Tuesday, December 23, 2014

Perempuan

Perempuan itu akhirnya datang juga. Menghampiriku yang duduk menunggunya di pojokan Emci Donal, tempat biasa kami duduk berdua tiap awal bulan di malam Selasa, sebelum dia menikahi lelaki pilihan hatinya. Anehnya, pria malang itu kami temukan di tempat ini juga. Malang menurutku, karena menikahi perempuan seperti sahabatku.

Setelah duduk dan mengambil sepotong french fries yang kemudian dicolekkan ke es krim yang ada di tanganku, dengan senyuman nakalnya dia mulai membuka perbincangan: "Mana cowok loe?!". Dan kami langsung tertawa, dengan tawa yang membuat kami menjadi pusat perhatian seisi restoran.

Malam itu berlanjut seperti biasanya. Seperti sebelum dia menikahi lelaki yang usianya terpaut 10 tahun darinya. Aku mendengarkan. Sementara dia langsung mendongeng tentang hidupnya yang selalu lebih berwarna, daripada aku yang notabene hidup lebih lama daripada dia.

"Sekarang gue baru ngerti apa maksud nyokap dulu sering bilang: 'Nanti kamu bakal tahu gimana rasanya kalau sudah jadi Ibu.'" Katanya sambil menerawang.
Aku mengamati dia lebih lagi. Masih belum percaya, jika perempuan di hadapanku ini sudah punya sepasang anak kembar yang suka bicara, dan selalu melempar pertanyaan yang membuat orang dewasa bingung untuk menjawabnya..... Pasti turunan dari ibunya.

"Dulu gue pernah sembunyi di dalam lemari, biar nyokap gak suruh gue mandi. Terus gue malah ketiduran. Tapi yang paling gue inget dari kejadian itu, gue bangun di pelukan nyokap yang gendong gue ke kamar tidur sambil nangis. Belakangan gue baru tahu kalau gue sempet dikira ilang sama orang rumah. Dan nyokap gue sampai telepon polisi." Ceritanya sambil tersenyum. "Dan... minggu lalu Sara juga bikin stres karena gue kira ngilang dari rumah. Bayangin... gue juga udah cari ke mana-mana, termasuk dalam lemari. Tahunya dia masuk mobil dalam garasi terus tidur di lantai mobil! Untung dia gak ngajak Sari."

Aku tersenyum simpul melihat ekspresi wajahnya. Ekspresi yang hampir sama ketika ia bercerita saat ditembak mantan pacarnya, yang sekarang menjadi suaminya. "Vic, gue ditembak sama om-om itu. Terima gak ya?"
Terus dia mulai cerita tentang ketakutannya. Dia mulai mengandai-andai kalau sampai punya anak. "Gue gak ngebayangin ada alien kerdil dalam perut gue, terus buat ngeluarinnya gue harus dibuat sakit setengah mati, perut gue disobek pake cutter..."
"Pisau bedah." Kataku menimpali.
"Iye... itu maksud gue."
Lalu dia mulai memegang perutnya. "Bisa gak ya?"
"Bisa. Kan udah kodratnya wanita." Jawabku sekenanya.
"Ah, gampang loe ngomong karena gak bakal tahu gimana rasanya. Laki mah cuma enak mbikinnya aja." Katanya sewot lalu menyedot habis minuman soda di hadapannya.

