Saturday, February 19, 2022

B.A.N.G.S.A.T (Cara Mengenali Investasi/Model Bisnis Tipu-tipu)


Investasi bodong, scam, fraud atau apa pun namanya, bukanlah hal yang baru; udah ada sejak dulu. Cuma sebagaimana hal lain, kemajuan teknologi mengamplifikasi kehadiran mereka. Pemain boleh berganti, tapi cara-cara masih sama, memanfaatkan musuh besar kita: diri kita sendiri. Diantaranya:

- Sifat pengin kaya dengan cara cepat
- Mudah percaya dengan orang yang dikenal/terkenal
- Malas membaca atau belajar; tidak mengembangkan rasa ingin tahu
- Malu atau gengsi bertanya,
- Senang pamer (flexing), pengin menjadi seperti yang senang pamer
- Mudah terpukau pada kekayaan.

Jadi berikut tujuh (7) kriteria, cara mengenali investasi bodong/scam, agar orang awam dalam berinvestasi tidak terjerumus pada "gambling dianggap trading dan money gaming dikira investing". Kriteria ini saya singkat: B.A.N.G.S.A.T.

1. [B]usiness model.

Setiap keuntungan tentu harus berasal dari suatu model bisnis. Apakah jual produk, trading, dll. dan ciri-ciri dari investasi bodong itu cenderung tidak transparan. Tidak jelas hitung-hitungan bisnisnya: gimana bisa menghasilkan untung besar? Gak tahu. Doesn't add up. Kalau transparan tentu calon korban sulit terpedaya. Kalo bilang jualan toples, tentu calon korban bisa menghitung: kira-kira modal, margin profit, volume dll., apakah masuk akal dengan keuntungan yang ditawarkan.
Tapi tentu mereka (para penipu) gak kehabisan akal. Dikaranglah nama instrumen, aset, transaksi eksotik, yang terkesan canggih, kompleks, dan dilakukan di negara antah berantah (luar negeri), dan dikelola oleh manusia super atau robot yang digdaya (pasti auto cuan). Saking rumitnya, sehingga calon korban pun malu bertanya, takut dianggap kudet atau bodoh. Semakin canggih maka dianggap suatu underlying pada model bisnis yang ditawarkan, akan semakin bisa dipercaya menghasilkan imbal hasil yang tinggi. Biasa berpikir semakin banyak efforts = semakin banyak hasil. Padahal di domain di mana lebih besar luck dibanding skill, hal tersebut tidak berlaku. Jadi [B]usiness model yang abstrak atau tidak transparan itu bertujuan untuk mengaburkan dan/atau menjustifikasi hasil investasi yang "too good to be true". Padahal red flag pertama sebuah instrumen investasi itu scam/bodong adalah "terlalu bagus untuk jadi kenyataan".


2. [A]nda orang beruntung. Atau menonjolkan aspek kelangkaan (scarcity).
Dibuat seolah-olah calon korbannya adalah satu dari sedikit orang yang beruntung, yang dapat menikmati tawaran investasi tersebut. Tidak banyak kuota. Waktu terbatas. Calon korban merasa spesial, blessed. Dengan desakan waktu yang terbatas, sedikit waktu yang tersedia untuk mengevaluasi tawaran dengan kepala dingin (memikirkan matang-matang). Sedikit waktu yang ada untuk berkonsultasi dengan orang lain. Waktu terbatas juga mendorong perilaku FOMO (Fear Of Missing Out).


3. [N]yari anggota.
Umumnya investasi bodong menghasilkan untung untuk membayar peserta lama, yang seolah-olah hasil investasinya, dengan uang yang didapatkan dari peserta baru. Sebenarnya jelas sih: kalo model bisnis dari trading, di mana relevansinya peserta harus mencari anggota baru? Kan ada underlying asset untuk menghasilkan cashflow/keuntungan... ini kalau beneran investasi.


4. [G]aransi.
Baik dari member lama atau pun orang lain. Orang terkenal, 'seleb' atau orang dekat.
Dimulai dengan: "Kalo gak cair, nanti biar saya yang transfer." atau, "Pak anu aja ngambil lima paket lho, padahal kurang apa coba hartanya beliau?". Juga bisa: "Masak gak percaya temen sendiri? Kita kan bro and sis...".
Teknik penawaran seperti ini, kalau mengacu pada buku Robert Cialdini, "Influence: The Psychology of Persuasion" disebut dengan Authority: sosok yang berwibawa, dapat dijadikan contoh. Seolah-olah kalau orang tersebut terlibat, akan jadi jaminan mutu dari investasi yang ditawarkan. Membuat orang lengah. Padahal selain deposito dan obligasi, mana ada investasi yang kasih garansi (imbal hasil pasti)?


5. [S]urat izin.
Entah dipalsukan, entah ngaku-ngaku berizin. Atau: "Sedang diurus perizinannya, tahu sendiri lah di negara ini lama birokrasinya."
Masalahnya... gak banyak orang mau capek-capek ngecek (takut dianggap gak percaya -lihat kriteria nomor-4). Atau kalaupun ada surat izin, ya gak nyambung sama model bisnis atau instrumen investasinya. SIUP bisa dianggap sudah izin untuk dagang apapun. Tapi dengan pamer surat izin, kadang membuat lengah calon korbannya: "Oh resmi," pikir si calon korban.


