"Masa muda
dalam usia di mana manusia mencari pola-pola kepribadiannya, akan selalu
mewarnai kehidupan manusia ... Dunia ini akan terus terbawa sampai akhir
hidupnya." (Soe Hok-Gie)
Dari zaman Soe Hok-Gie sampai sekarang ini, selalu
ada gap antara generasi tua dan
generasi muda ketika berinteraksi. Selalu ada jarak antara orang tua dan para
pemuda. Selalu ada roaming antara
anak dan orangtua. Selalu ada “ruang kedap udara” di antara kelompok generasi
hingga seolah-olah masalah dalam berkomunikasi wajar terjadi.
Salah satu hal yang saya ingat dari mantan kandidat
target calon istri saya adalah tegurannya pada saya, setengah marah, ketika
saya sering mengatakan "jangan" pada saat diberi kesempatan
memberikan "sambutan" pada aktivis-aktivis baru dalam pelayanan.
"Kamu bisa tahu itu gak bener kan
karena kamu udah ngelakuinnya. Dari situ kamu terus belajar dari kesalahan,
kan? Lha mereka? Kasih dong mereka
kesempatan buat kesalahan, biar bisa belajar juga! Jangan apa-apa bilang
'Itu salah!', 'Jangan bikin gitu karena gini....', 'Udah gak usah coba-coba,
gini benernya!', ya gimana mereka bisa belajar? Jelaslah banyak orang bilang
kamu otoriter, gak kasih ruang buat kesalahan."
Orang tua berkata, "Saya pernah menjadi (anak) muda, jadi tahu seperti apa (pikiran)
mereka." Tapi juga dalam idealisme kemudaannya, generasi yang lebih
muda berpikir kalau zaman itu berubah, "Iya, mereka pun pernah muda, tapi kan zamannya udah berbeda."
Sebenarnya ada
kelebihan dari masing-masing generasi. Generasi yang lebih tua punya
pengalaman; karena meskipun zaman selalu berubah, tapi ada beberapa hal yang
tidak pernah berubah. Dan generasi yang lebih muda punya visi dan kemampuan
yang lebih baik untuk beradaptasi, sehingga bisa membuat roda zaman terus
berputar dan membawa dunia menjadi lebih lebih baik. Oleh karena itu, yang sebaiknya dilakukan oleh masing-masing
generasi adalah menghindari sikap arogan dan mau menang sendiri. Caranya?
Generasi muda bisa mulai mendokumentasikan dirinya sendiri, menulis sejak dini,
mengarsipkan setiap tahap perjalanan hidup, pemikiran, dan apa-apa saja yang
dilakukan di dalam sebuah catatan, yang pastinya akan berguna saat tua nanti.
Generasi yang lebih tua juga bisa mulai lebih terbuka, mungkin dengan membuka
dokumentasi dirinya dengan berkata apa adanya, bagaimana perjalanan hidup saat
masa mudanya.
Di sebuah adegan film "Shawshank
Redemption", saat seorang narapidana tua melakukan sesi wawancara perihal
pembebasan bersyaratnya, dia berkata: "Aku
menyesali perbuatanku? Tak sehari pun dalam hidupku aku tak menyesalinya, tapi
bukan karena aku di sini atau menurutmu itu sudah sepantasnya. Jika kukenang
seperti apa diriku dulu ... muda ... yang masih bodoh ... melakukan kejahatan
besar ... aku ingin bicara dengannya. Aku
ingin menyadarkan dirinya. Memberitahunya bagaimana kehidupan itu. Tapi aku
tak bisa. Anak itu sudah lama pergi ... dan yang tersisa hanya pria tua renta
ini. Aku harus menghadapinya."
Atau di awal video klip Hindia
"Secukupnya", seorang anak muda melakukan monolog di depan kamera:
"Gue dilahirkan dari keluarga yang
cukup memaksa gue untuk menjadi dewasa duluan. Dan dari kecil gue selalu beranggapan bahwa itu semua
adalah salah bokap gue. Di tahun ke-10 bokap gue kanker, ada satu insiden yang
mengharuskan gue ngobrol sama dia. Di situ dia cerita, cerita dari dari sisi
dia dan pada saat dia nangis, gue baru
sadar bahwa bokap gue pun manusia yang bisa buat salah. Dua bulan kemudian,
di rumah sakit, dia bilang ke gue, di atas kasur, 'Valen, kamera papi ya.' Dan gue jawab, 'Tenang, Pi. Valen kok
yang pake.'" (Tanpa rangkaian kejadian tersebut, saya tidak mungkin mulai
menekuni videografi)
********/*******
Mereka, generasi tua, sebenarnya hanya ingin yang
terbaik bagi hidup kita sebagai anak muda, hanya saja seringkali tidak tahu
cara yang benar untuk mengatakannya. Mereka, orangtua kita, sesungguhnya hanya
ingin memberi petuah hidup yang bijaksana pada anaknya, karena mereka mengenal
siapa anaknya dan tidak ingin anaknya
mengulangi kesalahan yang sama. Juga generasi muda, sebenarnya juga ingin
bebas melakukan kesalahan yang sebanyak-banyaknya agar tahu yang benar itu
gimana, hanya saja seringkali dianggap ke luar batas oleh generasi tua.
Anak-anak muda, juga sesungguhnya ingin visinya dihargai oleh orangtuanya,
karena mereka merasa juga kenal dirinya dan tahu kemampuannya, dan tidak ingin orangtuanya terlalu khawatir
pada masa depannya.
Oleh karenanya dibutuhkan
"Jembatan Zaman" yang
dibangun dari pengalaman generasi tua dan idealisme generasi muda. Jembatan
zaman yang menghubungkan dua generasi, yang bisa menyatukan pemikiran generasi
tua dengan aksi generasi muda. Selanjutnya, cukuplah berjalan di jembatan itu
agar sebagai generasi tua, tidak perlu bersusah payah menyeberangi sungai zaman
yang terbentang luas di bawahnya. Juga agar generasi yang lebih muda, tidak
perlu sampai hilang di dalam arus sungai zaman yang mengalir deras seperti siap
menenggelamkan siapa saja.
Sebab menjadi generasi muda dan generasi tua adalah
sebuah keniscayaan dalam sebuah masa hidup yang harus dilalui.
Bukan dengan kesombongan diri, melainkan dengan kerendahan hati.
No comments:
Post a Comment