Thursday, December 31, 2015

Tentang Agama dan Apa Yang Saya Percaya

Saya pernah membaca stiker: Yesus adalah jawabannya. Yang saya pikirkan setelahnya adalah: Apa pertanyaannya?

Pernah juga mendengar sebuah dialog: "Mengapa Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda, jika Tuhan ingin disembah dengan satu cara?" | "Makanya Tuhan menciptakan cinta..." [film 'cin(T)a']

Benarkah Tuhan hanya ingin disembah dengan satu cara? Entahlah... pencarian saya belum sampai ke sana.

Pencarian saya belum selesai... berikut apa yang saya percaya:

semua orang yang pernah melihat saya pergi ke gereja dan berdoa dengan melipat tangan lalu menutup mata, mendengarkan saya mengucapkan “Pengakuan Iman Rasuli”; atau yang berkunjung ke rumah saya dan melihat gantungan di dinding yang bertuliskan ayat-ayat Alkitab; pasti akan mengatakan kalau saya seorang Kristen. Lalu karena tanda salib yang saya kenakan tidak terdapat tubuh Yesus Kristus, mereka mengatakan kalau saya seorang Protestan.
Singkatnya, saya dikatakan sebagai seorang Kristen Protestan karena semua “aksesoris” yang melekat pada saya. Bukan pada apa yang benar-benar saya percayai, hanya pada apa yang terlihat oleh mata jasmani.

Saat kecil, saya dididik secara Kristen. Masuk sekolah Kristen. Walaupun SMP dan SMA di sekolah negeri. Tapi pada masa-masa itu, saya hanya menerima saja apa yang mereka percayai. Pada apa yang orang tua saya yakini. Pada apa yang guru agama saya ajarkan setiap hari. Pada apa yang pendeta katakan pada setiap hari Minggu pagi.

Seiring bertambahnya usia, saya mulai merasakan ada misteri yang lebih besar dari itu semua. Lebih besar dari apa yang saya percaya saat masih kanak-kanak, dari apa yang orang tua saya percaya, dari apa yang guru agama saya ajarkan tentang Tuhan dan dari apa yang pendeta katakan tentang menjadi Kristen. Ada misteri yang sangat besar, yang karena besarnya, ia tidak dapat diberi batasan oleh manusia. Batasan yang mereka sebut sebagai “Agama”.

Sebagai orang indonesia, sejak SD, bahkan TK, saya sudah tahu tentang Pancasila. Padanya terdapat lima sila. Dan tertulis pada sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Esa yang berarti satu. Inilah yang saya percayai: Tuhan itu satu. Oleh karenanya saya masih janggal jika mendengar kata-kata atau kalimat, “Tuhanku hebat” atau “Tuhanmu itu tak berkuasa” bahkan ada anggota Pemuda Pancasila yang berkata, “Sumpah demi Tuhanmu?”, yang seakan-akan dia memiliki Tuhan yang eksklusif. Tuhan yang hanya dia miliki seorang sendiri.

Saat duduk di bangku SMP, saya belajar kalau agama itu berarti tidak kacau (A berarti “tidak” dan GAMA berarti “kacau”). Jadi agama dibuat oleh manusia agar kehidupan tidak kacau.

Pada awal peradaban manusia, Tuhan itu tidak bernama. Pada jaman purba, ketika manusia masih hidup nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan bumi dipandang sebagai “ibu” karena mencukupi segala yang mereka butuhkan untuk hidup: air dan makanan, mereka belum mengenal apa itu “tuhan”. Hingga setelah manusia mulai berkoloni dalam jumlah besar, menetap, bercocok tanam dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, manusia mulai menyadari ada sosok yang lebih besar dari mereka, bahkan dari bumi yang mereka anggap sebagai “ibu”. Ada tangan yang tak terlihat mengatur kapan hujan turun, kapan matahari terbit, kapan tumbuh-tumbuhan mulai bertunas, kapan manusia mati, kapan manusia lahir dan sebagainya. Di periode inilah Sosok itu mulai bernama. Mereka mulai memanggil-Nya dengan bermacam-macam nama: YHWH, Yehova, Allah, Tuhan, God… karena nama-Nya bergantung pada bahasa yang mereka ucapkan. Mulai dari sinilah agama itu lahir, sebagai ritual untuk menyeragamkan cara untuk menyembah dan memuji Sosok yang mereka yakini lebih berkuasa dari semua makhluk di atas bumi.

