bahagia, memberi kabar tentang kenaikan jabatan pada keluarganya, kemudian bersama-sama merayakannya.
Atau kedua, membanting pintu rumah karena kesal akan kemacetan, meracau marah tentang banyaknya kendaraan di jaman sekarang yang membuat macet di jalan, kemudian berangkat tidur sambil mengingat-ingat betapa bodohnya dia pagi tadi karena menumpahkan kecap di bajunya sendiri.

Well, hidup soal pilihan bukan? Hanya soal bagaimana kita menilainya. Yang sebaiknya, jangan dilihat dalam sepenggal adegan atau sebuah paragraf saja, tapi coba lihatlah secara keseluruhan, hingga selesai, dari awal hingga akhir.

Saya percaya jika kita bisa melihat kehidupan dengan cara seperti ini, kita akan menjadi salah satu orang bahagia di dunia ini. Jika semua orang di negeri ini bisa melihat keseluruhan adegan kehidupannya, membaca semua paragraf pada tulisan kehidupannya, saya yakin dalam waktu yang tidak lama lagi, orang dari negeri lain, akan menyebut negeri ini sebagai 'negeri orang bahagia'.


Ada tertulis,
"Allah membuat segala sesuatu indah pada waktuNya ... tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir." (Pengkotbah 3:11)

"Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." (Yeremia 29:11)

Friday, May 21, 2010

Tuhan Itu Adil

Seputih-putihnya kulit seseorang, bayangan yang terpantul dari dirinya pasti berwarna hitam.
Sehitam-hitamnya kulit seseorang, telapak kaki dan tangannya pasti berwarna lebih cerah.

Sebodoh-bodohnya orang yang ada di muka bumi, pasti masih mempunyai manfaat buat orang lain.
Sepintar-pintarnya orang yang ada di muka bumi, pasti mempunyai musuh yang akan menjatuhkannya melalui kekurangannya.

Semiskin-miskinnya manusia, pasti dia pernah sesekali merasa bahagia dan tertawa.
Sekaya-kayanya manusia, pasti dia pernah sesekali merasa sedih dan menangis.

Sejelek-jeleknya anak manusia, pasti dia mempunyai kelebihan yang bisa dibanggakan.
Setampan-tampannya anak manusia, pasti dia mempunyai kekurangan yang coba dia tutupi.

Secantik apapun paras seorang wanita, tidak semua pria pasti menyukainya.
Seburuk apapun paras seorang wanita, pasti mempunyai belahan jiwa yang mencintainya.

Kurus atau gemuk; tinggi atau pendek; muka kotak atau muka bulat; saat senang atau saat sedih; saat tertawa atau saat menangis; saat stres atau saat relax;

SEMUA perasaan itu, SEMUA bentuk anatomi tubuh yang dideskripsikan bahasa manusia, SEMUA status masyarakat yang diciptakan oleh manusia, SEGALANYA indah di mata Tuhan. Oleh karena itu, Dia selalu memberikan ketidak sempurnaan pada kita, manusia, agar tidak seorang pun berhak merasa lebih baik, atau lebih sempurna dari yang lainnya.

Masih berani bilang, "Tuhan itu gak adil?"
PIKIR LAGI.

Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Memberi motivasi kepada orang untuk bertumbuh, tanpa memberi sarana untuk melakukannya, adalah sebuah tragedi.(John C. Maxwell)


Harkitnas, Hari Kebangkitan Nasional ke 102, diperingati hari ini, 20 Mei 2010.

Sudah bangkit kah negeri ini dari keterpurukan? Dari kemiskinan? Dari penjajahan kaum kapitalis?


Kalau dibandingkan 102 tahun yang lalu, negeri ini sudah lebih baik lah. Paling tidak, penjajahan yang terlihat nyata dari kompeni Belanda sudah tidak ada. Tapi penjajahan yang tak kasat mata, dari negara asing lainnya, dari kaum pribumi yang menjadi penguasa, saya kira masih ada. Harkitnas seharusnya jangan hanya diperingati dengan upacara bendera saja, tapi lebih kepada melihat realitas yang ada.

Pasal 34 UUD 1945 menyebutkan, "fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara."