6. [A]bsurd.
Keuntungan/imbal hasil yang dijanjikan tidak masuk akal.
Misal: 15% per bulan, atau 180% per tahun! Bahkan ada yang dalam hitungan jam bisa 300%.
Ketika deposito bank buku 4 paling banter 4%-5% per tahun, atau surat hutang yang dijamin negara (SBN) paling tinggi 7% per tahun, ini ada investasi atau model bisnis yang garansi keuntungan lebih besar? Sebenarnya kriteria ini adalah yang termudah menjadi red flag (peringatan). Tapi sayangnya, ini juga yang menjadi daya tarik terbesar, terutama kalau match dengan calon korban yang: pengin kaya dengan cepat, pengin niru rumput tetangga, dan pengin bisa pamer di Medsos. Apalagi kalau digabung dengan ajakan/tawaran berdasarkan 6 kriteria lainnya.


7. [T]ontonkan (hasil).
Tergocek contoh member yang berhasil. Kasih screenshot slip transfer. Smartphone baru. Uang tunai. Foto atau video (IG reels/TikTok) hasil investasi/model bisnis yang sedang dijalankannya. Zaman sekarang hal-hal tersebut jadi konsumsi tiap hari. Apalagi buat mereka yang kepo; kerjaannya cuma rebahan, scrolling media sosial, dan bermimpi jadi kaya. Menurut Cialdini, ini yang disebut sebagai Social Proof. Bukti. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial: membandingkan, mengikuti, pengin seperti orang lain.


 

Jadi ke depannya, kalau menerima tawaran investasi atau modalin sebuah model bisnis, evaluasi dulu dengan 7 kriteria (B.A.N.G.S.A.T) ini:



[B]usiness model.
[A]nda orang beruntung/eksploitasi kelangkaan.
[N]yari anggota/keuntungan based on ada/tidaknya anggota baru yang bergabung.
[G]aransi dari member/orang dekat atau orang terkenal.
[S]urat izin yang tidak jelas.
[A]bsurd imbal hasilnya.
[T]ontonkan hasil investasi/keuntungan bisnisnya dari member/anggota yang udah bergabung.



Semoga sharing ini bermanfaat.


(Ditulis ulang dari thread di twitter Tigor Siagian, Deputi Direktur Bank Indonesia)

Friday, June 4, 2021

Mindset Seorang Investor

 

Dari salah satu podcast Rianto Astono

Seorang teman pernah bertanya, “Saya ingin menjadi seorang investor saham, apa yang harus saya lakukan?

Jawaban saya: “Siapkan capital atau modal, lakukan analisa, disiplin, dan sabar.

Emm, bukan itu. Maksud saya, apakah dengan investasi saham modal 10 juta, saya bisa menghasilkan uang setiap bulan? Gak usah banyak-banyak deh, cukup 2 hingga 3 juta aja.” Kata teman saya lagi.

Apa katamu? Invest? Cuma 2-3 juta sebulan bermodal 10 juta? Sebentar-sebentar. Mungkin ada yang perlu diperbaiki. Barangkali maksudmu adalah menjadi spekulan saham dengan risiko yang sangat tinggi. Okelah. Apa yang tidak mungkin? Mungkin saja bisa. Tapi itu bukanlah yang dilakukan oleh seorang investor. Bayangkan: modal 10 juta, untung 2 juta berarti 20% sebulan. Dalam setahun artinya 240%. Hmm… bahkan Warren Buffet yang hebat banget pun, punya portfolio yang hanya tumbuh rata-rata sekitar 30% per tahun. Dan tahukah kamu, jika 240% itu seperti meletakkan uang di deposito selama 60 tahun! Satu berbanding enam puluh… sudah kayak pasang togel kena 2 angka saja.


Teman saya lalu melengos pergi.

Jadi mari kita mulai...

Seorang investor memiliki mindset-nya tersendiri yang sangat unik. Hingga saat ini, saya sendiri juga terus berusaha untuk memahaminya secara lebih utuh. Tapi jika ditanyakan, apa karakter terkuat sekaligus kata kerja yang menjadi top of mind dari seorang investor, maka jawabannya adalah: sabar… titik.


Inilah yang kemudian jadi tantangan tersendiri. Bagi pengusaha, bagi seorang pegawai, sabar itu butuh perjuangan. Namun sayangnya, mindset seorang investor berbeda jauh dibandingkan pengusaha atau pegawai.

Bagi anak muda atau yang berjiwa muda, tentu akan lebih sulit lagi, sebab kita sudah terkontaminasi begitu jauh dengan sesuatu yang instan, cepat, praktis, di mana seluruhnya adalah kebalikan dari sabar.

Belum lagi dengan kerusakan mindset dan otak kita, dengan investasi-investasi bodong. Saya mengenal banyak sekali orang yang tidak mau mengambil risiko berinvestasi, misalnya di market saham dengan alasan tidak paham, malas belajar, terlalu lamban, dan tidak pasti. Mereka lebih memilih sesuatu yang pasti seperti deposito. Tapi karena bunga deposito terlalu kecil, mereka akhirnya lebih tergiur dengan imbal balik yang nilainya pasti, namun kadang tidak masuk akal. Sehingga bukan hanya pasti bunganya, tapi juga pasti lenyap digondol maling. Dan jika seandainya pun untung, itu cuma karena mujur, dan sudah pasti berasal dari kemalangan orang lain yang dirugikan.