Mengetahui sejarah lahirnya sebuah agama, saya mulai bertanya-tanya “Lalu mengapa saat ini agama menjadi biang keladi banyak kekacauan di dunia?

Jawabannya saya temukan beberapa saat yang lalu. Dan saya kemudian teringat pada sebuah buku yang pernah saya baca untuk menjelaskannya.

“Bahaya yang paling rawan dalam pencarian spiritual adalah para guru, suhu, fundamentalisme, yang aku sebut sebelumnya sebagai globalisasi spiritualitas. Kalau ada orang yang datang dan memberitahumu: Tuhan itu begini, begitu, Tuhanku lebih perkasa dari Tuhanmu. Itulah awal dimulainya perang. Satu-satunya jalan untuk lolos dari semua itu adalah memahami bahwa pencarian spiritual adalah tanggung jawab pribadi yang tidak bisa dialihkan atau dipercayakan pada orang lain … Kesalahan pada agama adalah adanya pemaksaan pada dogma-dogma ajaran mereka, melalui rasa takut akan hukuman abadi. Itu sebabnya aku menyerah dalam hal agama dan menjadi ateis. Aku tidak bilang bahwa Katolikisme itu lebih baik atau lebih buruk dari agama-agama lainnya, tapi ini ada dalam akar kulturalku, dalam darahku. Buatku ini pilihan bebas dan pribadi. Aku bisa saja memilih Islam atau Buddhisme, atau tak memilih apa-apa. Tapi aku membutuhkan lebih dari sekadar ateisme dalam hidupku dan aku memilih Katolikisme sebagai cara untuk menyatu dengan misteri bersama orang-orang lain yang percaya seperti aku.” (Paulo Coelho)

Itulah yang saya yakini sebagai agama. Sebuah ritual. Sebuah cara untuk mendekatkan diri pada misteri yang lebih besar dari dunia ini. Untuk mengenal lebih dekat lagi pada Sosok yang mengatur hal-hal detil di alam semesta ini: bagaimana darah dalam tubuh bisa mengalir, jantung berdenyut setiap sekian detik, paru-paru secara otomatis bekerja menyerap oksigen, dan… itu baru sedikit mengenai manusia! Bumi yang maha luas ini berisi milyaran makhluk hidup selain manusia. Itu semua diatur oleh Sosok yang begitu misterius, hingga manusia terlihat begitu kecil dibandingkan-Nya.

Hanya sedikit orang yang tahu kalau saya sebenarnya bukan seorang Kristen. Tetapi sedang belajar menjadi Kristen.

Tapi banyak orang dengan sombongnya berkata bahwa agamanya yang terhebat dan paling benar. Hingga kekacauan ditimbulkan oleh mereka. Karena sebenarnya mereka lupa kalau agama hanyalah sebuah sarana, ciptaan manusia, buah pemikiran para pendahulunya. Bukan pusat dari seluruh alam semesta. Dan agama bukanlah Tuhan. Karena Tuhan terlalu sederhana jika hanya dibatasi oleh dogma-dogma atau ajaran dalam sebuah agama.

Inilah yang salah tentang manusia dalam memahami apa itu agama.

Misalkan tentang seseorang yang duduk merenung, lalu bergumam: “Tuhan, agamamu apa?”. Karena buat saya itu terdengar anak kecil yang sedang duduk di dekat ayahnya dan berkata padanya, “Ayah, rupamu seperti apa?”. Kecuali kalau memang anak kecil itu menderita kebutaan pada sepasang matanya.