Ya, alangkah lucunya negeri ini jika berkaca pada pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945. Negara, dalam hal ini direpresentasikan oleh para pemimpin di pemerintahan, mulai bingung dalam merealisasikan pasal ini. Bagaimana memelihara fakir miskin dan anak terlantar yang jutaan banyaknya? Bahkan saat BLT (Bantuan Langsung Tunai) atau raskin (Beras Untuk Rakyat Miskin) akan dibagikan, angka kemiskinan di negeri ini malah bertambah. Banyak orang yang mampu secara ekonomi, menjadi ngaku-ngaku miskin. Ya, memang alangkah lucunya negeri ini.

Di satu sisi, banyak kaum intelegensia yang berteriak, "kejarlah mimpimu." Tapi di sisi lain, banyak anak-anak, generasi potensial yang busung lapar, homeless, tidur beratapkan langit, hingga menerima nasib diperjualbelikan kaumnya sendiri. Mereka, yang tiap hari bingung mau makan apa hari ini (bukan mau makan di mana hari ini), yang tiap hari bingung mau tidur di mana saat malam hari, yang tiap hari belum tentu bisa makan nasi (tidak lagi berpikir nasi baru atau basi), apakah impian mereka? Mimpi mereka hanya sederhana: makan tiap hari, tidur di kasur dan selalu ada tempat untuk berteduh dari panas dan hujan. Itu saja. Orang seperti mereka, boro-boro mimpi punya mobil atau apartemen, jadi dokter atau pengacara. Impian mereka adalah hanya bisa tetap bertahan hidup. Otak mereka (mungkin) tidak sampai, jika membicarakan impian yang terlalu tinggi.

Film "Alangkah Lucunya (Negeri Ini)", sedikit banyak menyinggung soal fenomena ini. Soal satpol PP yang suka melakukan penertiban sewenang-wenang pada para pedagang, menangkapi penjaja asongan hingga para pengamen jalanan. Saat saya melihat kejadian-kejadian itu di TV, saya hanya berpikir, "Sama-sama cari makan kok diributkan? Bukankah lebih baik jadi pengasong, buka lapak dagangan dan jadi pengamen, bukan? Daripada jadi garong, copet, dan pekerjaan sejenis yang sebenarnya lebih meresahkan."

Tapi itulah realita di negeri ini. Jika dulu pernah ada tayangan, "Hanya Ada di Indonesia", yang meliput hal-hal "lucu" yang hanya terjadi di Indonesia, sekarang hal ini lebih dibuat fokus dalam film durasi 90 menitan. Tapi apakah sindiran dan pesan moral film itu sampai ke mata hati dan telinga para pemimpin negara? Mungkin. Tapi sampai hari ini, belum pernah diberitakan, presiden kita membuat acara "nonton bareng" bersama para staf menteri dan koleganya, untuk menonton film ini.

Semoga dengan peringatan ke 102 Hari Kebangkitan Nasional, yang jatuh pada hari ini, negara ini bisa lebih baik lagi. Tidak ada lagi "dagelan" di media, yang lakonnya malah para pemimpin negara ini. Semoga.



Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh karakter moral masyarakatnya serta prinsip-prinsip yang melandasi kehidupan pribadi masing-masing anggota masyarakat tersebut.
(Edwin Louis Cole)

Tuesday, May 18, 2010

Catatan Yang Ditemukan: Masa SMA

Masa SMA adalah masa yang paling indah dalam hidup ini. Sangat sangat indah. "Masa-masa remaja yang terindah, tak bisa terulang..."

Sudah cukup dewasa untuk mulai tahu dan memahami banyak hal, tetapi masih terlalu kecil untuk berpikir banyak tentang dinamika dan kesulitan sebuah kehidupan. Tidak ada beban, begitu katanya.

Tapi sekarang, itu semua sudah berakhir...

Kamu, dia, mereka ... semuanya yang pernah kita tahu, akan pergi. Beberapa akan berpisah untuk waktu yang lama, mengejar mimpi dan cita-citanya. Sampai waktu reuni yang mengumpulkan semuanya kembali, kita semua akan berjuang. Beberapa akan pergi untuk menjadi dokter, menemukan obat untuk penyakit-penyakit baru di dunia. Beberapa pergi ke pelatihan militer, menjadi garda depan bangsa dan negaranya. Yang lain, menjadi seorang direktur, pengacara, manager, dan orang-orang yang berguna.