Namun uang cuma uang. Berinvestasi bodong, memberikan efek buruk yang merusak otak dan merusak mindset secara ekstrim seumur hidup. Mari kita menguraikan mindset seorang investor, sebagai sebuah pelajaran bagi teman-teman, sekaligus bagi diri saya sendiri, untuk mulai mengakumulasi kekayaan dan hidup lebih bahagia.

Pertama-tama dan disadari harus menjadi dasarnya: bahwa tujuan dari investasi bukan untuk kaya raya apalagi kaya mendadak.
Jika aset yang terkumpul nantinya menjadi banyak, itu hanyalah bonus dari pilihan yang tepat dan buah dari kesabaran. Investasi dilakukan untuk mencapai goal-goal yang kita inginkan. Itu kenapa, sebelum berinvestasi itu harus membuat sebuah tujuan dahulu. Buat saya ini seperti biaya kuliah anak di luar negeri. Atau uang untuk masa tua, dan juga bisa uang untuk bersenang-senang yang betul-betul memuaskan.

Bagi saya pribadi, menjadi investor lebih untuk mengasah analisa bisnis, melatih kesabaran, disiplin, komitmen, update perkembangan zaman, hidup praktis dan hemat, mengelola keuangan dengan baik, menjadi minimalis, hidup sederhana, simpel, dan bahagia. Juga agar saya bisa hidup sesuai dengan style yang saya mau, tanpa diperintah oleh orang lain, tanpa dikejar-kejar oleh orang lain. Kemudian yang paling penting, saya punya waktu luang yang sangat banyak bagi keluarga, orang-orang yang saya cintai, kapan saja, dan berapa saja waktu yang diinginkan.

Asal cuan atau asal untung, bukanlah style investasi saya. Style saya adalah menjadi investor jangka panjang yang memperhatikan fundamental serta pertumbuhan aset jauh di masa depan. Seorang investor bukanlah trader jangka pendek. Saya tidak jual beli saham atau mantengin chart setiap hari. Saya punya banyak pekerjaan lain yang lebih penting untuk dilakukan. Dan juga, saya tidak menggunakan uang makan untuk berinvestasi sehingga juga tidak menggunakan hasilnya untuk makan. Saya nyaris tidak pernah melakukan withdraw (penarikan) dana investasi saya, justru saya menambahnya terus menerus. Apa yang sudah masuk dalam portofolio saya, tidak akan keluar sampai goal-nya tercapai. Saya mengetahui ada banyak orang yang melakukan trading for living, dan karena alasan itulah, biasanya aset investasi mereka tidak terakumulasi karena selalu diambil ... dan diambil. Saya tidak begitu.

Jika pun harus mengambil, maka dividen lah yang akan saya ambil. Tapi toh saya juga tidak mengambilnya, melainkan menggunakannya untuk membeli lebih banyak saham atau aset investasi yang lain. Dan tentu saja, sekali lagi, mindset terpenting dari seorang investor adalah sabar. Waktu adalah kuncinya. Seorang investor tidak berpikir untuk mengambil hasil investasinya, dalam 1 atau 2 hari, 1 atau 2 bulan, bahkan tidak 1 atau 2 tahun; tapi puluhan tahun ke depan.

Warren Buffet menyimpan saham Coca Cola sejak 1988, bahkan hingga hari ini. Itu 32 tahun lamanya. Meski kemudian ia akan melepas saham tersebut karena kinerja Coca Cola yang terus merosot beberapa tahun belakangan. Ia berkata, “Jika Anda tidak berpikir untuk memiliki saham selama 10 tahun, jangan pernah berpikir untuk memilikinya selama 10 menit.
Salah satu prinsip investasi Warren Buffet adalah membeli dan menahan saham. Buffet membeli saham pertamanya pada usia 11 tahun dengan harga US$38 per lembar saham. Buffet kemudian menjual saham itu dengan harga US$40 per lembar saham, untuk mendapatkan keuntungan atas pembeliannya. Harga saham itu kemudian naik menjadi lebih dari US$200. Dari sinilah Buffet memetik sebuah pelajaran tentang kesabaran dalam berinvestasi. Kita harus memperbaiki dan mendapatkan mindset ini terlebih dahulu, sebelum memulai (berinvestasi).

Poinnya, untuk menjadi seorang investor yang betul-betul investor, sabar dan santuy (tidak mudah panik) adalah kuncinya. Jangan cuma mikirin cuan dan untung, apalagi mikir jadi konglomerat besok, bulan depan, tahun depan, atau bahkan 10 tahun lagi. Hasil investasimu adalah sesuatu yang digunakan untuk mencapai goal kamu. Menjadi kaya hanya buah dari kesabaran. Seorang investor tetap hidup sederhana. Sisihkan nilai yang bisa kamu berikan setiap bulan dan disiplin untuk meletakkannya dalam investasi. Lama kelamaan kamu akan terbiasa dan mulai melihat gambaran besarnya.

Jika nilai yang kamu sisihkan terlalu sedikit, berarti penghasilanmu yang perlu ditambah. Jika penghasilanmu bertambah tapi investasinya sama, segitu-segitu saja, berarti pengeluaran tak perlumu yang harus dihilangkan atau gaya hidupmu yang harus diperbaiki. Kelak jika mindset ini sudah terbentuk, maka saat kita mendapatkan uang, alih-alih membuka marketplace untuk berbelanja, kita justru akan lebih asyik membuka laporan keuangan dari perusahaan-perusahaan yang sahamnya bisa kita beli.