Atau tentang guru agama yang berkata kalau neraka dan sorga itu begini dan begitu. Saya menyangsikannya. Karena saya berpikir, “Apa ia pernah mati? Sehingga bisa dengan detil menjelaskan bagaimana sorga dan neraka”. (Karena yang saya yakini adalah, sorga itu adalah euforia masing-masing manusia tentang kebahagiaan. Dan neraka itu adalah ketakutan terbesar masing-masing manusia tentang kehidupan. Tapi ini hanyalah apa yang saya yakini. Bukan apa yang harus Anda percayai.)

Juga mengenai ahli agama yang mengatakan manusia harus melakukan ini dan itu agar bisa masuk sorga, dan jauh dari neraka. Saya hanya membatin, “Apakah ia yang membuat aturan mengenai cara mendapatkan tiket masuk ke sorga? Lalu jika tidak mendapat tiket itu otomatis manusia ke neraka? Bagaimana ia begitu yakin kalau ia sudah memegang tiket ke surga, bukannya ke neraka?

Statue of Murugan, a Hindu deity, is located outside Batu Caves, Malaysia.


Ada kalimat yang terlintas di pikiran saya, ”Jangan belajar tentang Tuhan. Tapi belajarlah dari Tuhan.

Ada manusia yang seumur hidupnya memelajari ilmu Kimia, Fisika, kesehatan manusia, panas matahari dan pergerakan bumi. Ada juga yang menghabiskan hidupnya untuk meneliti kehidupan mamalia dan hewan-hewan di seluruh dunia. Juga masih banyak disiplin ilmu lainnya yang tidak cukup untuk dipelajari oleh satu generasi. Jadi apa yang membuatmu berpikir kalau kamu bisa memelajari, meneliti, mencari tahu, apalagi menyimpulkan tentang siapa DIA, yang menciptakan seluruh alam semesta beserta semua kompleksitasnya?
Bukankah untuk hal ini, yang bisa kita lakukan hanyalah memercayai? Bukan berdebat atau mendiskusikan hal ini. Karena pikiran manusia memang terlalu dangkal untuk menyelami-Nya.

Di kehidupan sehari-hari, saya memang berpikir secara Kristen. Karena inilah cara saya untuk memahami misteri kehidupan dan bagaimana saya melakukan ritual untuk mendekatkan diri pada Sosok yang mengatur semua yang ada di alam semesta. Mungkin seperti seorang profesor matematika yang selalu melakukan pendekatan secara matematis pada hal-hal sederhana dalam hidupnya.

Hingga pada akhirnya: apa yang sekarang Anda yakini? Simpanlah itu untuk diri Anda sendiri.

Jangan telan mentah-mentah apa kata mereka, yang juga sesama manusia. Memang ada saatnya, ada manusia yang akan mengatakan “Kebenaran Itu” pada Anda. Karena Kebenaran memang tidak pernah disembunyikan. Dan Kebenaran memang tidak bisa disembunyikan. Bukankah tidak ada orang yang menyalakan lilin lalu disembuyikan dalam kegelapan? Karena gelap akan langsung sirna, sekecil apa pun terang yang ada di dalamnya.

Sekali lagi, inilah yang saya yakini sampai saat ini. Dan saya telah memilih cara saya sendiri, untuk memahami misteri kehidupan ini. Lakukan cara Anda sendiri.

Jika ada seseorang berkata, ‘Ini benar dan yang lainnya salah’, sesungguhnya dia sedang bermasalah dan mencari masalah.” (Ajahn Brahm)

Dalam ilmu hitam, apa yang kau perbuat adalah mencoba mencampuri takdir hidup orang lain. Sekalipun kau melakukannya di gereja Katolik. Dalam ilmu putih, kau tidak pernah mencoba memengaruhi jalan hidup orang lain.” (Paulo Coelho)

No comments:

Post a Comment