Aku juga teringat bagaimana ekspresi kegugupannya saat prosesi lamaran. Saat dia "disembunyikan", yang merupakan salah satu ritual adatnya, dia menyuruhku menemaninya. "Vic, kaki gue sebenernya pengin kabur dari tempat ini. Tapi hati gue nyuruh gue tetap di sini. Kalau menurut loe, gimana?"
"Aku ngikut kamu aja lah. Kalau mau kabur ya sok... atuh. Aku temenin. Tapi kamu ya yang nyupirin?"
Dia hanya tersenyum, tidak tertawa ngakak seperti yang biasanya aku dengar. Lalu dia melihat ke lantai, dengan sorot mata yang seolah-olah bisa melihat gelapnya perut bumi. "Gue takut gak bisa jadi ibu yang baik. Gue gak bisa bayangin bakal di rumah seharian, gak bisa lagi jalan-jalan, shopping, belanja-belanja sesuka gue karena bakal punya anak yang jadi tanggung jawab gue di masa depan..." Seperti isyarat jika angannya tak mampu menembus kabut masa depan, ia menghembuskan nafasnya panjang... ingin menguapkan beban kehidupan.
"Loe pinter ngitung kan? Duit sejuta sekarang, nilainya cuma sekitar 200 ribu pas anak gue mau kuliah..."
"Ya itu kalau rata-rata inflasi 7% per tahun. Kalau lebih dari 10% ya cuma sekitar 130 ribu lah..." Jawabku mengoreksi, seperti biasanya.
Dia hanya membalas dengan tonjokan di pundakku.
"Ngeri ya? Gue sanggup gak ya?" Katanya dengan sorot mata menembus dinding kamarnya. Seolah-olah bertanya pada calon suaminya yang ada di sebelah ruangan. "Loe tahu sendiri kan, gue selalu ambruk di awal bulan."
"Ambruk?" Tanyaku dengan nada serius.
"Gaji 2 koma... tanggal 2 udah koma! Ah, kampret loe pura-pura bloon..."
Lalu kami tertawa bersama-sama, sampai tantenya membuka pintu kamar dan menyuruh kami untuk diam.

Hingga di resepsi pernikahan, aku melihatnya dari kejauhan. Dia dan suaminya tersenyum dan tertawa saat menjabat tangan dan berpelukan dengan para tamu undangan. Tapi aku juga melihat sedikit keresahan di matanya, saat beberapa tamu undangan membawa anaknya untuk bersalaman dengan sang raja dan ratu semalam.

Saat aku baru menjejakkan kaki di anak tangga pelaminan untuk memberinya ucapan selamat menempuh hidup baru, dia langsung berteriak kepadaku, "Victooorrrr... gue nikah juga sama om-om! Hahahaha..." Dan aku merasa, saat itu juga, semua mata tertuju ke arahnya. Lalu ke arahku. Yang membuatku kemudian berpikir untuk mengganti namaku yang sudah dirusak olehnya dan langsung lari dari tempat itu.

********/*******

Epilog:

Saya kira hampir semua Ibu di muka bumi pernah mempunyai pengalaman yang sama. Perasaan bimbang saat menerima pinangan laki-laki yang akan bertanggung jawab atas masa depan anak-anaknya. Tentang ketakutannya menghadapi masa depan. Kerisauannya ketika tidak mempunyai gambaran bagaimana menghadapi anak-anaknya. Bayangan ngeri tentang rasanya melahirkan. Sampai dengan kebingungan; menebak-nebak sampai di mana batas kekuatannya saat harus berkorban karena perasaan sayang, yang kadang melebihi rasa sayang pada nyawanya, yang sering tidak direspon seperti harapannya; tetapi tetap kembali melakukannya dan terus memberikan cintanya, karena ia memberikan cintanya tanpa syarat dan tidak pernah menginginkan imbalan apa-apa.

Ibu hanya menerima. Cinta kasihnya bersifat "apa pun" dan "walaupun", bukan cinta "karena" atau "sebab". Cinta seorang Ibu adalah paket yang berisi ketabahan, keringat, ketegaran, air mata dan hati yang berdedikasi untuk mereka yang dicintainya. Untuk keluarganya. Cintanya tak pernah lagi untuk dirinya sendiri...

Yogyakarta, 22/12/2014 (11:32 PM)
Untuk: Mamak
dan semua perempuan di bumi. Spesial buat kamu yang jadi inspirasi tokoh utama cerita ini ;)