Saya membagikan ini untuk kesekian kalinya, berdasarkan pengalaman saya sendiri. Di mana saya sudah mulai menghasilkan uang yang ‘cukup banyak’ sejak usia 21 tahun, tapi karena tak pernah ada yang memberitahu tentang investasi, tidak ada yang memberikan mindset investasi kepada saya, maka selama bertahun-tahun uang yang saya dapat hilang begitu saja seperti hantu. Saya ingin pengalaman serupa ini tidak dialami oleh orang lain, terutama teman-teman yang membaca tulisan ini.


Semoga bermanfaat.

Saya,
Rianto Astono.

Monday, June 1, 2020

Penyebab Pandemi Covid-19 Ini Adalah Saya


Ibadah hari Minggu ini berbeda sekali. Padahal hari ini bukan hari raya Paskah atau Natal, tetapi parkiran gereja sudah penuh dengan kendaraan sejak jam 5 pagi. Bahkan ketika ibadah belum dimulai, seluruh kursi dan bangku cadangan yang tersedia sudah terisi.

Mungkin karena hari ini adalah ibadah hari Minggu pertama, di jam pertama, pukul 6 pagi, setelah semua orang mendapatkan vaksin virus Covid-19. Saya pikir saya sama seperti Jemaat yang lainnya, semuanya sudah merindukan bertatap muka dengan teman-teman dan saudara seimannya, secara langsung dan bisa berjabat tangan atau berpelukan, tanpa melalui jaringan nirkabel dan aplikasi Zoom atau semacamnya. Saya merasakan energi dari kerinduan itu di pagi hari ini, dan entah kenapa saya yang biasanya malas menyapa, saat ini rasanya senang sekali bisa bersentuhan dengan manusia lainnya.

Ibadah dimulai. Saya beruntung bisa duduk di kursi di ruang ibadah utama. Saya pikir masih banyak Jemaat di luar gedung gereja yang gigit jari karena tidak mendapat kursi. Belum lagi memikirkan sibuknya petugas parkir dan para aktivis yang mengatur kendaraan agar bisa muat di tempat parkir. Ah, kenapa malah sibuk berpikir yang lain? Ok. Fokus. Tenang. Saat ini akan masuk ke hadirat Tuhan. Hmm, apakah kalau ibadah online selama ini berarti gak masuk ke hadirat Tuhan? Entahlah. Nah, gak fokus lagi dah... tenang. Diam. Matikan ponsel aja ya.

Di tengah ibadah, sebelum kotbah, tidak biasanya ada orang yang mau memberi kesaksian. Ah... bapak itu. Kasihan dia. Bisnisnya hancur akibat pandemi. Sebelum pandemi Covid-19, beliau adalah salah satu "penyumbang" terbesar gereja ini. Jika gereja mengumumkan sedang mengumpulkan dana untuk sarana/prasarana pelayanan, pasti minggu depan sudah ada nama "TM" sebagai pemberi persembahan terbesar dan kadang 50% lebih sudah terpenuhi karena bapak ini. Tapi saya dengar sih, setelah badai pandemi menghantam dalam negeri, usahanya di ambang kebankrutan hingga pernah masuk salah satu pokok doa di Warta Jemaat digital gereja ini. Entah bisnisnya apa, setahu saya sih di bidang jasa keuangan dan agen perjalanan. Semoga beliau bisa kembali ke keadaan semula, agar gereja ini mudah memenuhi kebutuhan pelayanannya.

"Sebelumnya saya minta maaf kepada Bapak/Ibu/Saudara sekalian. Karena setelah saya renung-renungkan, penyebab pandemi Covid-19 ini adalah saya."

Pikiran saya berhenti demi mendengar kalimat awal "kesaksian" ini. Apa? Jadi... bapak ini yang membuat virus Covid-19?
Lalu sama seperti saya, para Jemaat mulai bising seperti kawanan lebah; bersuara pelan tapi bernada resah.

"Ya, maafkan saya. Karena kebebalan hati saya, Tuhan akhirnya mengizinkan virus Covid-19 ini hingga ke Indonesia."

Jemaat mulai tenang. Mungkin karena penasaran. Ingin tahu apa sebab bapak yang baik ini turut andil menyebarkan virus Covid-19.

"Sebelum Covid-19 ini ada, saya adalah orang yang paling percaya diri dengan semua yang saya lakukan. Setiap usaha saya selalu berhasil, apa yang saya kerjakan pasti menuai hasil. Saya saat itu tidak lagi ingat kapan terakhir kali saya pernah gagal, dan karenanya saya selalu yakin ketika memulai usaha baru dan melakukannya dengan total. Bahkan saya saat itu sudah lupa, kapan terakhir kali mengajak Tuhan berdiskusi sebelum memulai segala sesuatunya. Meskipun kelihatannya saya selalu ingat akan Dia; dengan setiap hari Minggu ke gereja, memberi persembahan terbaik, menurut saya, kepada-Nya, menyuruh anak-anak saya ke Sekolah Minggu, menyekolahkan mereka ke sekolah Kristen agar mereka rajin berdoa, tetapi sesungguhnya saya sangat jauh dari Tuhan."

Hening. Bapak itu mengusap air mata di pipinya.