Meskipun beberapa diantaranya, tidak seberuntung teman-temannya. Masa SMA adalah akhir dari perjalanan mengejar impiannya. Segalanya, setelah masa-masa SMA, akan menjadi biasa-biasa saja.

Tapi apapun itu, apapun yang terjadi setelah "masa terindah" terlewati, ber-semangat-lah. Apapun itu, lakukanlah. Apapun itu, kejarlah. Ini semua bukanlah akhir dunia. Tidak ada hidup yang biasa-biasa saja. Saat manusia bisa bermimpi melangkah di bulan, hal itulah yang terjadi kemudian. Bermimpilah, langit adalah batasnya.

Saat kita, anak-anak muda, "penyu-penyu kecil" dari SMA, yang mulai berlari pelan meninggalkan pantai, menuju lautan yang luas dan dipenuhi ombak yang dahsyat, itulah sebenarnya kehidupan "seekor penyu kecil" untuk belajar menjadi "seekor penyu dewasa." Ada kehidupan yang luar biasa di sana, di lautan yang ganas, jauh dari bibir pantai yang hangat dan nyaman.

Bermimpilah.. berlarilah.. raihlah.. hingga saatnya nanti, kita berkumpul kembali.. di pantai ini, untuk "menelurkan" kembali, generasi muda bangsa ini.

Sagan Satu Jogja, 24 Februari 2004
Victor Hasiholan (3 IPA 3 / 7382)

Monday, May 17, 2010

Aku Bosan

Kepada: Jenderal Bintang 4 (SS) Jonathan P. Antonio

Aku sudah bosan dengan saya. Aku ingin menjadi diri sendiri. Aku terkadang ingin melakukan hal gila seperti mereka. Menembak M-60 ke udara tanpa sasaran, melakukan manuver dengan Squadron SS-1 sambil menjatuhkan C60 ke daerah lawan, atau melemparkan satchel charge ke truk berisi 1 kompi personel. Aku sudah bosan menjadi saya, yang segalanya diatur dengan protokol. Kadang aku ingin melepaskan tanda pangkat di pundak saya, dan melakukan hal-hal menyenangkan seperti para prajurit tingkat pertama.

Aku bosan menjadi saya, yang selalu berusaha memahami situasi. Tapi saya sebenarnya juga ingin dipahami situasinya. Aku tahu itu. Oleh karenanya, aku bosan dengan saya. Aku tidak bebas karena saya.

Aku terkadang hanya ingin menjadi diri sendiri saja. Seperti saat aku menjadi pemimpin regu Snaps, dan menghabisi manusia di satu pulau yang memang ingin dihancurkan. Aku menikmati itu semua, saat aku menjadi seorang Sersan, bukan seperti sekarang, saya menjadi seorang staf salah satu komando penting, menjadi perwira menengah, seorang Letnan Kolonel. Ya, Letkol, bukan Kolonel seperti yang selama ini mereka tahu. Saya seorang Letkol dengan lencana seorang Jenderal Bintang 1. Aneh? Ya, mereka yang tidak tahu juga berkata saya aneh. Tapi aku tidak sependapat.

Terkadang usia tidak mencerminkan pangkat seseorang. Bisa lebih tinggi atau rendah. Entahlah, bukan aku atau saya yang membuat aturan itu semua.

Aku hanya bosan menjadi saya. Aku ingin menjadi aku, yang bosan dengan memahami, yang muak dengan basa-basi, tidak seperti yang dilakukan saya selama ini.

Signs,

Letkol. (SS) Victor Hasiholan
(2nd command in middle earth)

Saturday, May 15, 2010

Stay Together for Kids

Di mantan blog saya, terakhir saya nulis tentang perceraian.. patah hati.. pengkhianatan cinta.. apalah sebutannya. Entahlah, sebenarnya saya gak ngerti maksudnya apa. Saya juga belum mengalaminya. Tapi saya sudah tahu apa dampak jangka panjangnya ... yang sayangnya, kurang terpikirkan oleh beberapa orang. Saya hanya mengingatkan, itu saja.

