Friday, March 18, 2011

Setia Pada Pilihan

Menjalani hidup ini sebenarnya sesederhana kita memilih setiap pilihan yang ada. Karena hidup hanya seperti mengisi jawaban atas pertanyaan model “pilihan ganda”. Hidupmu hari ini, ditentukan oleh pilihanmu di hari kemarin. Begitu juga masa depanmu, ditentukan oleh apa-apa saja yang kau pilih hari ini.

Pernahkah kita menghitung berapa kali kita memilih dari mulai pagi hari, hingga kita terlelap lagi? Apakah kita akan marah atau diam saat air mati sehingga tidak bisa mandi? Apakah kita akan sarapan nasi atau roti saat harus buru-buru pergi? Apakah kita akan memaki atau langsung mencari taksi saat mobil mogok di jalan? Apakah kita akan berbohong atau berkata jujur saat ditanya atasan tentang pekerjaan? Apakah kita akan makan siang bersama teman atau tetap bekerja saat jam makan siang? Dan seterusnya.... Kita bisa tahu bahwa jika ingin menjalani hidup ini, kita harus memilih. Memilih dari sekian banyak pilihan. Saya pribadi gak sependapat dengan alasan: “aku gak punya pilihan lagi...!”

Atau jangan-jangan kita hanya takut untuk memilih karena tidak ingin menerima setiap konsekuensi dari pilihan yang kita pilih. Kita takut untuk memilih karena tidak mau menerima resiko atas pilihan yang kita ambil. Tapi memilih atau tidak memilih... pada akhirnya kita harus tetap memilih, bukan?

Atau kita termasuk orang yang punya prinsip hidup “terserah”? Orang yang punya prinsip hidup “terserah” bisa digolongkan menjadi dua tipe: tidak mau dibilang egois atau hanya ingin menyalahkan pada tiap keputusan yang diambil orang lain. Tetapi saya lebih sering bertemu dengan tipe kedua: orang yang hanya bisa menyalahkan pilihan yang diputuskan di luar kehendak dirinya. Contohnya: ketika ditanya mau rekreasi ke mana, orang tipe ini akan menjawab “Terserah”. Tapi begitu tempat tujuannya tidak sesuai harapannya, dia lalu berkata: “Ah, jelek. Kamu gak pinter milih tempat jalan-jalan yang bagus.” Atau ketika ditanya ingin makan apa, orang tipe ini juga menjawab “Terserah”. Tapi begitu masakan di restoran yang dituju gak sesuai seleranya, dia lalu berkata: “Ah, gak enak. Kamu kok bisa sih suka makanan yang rasanya sama semua gini?”

Jadi, jangan menjadi orang “terserah”. Milikilah sikap. Tentukan pilihanmu. Ingin A, katakan A. Ingin B, jawab B. Keputusan itu ada di tanganmu. Bukan di tangan orang lain. Kamu yang menjalani hidupmu, bukan orang-orang di sekitarmu.

Meskipun sikap nekat itu kadang dibutuhkan, tetapi sikap itu jangan lalu diterapkan pada setiap situasi atau keadaan. Pikirkan efek jangka panjangnya. Karena dibalik setiap keputusan, setelah kita memilih untuk melangkah ke depan, pasti ada konsekuensi yang harus dijalani dan dilakukan. Beberapa contohnya yang mungkin sering kita dengar:

