Saturday, April 3, 2010

Saat Arsene Wenger Mengganti Bacary Sagna

Pertandingan Liga Champions musim ini sudah berjalan hingga leg 1 babak perempat final. Hasilnya tidak meleset dari beberapa prediksi majalah olahraga. Lyon bisa mengatasi Bordeaux, Bayern Munich bisa mengalahkan Manchester United, Inter Milan bisa menaklukkan CSKA Moskow, dan Arsenal bisa mengimbangi permainan Barcelona.

Buat saya, Arsenal menang atas Barcelona semalam. Dengan ball possesion 69-31 untuk keunggulan Barca, Arsenal akhirnya bisa menyamakan kedudukan 2-2, setelah tertinggal 2 gol terlebih dahulu. Sungguh malam yang luar biasa. Saya masih belum bisa melupakannya.

Saya juga belajar sesuatu dari pertandingan itu. Semalam saat saya melihat, apa yang bisa dilakukan oleh seorang Theo Walcott, saat dimasukkan sebagai pemain pengganti untuk Bacary Sagna, saya teringat tulisan salah seorang warga ngerumpi.

Jujur saja, saya mengumpat saat melihat Walcott dimasukkan oleh Arsene Wenger. Saya berpikir, apa sih maunya Wenger? Udah tau diserang terus, kok malah ganti bek dengan pemain sayap?
Tapi pertanyaan saya terjawab tidak lama kemudian. Saat Walcott, sprinter tercepat di timnas Inggris itu, menggiring bola dari tengah lapangan dan memaksa Valdes memungut bola dari gawangnya. Theo Walcott, pemain pengganti itu, membuat gol untuk Arsenal, hingga akhirnya Arsenal kembali bangkit dan bisa mencetak gol di menit-menit akhir pertandingan. Sungguh akhir pertandingan yang luar biasa! Tapi saya tidak mempercayainya dari semula.

Sering juga kan, kita memprotes kebijakan pemerintah, presiden, saat mengganti kabinetnya? Saat presiden membuat keputusan. Saat MPR/DPR memutuskan undang-undang. Bahkan tidak jarang, banyak orang berdemo karenanya. Tapi apakah kita benar-benar mengerti, maksud dari pemimpin-pemimpin kita melakukannya?

Jika saya tahu maksud Wenger dari awal, saat mengganti Sagna dengan Walcott, saya pasti tidak akan mengumpat dan mempertanyakannya. Kenyataannya, dia (Wenger) lebih mengerti kondisi pemain dan situasi di lapangan.

Saat Diaby gagal menguasai bola. Saat Messi gagal mengkonversi peluang menjadi gol. Saat Fabregas gagal mengeksekusi tandangan bebas. Saat Ibrahimovic menendang bola melenceng dari gawang. Saat Xavi gagal memblok bola dari kaki Nasri. Apa yang penonton lakukan?

Mengoloknya.
"Gitu aja gak bisa?!"
Menuduhnya.
"Bisa maen bola gak sih?"
Dan lain sebagainya.

Tapi coba dipikir lagi. Dalam situasi dan kondisi yang sama, apakah kita bisa melakukannya, dengan lebih baik, dibanding mereka? Jika toh bisa, kata diri kita, mengapa kita tidak bisa masuk dalam tim yang kita bela? Pastinya, orang yang masuk tim, adalah mereka yang terbaik bukan? Atau, mereka yang dengan usahanya, dan dengan keberuntungannya, akhirnya bisa masuk tim dan menjalankan pertandingannya.

Begitu juga dengan kinerja orang-orang di atas sana, para pemimpin kita.

Apakah dengan berdemo, itu berarti kita bisa lebih baik dari mereka? Apakah dengan kita berkata, "memberantas korupsi aja nggak bisa?", itu artinya kita bisa melakukannya?

Banyak hal yang terjadi di luar kendali kita. Di luar sepengetahuan kita. Perjanjian politik misalnya. Istilah kerennya, aturan partai koalisi. Apakah kita tahu apa yang menjadi kesepakatan politik di Senayan sana?

Misalkan, seluruh mahasiswa yang berdemo untuk menurunkan presiden, wakilnya, dan menteri-menterinya, kemudian digilir untuk menjabat sebagai presiden, wakil presiden, dan staf menteri serta pejabat negeri ini, dalam 100 hari. Apakah yakin hasilnya akan lebih baik dari sebelumnya? Atau, demonstrasi hanya politik kepentingan semata? Agar sang orator dilirik oleh "pencari bakat" politikus, dan diberikan kedudukan di pemerintahan Indonesia? (teringat salah satu teman Soe Hok Gie).

Bukankah semua pejabat pemerintah, anggota dewan, dan pejabat aparatur negara, dulunya juga mahasiswa? Kemanakah semangat idealisme mereka? Mungkin juga, ada beberapa dari mereka, yang dulunya menjadi korlap saat peristiwa reformasi 1998. Kemanakah mereka semua?

Oleh karenanya, mulailah semua dari diri sendiri. Tetaplah percaya kepada pemimpin-pemimpin kita, walaupun sulit untuk percaya pada mereka. Betapa pun sukarnya untuk mengikuti aturan mereka. Biar bagaimanapun, merekalah yang sekarang menjadi pemimpin negara kita.

Kalau tidak bisa terima, lakukanlah dengan cara yang anggun dan berkelas. Misalnya dengan berusaha untuk menjadi presiden masa depan. Kemudian, kita bisa terapkan aturan-aturan yang kita impikan untuk negara kita. Dan kita akhirnya tahu, bagaimana susahnya menjadi presiden, anggota dewan, atau pejabat pemerintahan, dalam mengatur negara di bawah tekanan rakyatnya atau lawan politiknya.

Lebih tinggi mana sih kedudukannya? Hukum (undang-undang) atau politik (anggota dewan/partai)? Bukankah lebih tinggi kedudukan politik, bukan? Karena siapakah yang membuat hukum? Bukankah anggota dewan/partai yang menyusun undang-undang? Jadi, kita tahu sebabnya, mengapa ada undang-undang atau peraturan yang menaikkan gaji menteri dan anggota dewan? Ya karena mereka sendiri yang memutuskan. Itu kenapa orang lebih memilih menjadi politikus, daripada pejabat hukum atau pejabat yang lain.

Kalau mau diteruskan, hal ini gak ada habisnya. Sama seperti semalam, saat memperdebatkan, lebih baik mana memasukkan Diaby atau Rosicky, atau mengapa Ibrahimovic diganti Thierry Henry.

Semoga kita bisa menjadi supporter bola yang lebih baik, dan warga negara yang lebih bijak.

Seperti kata pepatah, "hate the game! Don't hate the player."

No comments:

Post a Comment