Tulisan saya itu memang sangat terbaca sarkasme. Di luar jalur biasanya saya menulis. Tapi bukankah begitu kenyataannya? Kasus perceraian rumah tangga di atas bumi ini sudah di luar batas normal. Gila! Dan saya melihat itu, sebagai penyebab menurunnya toleransi antar manusia. Yang jangka panjangnya, hal ini menjadi penyebab hilangnya kasih sayang antar manusia. "Where is the love?" kata Black Eyed Peas. Atau kata Blink 182, "it's not right" dalam lagunya yang berjudul "Stay Together for Kids".

Tapi, buat mereka yang sudah bercerai, pasti akan bilang ini hanya sampah. "Itu hanya pendapat dari orang yang belum menikah, dan tidak tahu rasanya hidup berumah tangga," kata mereka. Iya benar, saya belum menikah. Saya juga belum punya pasangan. Tapi saya tidak buta. Saya tahu bagaimana dampaknya. Saya hanya memberi saran buat yang belum melakukan perceraian: jangan lakukan itu (perceraian rumah tangga). Terlihat sangat egois. Gak baik juga untuk contoh generasi yang akan datang (anak-anakmu).

Buat yang sudah bercerai, apalagi yang berkali-kali kawin-cerai, ya nikmatilah itu. Kalau batinmu jadi bertambah kacau karena hal itu, hiduplah dengan kenyataan itu. Berani melangkah, harusnya berani hadapi resikonya. Berani menikah, harusnya berani hadapi semua tantangannya. Bukan pergi begitu saja, saat semuanya tidak berjalan baik-baik saja.

Dampak perceraian... ya, itu yang mau saya utarakan. Saya mengenal beberapa anak hasil korban perceraian orang tua. Baiklah, kalau ada yang berkata, "mereka baik-baik saja." Atau "kalau anak selalu hidup dalam konflik rumah tangga, tidak baik untuk perkembangannya." Saya mau bilang: BULLSHIT! Omong kosong. Itu hanya pernyataan pembenaran. Perkataan pembelaan dari orang yang melakukannya. Tidak ada yang baik-baik saja dari peristiwa perceraian. Disadari atau tidak, itu hanya meninggalkan luka batin yang dalam. Mungkin tidak terlihat oleh orang sekitar, bahkan keluarga dekatnya. Tapi percayalah, itu yang dirasakan oleh mereka yang menjadi korban. Dan luka batin yang dalam itu, berubah menjadi trauma.

Lihatlah, berapa banyak anak korban perceraian yang takut untuk menikah. Takut untuk menjalin hubungan. Mau diakui atau tidak, hal itu adalah buah kepahitan yang tertanam dalam diri mereka. "Semua laki-laki itu brengsek," atau "semua perempuan itu pelacur."

Tapi memang, ada juga anak korban perceraian yang hidupnya baik. Tapi tidak baik-baik saja. Mana ada sih gelas kaca yang terbelah dua, tapi tidak meninggalkan bekas sedikitpun. Bisa disatukan lagi tanpa terlihat bekas-bekas pecahannya? Kalau pakai lem ajaib dari kantongnya Doraemon mungkin bisa.
Ya, di dunia ini tidak ada yang absurd. Hanya kebenaran dari Sang Pencipta lah yang mutlak. Semua yang ada di dunia ini itu relatif.

Saya hanya pernah belajar dari seorang istri yang mempertahankan rumah tangganya, betapapun brengseknya sang suami. Dia pernah bilang kira-kira seperti ini, "lha wong saya udah janji sama Tuhan buat hidup bersama, susah atau senang, sehat atau sakit, ya saya bakal tepati janji itu. Kalau Tuhan yang mempersatukan, pasti saya akan diberi kekuatan. Tapi kalau Tuhan berkehendak lain, biarlah kami bercerai oleh kematian. Biarlah saya mati saat disiksa suami, atau mati karena penyakit. Tapi saya tidak pernah menyerah, saya yakin suatu hari nanti suami saya akan berubah menjadi lebih baik. Saya mencintai anak-anak saya, saya tidak mau meninggalkan mereka sendiri."

Untuk beberapa perempuan modern, hal itu memang terlihat konyol. Terlihat tolol. "Hari gini masih betah sama laki-laki brengsek?" gitu kata mereka. Yang kemudian mengurus sidang perceraiannya.