"Setiap ajakan untuk pelayanan, saya tolak dengan dalih kesibukan. Tapi saya memang sibuk dengan semua usaha baru saya, yang entah kenapa, selalu lancar-lancar saja. Dan kompensasinya, mungkin untuk menebus rasa bersalah saya, saya selalu loyal kepada gereja. Saya saat itu berpikir: biarlah saya yang ambil bagian untuk rajin bekerja untuk Tuhan, dan gereja saja yang berdoa untuk saya; bukankah kita semua peranannya beda-beda? Begitu pembelaan saya, pembenaran atas diri sendiri sebenarnya, saat saya mulai tidak ada lagi waktu untuk berdoa secara pribadi dan merenungkan firman-Nya. Saya pernah, suatu kali merasa, kalau Tuhan ingin secara pribadi berbicara dengan saya. Seminggu sebelum pasien Covid-19 pertama diumumkan presiden Jokowi, selama seminggu itulah saya selalu terbangun di dini hari. Tapi mungkin karena saya sudah tidak peka lagi akan suara-Nya, saya malah menggunakan waktu itu, karena tidak bisa kembali tidur, untuk menulis rencana ekspansi bisnis saya selanjutnya. Dini hari itu, selama seminggu, saya masih berpikir kalau yang saya lakukan wajar, karena pasar dunia mulai goyang akibat isu perang dunia dan wabah di Cina, dan saya merasa harus berbuat sesuatu untuk membuat rencana-rencana baru pada bisnis saya. Toh, banyak orang hidupnya bergantung pada saya; paling tidak ada 52 karyawan saya, keluarga mereka, dan gereja, hingga saya tidak pernah sedikit pun terpikir tentang kerinduan yang Tuhan rasakan kepada saya."

Bapak itu menghela nafasnya. Waktu untuk kesaksian sebenarnya sudah selesai, tapi semua MJ dan PNJ bergeming. Jemaat juga masih hening.

"Sampai kemudian virus itu masuk ke Indonesia dan dinyatakan oleh WHO sebagai pandemi, saya mulai dihadapkan dengan kenyataan kalau setiap hari bisnis saya merugi. Saat itu saya masih terus mengingkari kenyataan ini dengan afirmasi-afirmasi, 'Saya bisa melewati ini!' atau 'Tuhan pasti tetap menyertai', tapi keadaan sesungguhnya berbeda sekali. Saya tidak lagi menuai hasil dengan inovasi-inovasi. Saya tetap gagal meskipun selalu berinisiatif dan bekerja dengan total. Bahkan saat itu saya tidak lagi ingat bagaimana rasanya berhasil melakukan sesuatu; keberhasilan terasa jauh di masa lalu. Satu per satu karyawan mulai saya rumahkan. Kios-kios mulai tutup karena malah menambah kerugian, dan beberapa bahkan saya jual agar bisa memberi pesangon kepada karyawan yang saya PHK. Tiket dan voucher yang sudah terjual harus saya tebus karena tidak bisa digunakan. Tagihan-tagihan atas cicilan mulai berdatangan, meskipun tidak ada lagi pemasukan. Bahkan dana darurat perusahaan akhirnya saya cairkan demi bisa bertahan. Di saat itulah saya mulai mencari pertolongan ke teman bisnis, rekan usaha, dan keluarga, tapi semuanya ternyata mengalami keadaan yang sama. Saya masih belum ingat kalau ada Tuhan, belum. Saya hanya ingat kalau saya masih Kristen, dan karenanya saya masih rajin menonton ibadah online setiap hari Minggu. Nonton saja, karena dalam hati saya, perlahan, mulai menolak adanya Tuhan karena keadaan."

MJ, PNJ, dan Jemaat masih hening. Tidak ada kasak kusuk sedikit pun, meskipun alokasi waktu seharusnya sudah untuk kotbah Minggu. Bahkan Pakpen tetap diam di atas mimbar gereja.

"Sampai suatu ketika di hari Selasa, saat saya sudah 5 bulan dalam rumah saja, saya bersih-bersih gudang dengan tujuan mencari-cari barang yang sekiranya bisa diloakan. Saya mendapati buku kecil dari penulis idola saya, dulu, Xavier Quentin Pranata, dan menangis sejadi-jadinya di gudang itu karena sebuah cerita. Bayangkan, istri saya sampai lari ke gudang karena mengira saya sangat depresi sampai kesurupan."

Jemaat tertawa karena Bapak TM mulai melempar gurauan. Tapi tidak ada yang protes karena waktu kotbah sudah setengahnya digunakan.

