Tuesday, May 5, 2020

Jembatan Zaman


"Masa muda dalam usia di mana manusia mencari pola-pola kepribadiannya, akan selalu mewarnai kehidupan manusia ... Dunia ini akan terus terbawa sampai akhir hidupnya." (Soe Hok-Gie)

Dari zaman Soe Hok-Gie sampai sekarang ini, selalu ada gap antara generasi tua dan generasi muda ketika berinteraksi. Selalu ada jarak antara orang tua dan para pemuda. Selalu ada roaming antara anak dan orangtua. Selalu ada “ruang kedap udara” di antara kelompok generasi hingga seolah-olah masalah dalam berkomunikasi wajar terjadi.

Salah satu hal yang saya ingat dari mantan kandidat target calon istri saya adalah tegurannya pada saya, setengah marah, ketika saya sering mengatakan "jangan" pada saat diberi kesempatan memberikan "sambutan" pada aktivis-aktivis baru dalam pelayanan. "Kamu bisa tahu itu gak bener kan karena kamu udah ngelakuinnya. Dari situ kamu terus belajar dari kesalahan, kan? Lha mereka? Kasih dong mereka kesempatan buat kesalahan, biar bisa belajar juga! Jangan apa-apa bilang 'Itu salah!', 'Jangan bikin gitu karena gini....', 'Udah gak usah coba-coba, gini benernya!', ya gimana mereka bisa belajar? Jelaslah banyak orang bilang kamu otoriter, gak kasih ruang buat kesalahan."

Orang tua berkata, "Saya pernah menjadi (anak) muda, jadi tahu seperti apa (pikiran) mereka." Tapi juga dalam idealisme kemudaannya, generasi yang lebih muda berpikir kalau zaman itu berubah, "Iya, mereka pun pernah muda, tapi kan zamannya udah berbeda."

Sebenarnya ada kelebihan dari masing-masing generasi. Generasi yang lebih tua punya pengalaman; karena meskipun zaman selalu berubah, tapi ada beberapa hal yang tidak pernah berubah. Dan generasi yang lebih muda punya visi dan kemampuan yang lebih baik untuk beradaptasi, sehingga bisa membuat roda zaman terus berputar dan membawa dunia menjadi lebih lebih baik. Oleh karena itu, yang sebaiknya dilakukan oleh masing-masing generasi adalah menghindari sikap arogan dan mau menang sendiri. Caranya? Generasi muda bisa mulai mendokumentasikan dirinya sendiri, menulis sejak dini, mengarsipkan setiap tahap perjalanan hidup, pemikiran, dan apa-apa saja yang dilakukan di dalam sebuah catatan, yang pastinya akan berguna saat tua nanti. Generasi yang lebih tua juga bisa mulai lebih terbuka, mungkin dengan membuka dokumentasi dirinya dengan berkata apa adanya, bagaimana perjalanan hidup saat masa mudanya.

Di sebuah adegan film "Shawshank Redemption", saat seorang narapidana tua melakukan sesi wawancara perihal pembebasan bersyaratnya, dia berkata: "Aku menyesali perbuatanku? Tak sehari pun dalam hidupku aku tak menyesalinya, tapi bukan karena aku di sini atau menurutmu itu sudah sepantasnya. Jika kukenang seperti apa diriku dulu ... muda ... yang masih bodoh ... melakukan kejahatan besar ... aku ingin bicara dengannya. Aku ingin menyadarkan dirinya. Memberitahunya bagaimana kehidupan itu. Tapi aku tak bisa. Anak itu sudah lama pergi ... dan yang tersisa hanya pria tua renta ini. Aku harus menghadapinya."

Atau di awal video klip Hindia "Secukupnya", seorang anak muda melakukan monolog di depan kamera: "Gue dilahirkan dari keluarga yang cukup memaksa gue untuk menjadi dewasa duluan. Dan dari kecil gue selalu beranggapan bahwa itu semua adalah salah bokap gue. Di tahun ke-10 bokap gue kanker, ada satu insiden yang mengharuskan gue ngobrol sama dia. Di situ dia cerita, cerita dari dari sisi dia dan pada saat dia nangis, gue baru sadar bahwa bokap gue pun manusia yang bisa buat salah. Dua bulan kemudian, di rumah sakit, dia bilang ke gue, di atas kasur, 'Valen, kamera papi ya.' Dan gue jawab, 'Tenang, Pi. Valen kok yang pake.'" (Tanpa rangkaian kejadian tersebut, saya tidak mungkin mulai menekuni videografi)

********/*******


Mereka, generasi tua, sebenarnya hanya ingin yang terbaik bagi hidup kita sebagai anak muda, hanya saja seringkali tidak tahu cara yang benar untuk mengatakannya. Mereka, orangtua kita, sesungguhnya hanya ingin memberi petuah hidup yang bijaksana pada anaknya, karena mereka mengenal siapa anaknya dan tidak ingin anaknya mengulangi kesalahan yang sama. Juga generasi muda, sebenarnya juga ingin bebas melakukan kesalahan yang sebanyak-banyaknya agar tahu yang benar itu gimana, hanya saja seringkali dianggap ke luar batas oleh generasi tua. Anak-anak muda, juga sesungguhnya ingin visinya dihargai oleh orangtuanya, karena mereka merasa juga kenal dirinya dan tahu kemampuannya, dan tidak ingin orangtuanya terlalu khawatir pada masa depannya.

Oleh karenanya dibutuhkan "Jembatan Zaman" yang dibangun dari pengalaman generasi tua dan idealisme generasi muda. Jembatan zaman yang menghubungkan dua generasi, yang bisa menyatukan pemikiran generasi tua dengan aksi generasi muda. Selanjutnya, cukuplah berjalan di jembatan itu agar sebagai generasi tua, tidak perlu bersusah payah menyeberangi sungai zaman yang terbentang luas di bawahnya. Juga agar generasi yang lebih muda, tidak perlu sampai hilang di dalam arus sungai zaman yang mengalir deras seperti siap menenggelamkan siapa saja.

Sebab menjadi generasi muda dan generasi tua adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah masa hidup yang harus dilalui.

Bukan dengan kesombongan diri, melainkan dengan kerendahan hati.

No comments:

Post a Comment