Tuesday, July 22, 2014

Di Antara (bagian 2)

Kata para pria yang sudah menikah, berkeluarga itu seperti menukar mobil McLaren F1 dengan mobil Nissan Serena. Menukar kendaraan single seater yang memiliki kemampuan berlari hingga 300 km/jam, dengan mobil yang mempunyai banyak kursi dan hanya bisa berlari maksimal 120 km/jam. Tidak lagi bisa memutuskan sendiri ke mana hendak pergi, tidak bisa lagi berhenti sesuka hati. Tapi perbedaan yang paling signifikan adalah supirnya tidak lagi sendirian. Malah bisa gantian ketika sedang berada dalam perjalanan. Dan hal yang paling menyenangkan adalah selalu mempunyai teman saat bepergian. "Life is better with company," kata mereka demikian.

Kata para pria yang belum menikah, berkeluarga itu seperti kehidupan setelah kematian. Karena para pria ini menyadari bahwa jatuh cinta itu seperti menerima hukuman mati: kalau gak ditembak, ya digantung. Para pria ini sering berpikir, "What next?" tetapi selalu takut untuk melangkah ke tahap selanjutnya. Karena memang nalurinya mengatakan: kematian itu menyeramkan. Para pria ini sering terkungkung dalam ketakutannya tentang kehidupan setelah kematian (pernikahan) : (harus) membayar upacara pernikahan berikut resepsinya, (harus) membeli rumah, (harus) tinggal bersama dalam satu atap, (harus) menyiapkan biaya untuk persalinan istrinya, (harus) menabung untuk anaknya, (harus) menghabiskan waktunya... sebagian besar hidupnya... dengan keluarganya... lalu anak-anaknya mulai kuliah, meninggalkannya, hidup menua... dan mungkin sendirian lagi seperti sedia kala. Semuanya bisa diterka. Sama saja, hidupnya tetap mengarah kepada kematiannya. Sendiri atau mempunyai keluarga. "Jadi untuk apa?" kata mereka pada akhirnya.

Saya sedang berada di antaranya.

********/*******

Pada awalnya saya mulai menuliskan ini semua untuk beberapa teman baik saya yang akan dan baru saja menikah. Dan sebagai teman yang baik, saya ingin menuliskan beberapa kalimat sebagai hadiah untuk pernikahan mereka (ceritanya penulis gitu :p). Tapi saya belum menikah. Saya juga baru saja disadarkan bahwa hidup seorang diri itu tidak lagi sebuah kemewahan. Jadi inilah yang bisa saya tuliskan sekarang :

Bertemu seseorang yang mau untuk hidup bersama denganmu (sepanjang sisa hidupmu) adalah sebuah anugerah, sebuah hadiah. Manusia menerjemahkan hadiah ini sebagai Cinta. Tapi sebelum pertemuan ini, Cinta hanya sebuah kata yang tanpa arti. Pertemuan dua manusia yang saling berkomitmen untuk selalu bersamalah yang membuat Cinta mempunyai arti.

Hidup ini sangat singkat. Baik hidup sendiri maupun berpasangan, semuanya memang mengarah pada kematian. Tetapi apakah hidup hanyalah waktu yang berjalan tanpa makna dan tujuan? Oleh karenanya manusia butuh untuk mencintai, sama seperti kebutuhan manusia untuk dicintai.
Cinta itu saling. Cinta itu butuh dua. Manusia mencintai karena memang mereka harus melakukannya untuk tetap hidup. Sama seperti manusia harus bernafas, harus makan, harus minum dan harus beristirahat. Cinta jugalah yang membuat hidup bermakna dan mempunyai tujuan. Semua hal di dunia ini memang sia-sia pada akhirnya. Tapi pada akhirnya tidak ada yang sia-sia karena cinta.

Oleh karena itu menikahlah karena cinta. Bukan karena sudah usianya atau tuntutan orangtua. Bukan karena undangan sudah disebarkan dan katering sudah dipesan. Juga janganlah jadikan pernikahan sebagai sebuah keharusan, sebagai konsekuensi logis atas hubungan yang sudah dijalin sekian lama. Karena jika sebuah pernikahan tidak didasarkan pada cinta, kekuatan apa lagi yang dapat tetap mempersatukan ketika semuanya terlihat tanpa arti dan sia-sia?

Dan pada akhirnya, mengutip perkataan raja Salomo: "Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya. Dan karena hanya maut yang bisa menandingi kekuatan cinta, maka hanya mautlah yang dapat memisahkan dua insan manusia yang disatukan oleh cinta."


Untuk: Jina, Andros, Rani, Dias, Fafa, Bimo, Eci.

PS. Don't stop till it's over. Don't stop to surrender.

No comments:

Post a Comment