  • "Aduh, gue capek jadi artis. Ke mana-mana jadi dikenal orang sama diikuti wartawan." Pertanyaan saya: kenapa memilih jalan hidup menjadi selebritis?
  • Heran deh. Tiap saya ngetwit, tiap saya keluarin kebijakan, pasti langsung dapat reaksi macam-macam." Pertanyaan saya: kenapa memilih jalan hidup menjadi menteri (komunikasi)?
  • Kok aku gak punya teman ya? Kok aku dijauhi kawan-kawan ya? Kok aku suka ditipu ya?" Pertanyaan saya: kenapa memilih jalan hidup menjadi orang baik dan jujur?
  • "Gila! Gue ternyata masuk DPO Mabes Polri. Belum lagi bandar cariin gue ke sana kemari. Hidup emang berat..." Pertanyaan saya: kenapa memilih jalan hidup menjadi pengguna narkoba?
  • Ditolak lagi, ditolak lagi. Gak diterima lagi, gak diterima lagi. Kapan dapat duit ini?" Pertanyaan saya: kenapa memilih jalan hidup menjadi penulis?
  • Udah diincar KPK, dihujat sebagian besar orang di Indonesia pula. Nasib-nasib..." Pertanyaan saya: kenapa memilih jalan hidup menjadi koruptor?
  • Buset dah! Ini detasemen 88 rajin bener yak nguber gue? Belum lagi intel mata-matai tiap gerakan gue." Pertanyaan saya: kenapa memilih jalan hidup menjadi teroris?

Dan seterusnya...

Setiap pilihan yang kita ambil memang ada resiko dan konsekuensinya. Dan seringnya kita hanya berhenti sampai memilih, tapi tidak mau menjalani konsekuensi dari pilihan itu. Atau hanya mau memilih tapi lalu menyalahkan keadaan dan situasi setelah pilihan itu dijalani. Kita hanya melihat enaknya, tanpa memikirkan pahitnya resiko dari pilihan diambil oleh kita. Bukankah ini merupakan sikap yang tidak bertanggung jawab?

  • Ibarat orang pacaran kebablasan: mau enaknya, gak mau anaknya. Cuma berani melakukan hubungan badan, tapi gak mau terima resiko dari perbuatan yang telah dilakukan.
  • Ibarat orang menikah: hanya mau nikmatnya, gak mau pahitnya. Cuma maunya senang-senang dengan pasangan, tapi gak mau terima keadaan susah bersama pasangan.
  • Ibarat orang bekerja: hanya mau terima gajinya, tanpa mau berusaha untuk bekerja sebaik-baiknya.

Dan seterusnya...

Bukankah sikap bertanggung jawab itu berarti mau dan berani menjalani tiap konsekuensi dari pilihan yang telah diambil? Karena bertanggung jawab itu berarti mau berjuang dan berani menerima tiap tantangan. Jadi sebaiknya, sebelum kita memilih dari tiap pilihan yang ada, kenalilah dulu diri kita. Karena cuma kita yang paling tahu kemampuan diri kita sebenarnya. Sampai di mana batas-batas kemampuan kita untuk menjalankan pilihan yang akan kita kerjakan. Bukannya malah menyalahkan orang lain atau hanya pasrah menerima keadaan.

Pasrah dan berserah itu beda. Pasrah itu hanya diam saja, tidak berbuat apa-apa. Berserah itu melakukan yang kita bisa, dan menyerahkan sisanya pada Yang Kuasa. Ada pepatah: “ora et labora”, berdoa dan bekerja. Jadi kita harus melakukan dua-duanya. Hanya berdoa tanpa bekerja itu tidak berguna. Cuma bekerja tanpa berdoa itu sia-sia. Jadi sebaiknya yang kita lakukan adalah mendoakan yang akan kita kerjakan. Lalu kerjakan yang telah kita doakan.

Jika kita tidak melakukan hal tersebut, berdoa dan bekerja, mengapa kita lalu menyalahkan Tuhan jika kemudian hidup kita hancur karena pilihan-pilihan yang diambil (salah memilih sekolah, pekerjaan, pacar, istri/suami, dsb.)? Padahal pada waktu memilih jalan hidup (saat akan sekolah, bekerja, pacaran, menikah, dsb.) kita tidak pernah meminta petunjuk-NYA.

Oleh karena itu, selalu berkomunikasilah pada Tuhan saat akan menentukan pilihanmu. Lalu jangan mengeluhkan konsekuensi dari jalan hidup yang sudah dipilih. Karena sebenarnya, semua pilihan dalam hidup ini selalu ada konsekuensi dan resikonya.