Tapi saya lihat pengaruh positif ke anak-anaknya, "saya lihat mami berjuang keras buat hidupnya. Buat hidup kami. Buat keluarga kami. Saya harus bisa seperti itu. Kalau nanti saya menikah, mami pernah bilang kalau saya harus hadapi semua resikonya. Mami mengajarkan pada kami, untuk tetap fight pada apa yang sudah jadi pilihan kami. Ya saya juga harus bisa seperti mami."

Dan keluarga itu sudah memasuki usia pernikahan ke 32 (kalau gak salah inget), dan suaminya sudah menjadi "baik". Beberapa tahun lalu, suaminya diberi anugerah penyakit stroke yang membuatnya lumpuh. Sekarang, dia hanya bisa duduk di kursi roda, dengan perawatan dari istri tercintanya. Wanita hebat, yang berjuang untuk rumah tangganya.

Anak-anaknya juga sudah "menjadi orang" semua. Perkara karma karena kelakuan salah satu orang tuanya (ayahnya), itu 100% urusan Tuhan, saya tidak berhak berkomentar soal itu. Saya hanya melihat itu semua sebagai sebuah pelajaran.

Tidak ada yang sia-sia saat kita mau berjuang. Tidak ada yang terlalu sakit saat kita mau mempertahankan biduk rumah tangga kita. Mungkin sakitnya hanya sebentar. Atau bisa saja sampai mati. Tapi itu semua memang patut diperjuangkan, worthed it, karena kita sudah berani melangkah untuk masuk di dalamnya, dalam rumah tangga dan segala yang ada di dalamnya.

********/*******

Mengapa (begitu mudah) bercerai?

Saat beberapa pasangan lain, berjuang hingga titik darah penghabisannya mempertahankan hidup rumah tangganya, beberapa pasangan lain dengan mudahnya memencet nomor ponsel pengacaranya.

Saat beberapa pasangan lain, menangis dan mencoba bertahan di kerasnya hidup rumah tangganya, beberapa pasangan lain dengan mudahnya mulai mencari pengganti istri/suaminya.

Saat beberapa pasangan lain, memutar otak mencari penyelesaian perselisisihan dan masalah rumah tangganya, beberapa pasangan lain dengan mudahnya berpikir untuk bagaimana mengakhiri itu semua di pengadilan agama.

Sebaiknya, dan mungkin seharusnya, kata "cerai" itu dibuang dalam kosakata hidup kita, saat masuk dalam babak baru sebuah kehidupan: hidup berumah tangga. Sehingga saat masuk masa "ring of fire" dalam hidup rumah tangga kita, kita lupa bagaimana mengatakannya.


-apa yang telah dipersatukan Allah, tidak dapat diceraikan oleh manusia-

Friday, May 14, 2010

To: Vice9


Hai Vice9. Sudah lama gak coret-coret di dindingmu.

Maafkan aku.

Aku akui, kamu orangnya keras. Punya kemauan pribadi yang ... tidak semua orang bisa cocok. Istilah mereka, "kamu orangnya kaku."

Ha... sekarang aku baru mengetahui itu. Hasil psikotes yang menunjukkan "nilai bersosialisasi" kamu nol besar, sepertinya memang menunjukkan dirimu apa adanya. Kamu tidak cocok berada di tengah kumpulan manusia, sekalipun di dunia maya.


Vice9, aku kembali lagi pada dirimu. Dari kesedihanmu sekarang, keputus asaanmu sekarang, aku hanya ingin kamu pergi dari kumpulan manusia, dari mereka.
Sekarang, kamu hanya merasa bodoh telah melakukan itu semua. Ternyata hanya sebatas itu saja, kan? Ternyata hanya sampai disini saja, bukan? Sekarang, semuanya terlihat jelas.

Sangat jelas.

Kamu kecewa dengan manusia. Tapi itu wajar ya? Jenderal 7 bintang saja berulang kali berkata hal yang sama. Hingga para Jenderal bintang 3 dan bintang 4, berencana memusnahkannya, walau sampai sekarang aku dan beberapa Jenderal bintang 1 dan bintang 2, tidak sepakat dengan keputusan pemusnahan massal itu.

Vice9, tolong untuk mengerti ini semua. Karena bagaimanapun aku sadar, aku seperti kamu, aku dan kamu bukan berasal dari dunia.


-Letkol. (SS) Victor Hasiholan-
YK, 140510, XS56XY78