"Jadi begini salah satu cerita di buku itu yang diberi judul: 'Saya Mematahkan Kakinya':
Ada seorang wanita sedang menikmati udara musim panas di Swiss dengan berjalan-jalan. Ketika mendaki sebuah lereng gunung, dia tiba di rumah seorang gembala. Dia melihat seorang gembala yang sedang duduk dikelilingi ternak-ternaknya. Di pangkuan gembala itu, terbaring seekor domba yang kakinya patah. Dengan perasaan penuh simpati, wanita itu bertanya, 'Apa yang terjadi dengan domba itu?' Dengan wajah penuh arti, gembala itu menjawab, 'Saya telah patahkan kakinya’.
Wajah wanita itu tiba-tiba berubah menjadi penuh kengerian dan rasa sakit. Karena melihat perubahan itu, sang gembala lalu dengan cepat berkata, 'Bu, dari semua domba saya, domba inilah yang paling bandel. Dia tidak pernah mematuhi saya. Dia tidak mau mengikuti arah yang saya tunjukkan. Dia suka ngelayap pergi ke tempat-tempat curam di tebing yang terjal dan sering membahayakan dirinya sendiri. Tidak hanya itu, dia juga membuat domba-domba saya yang lain berserakkan. Saya sudah berpengalaman menangani domba nakal seperti ini. Jadi, saya kemudian mematahkan kakinya. Hari pertama saya mendekatinya untuk memberi makan, dia mencoba menggigit tangan saya. Saya biarkan selama dua hari. Dan sekarang, dia tak hanya mau memakan makanan yang saya berikan, tetapi juga menjilati tangan saya dan menunjukkan sikap penyerahan bahkan kasih sayang. Dan sekarang, saya yakin, jika domba ini sudah sehat, dia akan menjadi domba paling teladan dalam kumpulan ternak saya. Tidak ada domba lain yang lebih cepat mendengar suara saya. Tidak ada domba lain yang mengikuti saya begitu dekat selain dia.'
Ya, cambukan Allah memang menyakitkan, namun menyembuhkan. Saya masih beruntung, Tuhan tidak mematahkan kaki saya atau membuat saya dan keluarga saya tertular Covid-19. Mulai hari itu sampai dengan sekarang, saya selalu menyertakan Tuhan dalam setiap perencanaan bisnis yang akan saya kerjakan. Saya selalu mengajak keluarga saya berdoa bersama. Saya bahkan meminta maaf kepada mereka. Ya, saya akhirnya berani mengakui kalau saya sering melupakan mereka karena sibuk sendiri dengan bisnis saya. Tidak ada lagi pembenaran diri kalau saya bekerja keras juga untuk mereka, juga tidak ada lagi rasa selalu kurang dalam batin saya akan harta benda, sebab pada akhirnya bukan uang dan kekayaan yang menolong jiwa saya, tetapi oleh karena Tuhan Yesus dengan perantaraan melalui mereka, keluarga saya, yang memulihkan saya hingga tidak sampai masuk rumah sakit jiwa."

Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (Ibrani 12:5-6)


Kemudian Bapak itu tersenyum dan memandang ke arah kursi di mana ada istri dan anak-anaknya duduk, sambil bergumam 'terima kasih'.

"Oia, tolong ingatkan saya pada Covid-19 ini kalau menolak diajak ikut latihan paduan suara atau beralasan tidak bisa datang ke persekutuan keluarga di gereja ya."

Lalu beliau tertawa kecil dan melemparkan pandangannya ke arah kursi MJ dan beberapa Jemaat, yang sepertinya mengenal baik dirinya.
Beberapa Jemaat mulai tertawa lepas, bahkan ada yang bertepuk tangan. Entah karena senang karena kotbah sepertinya akan singkat saja, atau ikut bersukacita karena kesaksian yang begitu... mencengangkan.

"Akhir kata, bersukacitalah atas cambukan yang Tuhan berikan kepada kita. Karena itu tanda kalau Tuhan masih sayang kepada kita semua."

Bapak itu turun dari podium dan diiringi riuh tepuk tangan Jemaat. Beberapa bahkan berdiri dan menyalaminya.

Ah... semoga nanti kotbahnya gak lama. Kasihan Jemaat yang menunggu di luar gedung gereja untuk ibadah yang akhirnya secara "live" diselenggarakan, setelah hanya bisa nonton online selama berbulan-bulan.

Saturday, May 9, 2020

Menjadi... Bukan Mencari

The Search for The Sacred: Bagaimana jika pertanyaannya bukan lagi: "Apakah Anda sedang mencari?", tetapi: "Apakah Anda sudah menjadi?".

Saat materi “Terapi Terapeutik” di kelas School of Counseling (SOC), pemateri mengatakan bahwa setiap orang itu hidup seperti dalam film, yang mempunyai genre masing-masing. Ada film kehidupan ber-genre drama, action, sci-fi, thriller, horor, komedi, komedi romantis, dsb., dan kita adalah lakon utamanya. Jika genre hidup kita drama, maka akan menarik pemeran-pemeran drama lainnya untuk masuk ke kehidupan kita: ada pemeran orang bermuka dua, ada pemeran orang yang suka menyakiti/disakiti, dan selalu ada yang memerankan orang yang suka berkata-kata di dalam hati sambil memainkan mimik muka sadis… Itu sebabnya, mereka yang belum kenal dirinya dan atau tidak mau mengubah “genre” hidupnya, cenderung akan mengulang-ulang peristiwa yang sama dan bertemu lalu berteman dengan mereka yang karakternya mirip-mirip dengan dirinya.