********/*******


Refleksi saya setelah menuliskan itu semua: kebanyakan orang kristen hanya berhenti sampai memilih Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Tapi tidak mau menerima tiap resiko dan konsekuensi saat menjadi murid Yesus; yakni ditolak, ditindas, disakiti, dianiaya, dan lain sebagainya.

Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat. Bersukacitalah pada waktu itu dan bergembiralah, sebab sesungguhnya, upahmu besar di sorga; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan para nabi.” (Lukas 6:22-23)

Setialah pada pilihan yang telah kamu ambil. Setia berarti mau menjalani tiap konsekuensi dan resiko pilihan yang telah diambil, dengan tekun, hingga sampai pada kesudahannya.

“...Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:20)

~memilih atau tidak memilih, saat hidup, sesungguhnya kita selalu menghadapi pilihan~

Tuesday, March 1, 2011

Pekerjaan Terberat

Pernahkah engkau melihat orang yang cakap dalam pekerjaannya? Di hadapan raja-raja ia akan berdiri, bukan di hadapan orang-orang yang hina. [Amsal 22:29]

Coba pikirkan sejenak... apa pekerjaan terberat di dunia?

Tukang batu? Yang bangun mendahului matahari dan pulang setelah matahari terbenam. Yang sepanjang hari disiram panas matahari atau dinginnya hujan, sambil memecah batuan. Hanya demi upah untuk makan sehari. Itukah yang terberat?

Atau...

Tukang sol sepatu? Yang tiap hari mengayuh sepedanya puluhan kilometer, berteriak-teriak hingga suara serak, dan tidak mesti mendapat uang tiap hari. Itukah yang terberat?

Atau...

Petani penggarap sawah? Yang sehari-hari bekerja di tanah milik orang lain, mendapat upah yang selalu kurang, dan selalu sedih jika kemarau panjang datang. Itukah yang terberat?


Tapi jika pekerjaan-pekerjaan itu berat, mengapa masih ada yang berminat? Dengan uang yang dihasilkan sangat minim, tetapi mereka tetap melakukannya setiap hari.


Well, saya kira itu semua dilakukan oleh mereka sesuai dengan kemauan hati dan juga bakat serta kemampuan.

Karena sebenarnya, pekerjaan terberat di dunia adalah pekerjaan yang tidak dikerjakan berdasarkan minat dan kemauan sepenuh hati. Pekerjaan yang dilakukan karena terpaksa. Sehingga tidak ada kerelaan untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya.

Jadi, pekerjaan paling ringan di dunia adalah pekerjaan yang dilakukan dengan niat sepenuh hati, berdasarkan minat dan kemampuan. Sehingga usaha terbaiklah yang akan diberikan. Tidak pernah merasa dibebani olehnya, karena pekerjaan itu dilakukan dengan dasar cinta.

Tapi, sebagaimana rasa cinta pada umumnya, pasti suatu saat akan timbul rasa bosan juga. Oleh karenanya lihatlah sisi lain dari sebuah pekerjaan yang kita cintai itu.

Misal, saat bosan menjadi nelayan, cobalah sesekali melaut hanya untuk menikmati lautan. Atau sekedar memancing ikan untuk kepuasan. Atau menyelam ke dasar lautan.
Saat bosan dengan pekerjaan di kantor, cobalah sesekali menikmati pemandangan lewat jendela ruangan. Atau bercanda dengan rekan. Atau merapikan dan menyapu ruangan. Atau ke pantri membuat kopi. Dan seterusnya, dan sebagainya.

Dan jika tidak ada sisi yang menyenangkan dari pekerjaan kita lakukan, buat apa lagi kita masih bersusah payah bertahan? Hanya akan menimbulkan beban, bukan? Kemudian yang kita kerjakan menjadi tidak maksimal, dan akhirnya mendapat teguran dari atasan. Sesudah semuanya itu terjadi, bisa jadi kita berteriak di dalam hati, "Pekerjaanku berat banget!"

Selamat bekerja!


"You know you are an adult when you can say 'no' when offered a job you know nothing about." [Platoy]