Saturday, May 9, 2020

Menjadi... Bukan Mencari

The Search for The Sacred: Bagaimana jika pertanyaannya bukan lagi: "Apakah Anda sedang mencari?", tetapi: "Apakah Anda sudah menjadi?".

Saat materi “Terapi Terapeutik” di kelas School of Counseling (SOC), pemateri mengatakan bahwa setiap orang itu hidup seperti dalam film, yang mempunyai genre masing-masing. Ada film kehidupan ber-genre drama, action, sci-fi, thriller, horor, komedi, komedi romantis, dsb., dan kita adalah lakon utamanya. Jika genre hidup kita drama, maka akan menarik pemeran-pemeran drama lainnya untuk masuk ke kehidupan kita: ada pemeran orang bermuka dua, ada pemeran orang yang suka menyakiti/disakiti, dan selalu ada yang memerankan orang yang suka berkata-kata di dalam hati sambil memainkan mimik muka sadis… Itu sebabnya, mereka yang belum kenal dirinya dan atau tidak mau mengubah “genre” hidupnya, cenderung akan mengulang-ulang peristiwa yang sama dan bertemu lalu berteman dengan mereka yang karakternya mirip-mirip dengan dirinya.

Misalnya, seperti yang pemateri SOC waktu itu cerita, ada seorang wanita yang selalu berhubungan dengan pria yang suka menyakitinya. Sampai berkali-kali, dan dia masih tidak tahu mengapa bisa terjadi. Pacarnya adalah pria-pria yang kasar, sering mem-bully dirinya, dan tidak segan melakukan kekerasan fisik padanya. Mungkin genre hidup wanita ini adalah drama. Di alam bawah sadarnya, dia suka disakiti sebenarnya. Kalau gak salah ingat, Pak Siswanto, pematerinya, berkata demikian. Saat itu saya tidak habis pikir, kok ada ya orang seperti itu… dan ternyata memang ada di dunia nyata. Berikut adalah pengakuan dari Ally Vestervelt, salah satu contoh orangnya, yang ditulis di buku “The Sacred Search”:

Lihatlah kesalahan-kesalahan calon pasangan Anda dan pikirkan apakah Anda bisa hidup dengan kelemahan-kelemahan itu, ya. Pikirkan apakah Anda ingin orang ini menjadi ayah/ibu bagi anak-anak Anda, dan sebagainya. Tetapi, saya memberi peringatan kepada para lajang untuk tidak menyalahkan hubungan buruk pada pihak lain. Saya pikir hal ini seperti mempersiapkan kegagalan dalam penikahan. Saya menghabiskan terlalu banyak waktu sebagai seorang lajang untuk mencari “suami yang baik” dan tidak punya cukup energi untuk memikirkan bagaimana saya bisa menjadi seorang istri yang baik.
Menurut pengalaman saya, kelemahan pasangan saya paling banyak mencerminkan kesalahan saya sendiri, meskipun saya tidak menyadarinya. Jika saya ada dalam sebuah hubungan dan berpikir, “Wah, pacar saya jelas tidak siap menikah, karena ia memiliki masalah besar seperti ini,” ternyata kemungkinan besar saya juga memiliki masalah besar seperti itu. Mungkin bukan persis masalah yang sama, tetapi masalah itu sebagian besar mencerminkan kelemahan pasangan saya. Saya khawatir banyak lajang yang sedang memandang pada sebuah hubungan buruk, lalu berpikir: “Oke, yang harus saya lakukan adalah memutuskan hubungan ini dan mencari calon yang lain. Itu tidak akan memecahkan masalah. Setidak-tidaknya, solusi itu tidak memecahkan masalah saya.
Butuh tiga hubungan tragis sebelum saya menyadari masalahnya adalah diri saya sendiri (betapa lamban saya belajar!). Saya terus berpikir kalau saja saya bisa keluar dari hubungan “buruk” ini, saya akan bisa menemukan hubungan yang lebih baik, –pria yang lebih baik–. Dan, ketika hubungan saya masih saja berjalan dengan buruk, saya masih belum melihat peran saya di dalamnya. Saya terus berpikir, "Mengapa Allah menentang saya? Apakah saya ini magnet bagi pria-pria brengsek?!"
Setelah dengan tiga orang pria luar biasa yang berbeda dan tiga kali putus hubungan luar biasa berikutnya, baru semuanya menjadi jelas bagi saya: ke mana pun saya pergi, hasilnya sama saja. Menemukan pria yang lebih baik bukan jawaban. Saya harus membereskan sesuatu yang salah dalam diri saya sendiri.

Nah sekarang, bagaimana jika pertanyaannya bukan lagi: “Orang seperti apa yang Anda cari?” atau "Apa kriteria pasangan hidupmu nanti?", tetapi: "Apakah Anda sudah menjadi pribadi yang dicari oleh pasangan hidup yang Anda inginkan di kemudian hari?".

Banyak kaum pria menghabiskan waktu hidupnya untuk mencari wanita yang diinginkannya, yang sesuai kriterianya; tapi tidak pernah mencari tahu apa yang diinginkan oleh wanita dengan kriteria yang dicarinya. Sebaliknya, banyak kaum wanita menghabiskan tenaga dan waktunya untuk menjadi yang paling diinginkan oleh para pria; tapi tidak pernah mau tahu apa yang dicari oleh pria yang kelak diinginkannya untuk menjadi pendampingnya. Sehingga yang terjadi, mereka saling ribut menuntut karena masing-masing ingin pasangannya berubah sesuai keinginannya sendiri. Atau, yang lebih parah, salah satunya menjadi selalu menerima perlakuan pasangannya dan selalu mengalah; seolah-olah percaya bahwa takdir hidupnya memang demikian: diciptakan untuk selalu kalah.




Cerita pengakuan dari Ally Vestervelt tadi sedikit banyak menggambarkan situasi belakangan sekarang; hampir semua orang selalu mencari ke luar, tapi jarang yang melihat ke dalam dirinya. Sebagian besar orang selalu menuntut pasangannya melakukan sesuatu untuk dirinya, untuk menjadi seseorang yang diinginkannya; tanpa pernah merenungkan apakah dirinya sudah benar-benar seperti yang diinginkan pasangannya.

Karena pernikahan bukanlah sekadar mengenai menemukan orang yang tepat, sehingga Anda bisa memiliki pernikahan yang indah. Pernikahan itu juga tentang menjadi orang yang lebih baik dari hari ke hari; dan siapa pun yang (akan) menikah dengan Anda (harusnya) bisa membantu Anda mewujudkan hal ini. Sebab saya percaya, tujuan pernikahan Kristen bukanlah untuk mencari kebahagiaan semata, tetapi tujuannya lebih kepada pertumbuhan bersama-sama di dalam Tuhan dan bisa memberi dampak yang baik bagi sesamanya.

Jadi sebelum mencari orang yang tepat, jadilah orang yang tepat; agar bisa menarik si dia yang tepat untuk datang mendekat.

No comments:

Post a Comment