Misalnya, seperti yang pemateri SOC waktu itu cerita, ada seorang wanita yang selalu berhubungan dengan pria yang suka menyakitinya. Sampai berkali-kali, dan dia masih tidak tahu mengapa bisa terjadi. Pacarnya adalah pria-pria yang kasar, sering mem-bully dirinya, dan tidak segan melakukan kekerasan fisik padanya. Mungkin genre hidup wanita ini adalah drama. Di alam bawah sadarnya, dia suka disakiti sebenarnya. Kalau gak salah ingat, Pak Siswanto, pematerinya, berkata demikian. Saat itu saya tidak habis pikir, kok ada ya orang seperti itu… dan ternyata memang ada di dunia nyata. Berikut adalah pengakuan dari Ally Vestervelt, salah satu contoh orangnya, yang ditulis di buku “The Sacred Search”:

Lihatlah kesalahan-kesalahan calon pasangan Anda dan pikirkan apakah Anda bisa hidup dengan kelemahan-kelemahan itu, ya. Pikirkan apakah Anda ingin orang ini menjadi ayah/ibu bagi anak-anak Anda, dan sebagainya. Tetapi, saya memberi peringatan kepada para lajang untuk tidak menyalahkan hubungan buruk pada pihak lain. Saya pikir hal ini seperti mempersiapkan kegagalan dalam penikahan. Saya menghabiskan terlalu banyak waktu sebagai seorang lajang untuk mencari “suami yang baik” dan tidak punya cukup energi untuk memikirkan bagaimana saya bisa menjadi seorang istri yang baik.
Menurut pengalaman saya, kelemahan pasangan saya paling banyak mencerminkan kesalahan saya sendiri, meskipun saya tidak menyadarinya. Jika saya ada dalam sebuah hubungan dan berpikir, “Wah, pacar saya jelas tidak siap menikah, karena ia memiliki masalah besar seperti ini,” ternyata kemungkinan besar saya juga memiliki masalah besar seperti itu. Mungkin bukan persis masalah yang sama, tetapi masalah itu sebagian besar mencerminkan kelemahan pasangan saya. Saya khawatir banyak lajang yang sedang memandang pada sebuah hubungan buruk, lalu berpikir: “Oke, yang harus saya lakukan adalah memutuskan hubungan ini dan mencari calon yang lain. Itu tidak akan memecahkan masalah. Setidak-tidaknya, solusi itu tidak memecahkan masalah saya.
Butuh tiga hubungan tragis sebelum saya menyadari masalahnya adalah diri saya sendiri (betapa lamban saya belajar!). Saya terus berpikir kalau saja saya bisa keluar dari hubungan “buruk” ini, saya akan bisa menemukan hubungan yang lebih baik, –pria yang lebih baik–. Dan, ketika hubungan saya masih saja berjalan dengan buruk, saya masih belum melihat peran saya di dalamnya. Saya terus berpikir, "Mengapa Allah menentang saya? Apakah saya ini magnet bagi pria-pria brengsek?!"
Setelah dengan tiga orang pria luar biasa yang berbeda dan tiga kali putus hubungan luar biasa berikutnya, baru semuanya menjadi jelas bagi saya: ke mana pun saya pergi, hasilnya sama saja. Menemukan pria yang lebih baik bukan jawaban. Saya harus membereskan sesuatu yang salah dalam diri saya sendiri.

Nah sekarang, bagaimana jika pertanyaannya bukan lagi: “Orang seperti apa yang Anda cari?” atau "Apa kriteria pasangan hidupmu nanti?", tetapi: "Apakah Anda sudah menjadi pribadi yang dicari oleh pasangan hidup yang Anda inginkan di kemudian hari?".

Banyak kaum pria menghabiskan waktu hidupnya untuk mencari wanita yang diinginkannya, yang sesuai kriterianya; tapi tidak pernah mencari tahu apa yang diinginkan oleh wanita dengan kriteria yang dicarinya. Sebaliknya, banyak kaum wanita menghabiskan tenaga dan waktunya untuk menjadi yang paling diinginkan oleh para pria; tapi tidak pernah mau tahu apa yang dicari oleh pria yang kelak diinginkannya untuk menjadi pendampingnya. Sehingga yang terjadi, mereka saling ribut menuntut karena masing-masing ingin pasangannya berubah sesuai keinginannya sendiri. Atau, yang lebih parah, salah satunya menjadi selalu menerima perlakuan pasangannya dan selalu mengalah; seolah-olah percaya bahwa takdir hidupnya memang demikian: diciptakan untuk selalu kalah.




Cerita pengakuan dari Ally Vestervelt tadi sedikit banyak menggambarkan situasi belakangan sekarang; hampir semua orang selalu mencari ke luar, tapi jarang yang melihat ke dalam dirinya. Sebagian besar orang selalu menuntut pasangannya melakukan sesuatu untuk dirinya, untuk menjadi seseorang yang diinginkannya; tanpa pernah merenungkan apakah dirinya sudah benar-benar seperti yang diinginkan pasangannya.

Karena pernikahan bukanlah sekadar mengenai menemukan orang yang tepat, sehingga Anda bisa memiliki pernikahan yang indah. Pernikahan itu juga tentang menjadi orang yang lebih baik dari hari ke hari; dan siapa pun yang (akan) menikah dengan Anda (harusnya) bisa membantu Anda mewujudkan hal ini. Sebab saya percaya, tujuan pernikahan Kristen bukanlah untuk mencari kebahagiaan semata, tetapi tujuannya lebih kepada pertumbuhan bersama-sama di dalam Tuhan dan bisa memberi dampak yang baik bagi sesamanya.

Jadi sebelum mencari orang yang tepat, jadilah orang yang tepat; agar bisa menarik si dia yang tepat untuk datang mendekat.

Friday, May 8, 2020

Joker: Bukan Orang Baik

Kalau Joker ada di Indonesia, mungkin lagu favoritnya itu "Secukupnya" dari band Hindia.

Salah besar jika ada yang memiliki kesimpulan kalau film Joker (2019) ini menunjukkan kalau orang jahat itu adalah orang baik yang tersakiti. Orang baik akan tetap jadi orang baik, seberapa pun ia disakiti. Juga menurut saya, film ini malah menjadi representasi buruk dari mereka, Orang-orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), yang digambarkan akan menjadi pelaku kriminal jika dibiarkan.

Arthur Fleck (yang lalu dijuluki: Joker) adalah seorang dengan gangguan jiwa: schizophrenia. Diperlihatkan kalau dia memang minum obat-obatan untuk menekan efek sakitnya: delusional/berhalusinasi. Dia juga punya banyak luka batin, kepahitan hidup, dan seorang korban perundungan (bully).

Seseorang yang seumur hidupnya selalu menempatkan diri sebagai korban (playing victim), memang hidupnya kebanyakan akan selalu berakhir seperti Arthur: menyalahkan semua orang akan apa yang terjadi di hidupnya, seolah-olah dia tidak punya kendali sedikit pun pada kebahagiaannya, pada emosinya, pada pikirannya, pada kebebasannya. Oleh karenanya dia, Joker, dijadikan simbol kaum yang senang berpikir dirinya adalah korban.

Poster film "Joker" (2019)

Saya pikir semua orang yang sudah dianggap dewasa, pasti punya pengalaman menjadi Arthur Fleck di dalam sebuah masa di hidupnya. Bedanya, ada mereka yang kemudian sadar bahwa hidupnya itu tidak dalam kendali orang lain, melainkan sepenuhnya dalam kuasa dirinya sendiri... dan ada mereka yang percaya bahwa dirinya tidak bisa melawan kehendak "semesta", sehingga tidak bisa berbuat apa-apa untuk dirinya, sehingga selalu menyalahkan siapa saja: pemerintah, sistem hukum, kesepakatan masyarakat, dll., yang membuat dirinya berakhir menjadi seorang yang delusional, selalu mengasihani diri sendiri saat tidak terlihat oleh orang-orang. Sakit? Iya. Memang sudah dan akan makin banyak orang sakit seperti Arthur Fleck ini di zaman sekarang. Di Indonesia saja, yang saat ini tercatat, ada 1 dari 10 orang yang menderita gangguan kejiwaan.

Tapi apa bisa sebuah negara, atau kota seperti Gotham, akan mampu bergerak maju (menjadi lebih baik) jika semua penduduknya menganggap apa yang dilakukan oleh Joker itu benar? Lalu tiap hari terjadi kerusuhan di mana-mana, kekacauan karena selalu ada ketidakpuasan, pemberontakan pada pemerintahan... dan ketika kehidupan bergerak mundur secara perlahan, semuanya berlagak menjadi korban. Ya kalau begitu selamanya Gotham akan menjadi kota mati. Kalau sudah begitu siapa yang bisa disalahkan? Mereka akan saling terus menyalahkan, lalu bunuh-bunuhan di antara mereka yang berpikir dirinya adalah korban. Terus?
Terus ya akan looping, berputar di situ-situ saja; bergerak di tempat, gak akan ke mana-mana.

Sudah sering digambarkan kalau kejahatan itu hanya akan menghasilkan kejahatan lain. Kekerasan hanya akan menyublim menjadi kekerasan dalam bentuk lain. Begitu seterusnya... kapan selesainya?

Jadi gak usahlah memperbaiki sistem (pemerintahan) dengan cara membuat atau jadi jalan kerusuhan, lalu berdalih 'jika gak gitu, gak akan diperhatikan'.

Padahal digambarkan di film Joker, Arthur Fleck itu sesungguhnya adalah korban kekerasan orangtua angkatnya. Dia diadopsi bukan untuk disayangi, tapi malah dijadikan pelampiasan, dibuat sasaran ketidakwarasan, akibat sakit jiwa yang diderita ibunya. Setelah dewasa, Arthur lalu membunuh ibunya yang sudah selama ini dirawatnya. Kekerasan terjadi lagi. Pembunuhan dianggap hal yang wajar jika terjadi. Kebrutalan-kebrutalan yang selalu dijadikan pembenaran bagi mereka yang menganggap dirinya adalah korban... yang salah selalu orang lain. Dirinya selalu benar... apakah mulai terdengar familiar?

Cuma saya juga menangkap pesan kalau "menjadi korban" itu juga diakibatkan oleh ketidakpekaan orang lain juga, akibat hilangnya rasa empati pada sesamanya. Oleh sebab itu apa yang bisa dilakukan pada fakta bahwa saat ini sudah ada "Arthur Fleck" di sekitar kita, dan akan bertambah lagi di masa yang akan datang di Indonesia?

Ya... milikilah rasa empati pada sesama, jangan selalu ingin menguasai semuanya; atau ingin memiliki segalanya. Sebab akan selalu ada korban pada sistem yang dibuat oleh mereka yang serakah dan hanya berpikir soal dirinya. Juga kembali lagi, realitanya tidak semua korban di sini bisa berpikir jernih untuk menyadari bahwa dirinya adalah pengendali hidupnya sendiri.



Setiap orang yang kamu temui di luar sana memiliki masalah dan beban yang berat menurutnya, yang kamu tidak tahu seberapa besar itu memengaruhi dirinya. Jadi tetaplah bersikap baik pada siapa saja dan lakukanlah ini pada tiap kesempatan yang ada. Mungkin dengan demikian, para "Arthur Fleck" di sekitar kita tidak akan berubah menjadi "Joker" di masa depan.

Sekian.