Ibadah hari Minggu ini berbeda sekali.
Padahal hari ini bukan hari raya Paskah atau Natal, tetapi parkiran gereja
sudah penuh dengan kendaraan sejak jam 5 pagi. Bahkan ketika ibadah belum
dimulai, seluruh kursi dan bangku cadangan yang tersedia sudah terisi.
Mungkin karena hari ini adalah ibadah hari
Minggu pertama, di jam pertama, pukul 6 pagi, setelah semua orang mendapatkan
vaksin virus Covid-19. Saya pikir saya sama seperti Jemaat yang lainnya, semuanya
sudah merindukan bertatap muka dengan teman-teman dan saudara seimannya, secara
langsung dan bisa berjabat tangan atau berpelukan, tanpa melalui jaringan
nirkabel dan aplikasi Zoom atau semacamnya. Saya merasakan energi dari kerinduan
itu di pagi hari ini, dan entah kenapa saya yang biasanya malas menyapa, saat
ini rasanya senang sekali bisa bersentuhan dengan manusia lainnya.
Ibadah dimulai. Saya beruntung bisa
duduk di kursi di ruang ibadah utama. Saya pikir masih banyak Jemaat di luar gedung
gereja yang gigit jari karena tidak mendapat kursi. Belum lagi memikirkan sibuknya
petugas parkir dan para aktivis yang mengatur kendaraan agar bisa muat di
tempat parkir. Ah, kenapa malah sibuk berpikir yang lain? Ok. Fokus. Tenang.
Saat ini akan masuk ke hadirat Tuhan. Hmm, apakah kalau ibadah online selama ini berarti gak masuk ke
hadirat Tuhan? Entahlah. Nah, gak fokus lagi dah... tenang. Diam. Matikan
ponsel aja ya.
Di tengah ibadah, sebelum kotbah, tidak
biasanya ada orang yang mau memberi kesaksian. Ah... bapak itu. Kasihan dia.
Bisnisnya hancur akibat pandemi. Sebelum pandemi Covid-19, beliau adalah salah
satu "penyumbang" terbesar gereja ini. Jika gereja mengumumkan sedang
mengumpulkan dana untuk sarana/prasarana pelayanan, pasti minggu depan sudah
ada nama "TM" sebagai pemberi persembahan terbesar dan kadang 50%
lebih sudah terpenuhi karena bapak ini. Tapi saya dengar sih, setelah badai
pandemi menghantam dalam negeri, usahanya di ambang kebankrutan hingga pernah
masuk salah satu pokok doa di Warta Jemaat digital gereja ini. Entah bisnisnya
apa, setahu saya sih di bidang jasa keuangan dan agen perjalanan. Semoga beliau
bisa kembali ke keadaan semula, agar gereja ini mudah memenuhi kebutuhan
pelayanannya.
"Sebelumnya saya minta maaf kepada Bapak/Ibu/Saudara sekalian. Karena
setelah saya renung-renungkan, penyebab pandemi Covid-19 ini adalah saya."
Pikiran saya berhenti demi mendengar
kalimat awal "kesaksian" ini. Apa? Jadi... bapak ini yang membuat
virus Covid-19?
Lalu sama seperti saya, para Jemaat
mulai bising seperti kawanan lebah; bersuara pelan tapi bernada resah.
"Ya, maafkan saya. Karena kebebalan hati saya, Tuhan akhirnya mengizinkan
virus Covid-19 ini hingga ke Indonesia."
Jemaat mulai tenang. Mungkin karena
penasaran. Ingin tahu apa sebab bapak yang baik ini turut andil menyebarkan virus
Covid-19.
"Sebelum Covid-19 ini ada, saya adalah orang yang paling percaya diri
dengan semua yang saya lakukan. Setiap usaha saya selalu berhasil, apa yang
saya kerjakan pasti menuai hasil. Saya saat itu tidak lagi ingat kapan terakhir
kali saya pernah gagal, dan karenanya saya selalu yakin ketika memulai usaha
baru dan melakukannya dengan total. Bahkan saya saat itu sudah lupa, kapan
terakhir kali mengajak Tuhan berdiskusi sebelum memulai segala sesuatunya.
Meskipun kelihatannya saya selalu ingat akan Dia; dengan setiap hari Minggu ke
gereja, memberi persembahan terbaik, menurut saya, kepada-Nya, menyuruh
anak-anak saya ke Sekolah Minggu, menyekolahkan mereka ke sekolah Kristen agar
mereka rajin berdoa, tetapi sesungguhnya saya sangat jauh dari Tuhan."
Hening. Bapak itu mengusap air mata di
pipinya.
"Setiap ajakan untuk pelayanan, saya tolak dengan dalih kesibukan. Tapi
saya memang sibuk dengan semua usaha baru saya, yang entah kenapa, selalu
lancar-lancar saja. Dan kompensasinya, mungkin untuk menebus rasa bersalah
saya, saya selalu loyal kepada gereja. Saya saat itu berpikir: biarlah saya yang
ambil bagian untuk rajin bekerja untuk Tuhan, dan gereja saja yang berdoa untuk
saya; bukankah kita semua peranannya beda-beda? Begitu pembelaan saya,
pembenaran atas diri sendiri sebenarnya, saat saya mulai tidak ada lagi waktu
untuk berdoa secara pribadi dan merenungkan firman-Nya. Saya pernah, suatu kali
merasa, kalau Tuhan ingin secara pribadi berbicara dengan saya. Seminggu
sebelum pasien Covid-19 pertama diumumkan presiden Jokowi, selama seminggu
itulah saya selalu terbangun di dini hari. Tapi mungkin karena saya sudah tidak
peka lagi akan suara-Nya, saya malah menggunakan waktu itu, karena tidak bisa
kembali tidur, untuk menulis rencana ekspansi bisnis saya selanjutnya. Dini
hari itu, selama seminggu, saya masih berpikir kalau yang saya lakukan wajar,
karena pasar dunia mulai goyang akibat isu perang dunia dan wabah di Cina, dan
saya merasa harus berbuat sesuatu untuk membuat rencana-rencana baru pada
bisnis saya. Toh, banyak orang hidupnya bergantung pada saya; paling tidak ada 52
karyawan saya, keluarga mereka, dan gereja, hingga saya tidak pernah sedikit
pun terpikir tentang kerinduan yang Tuhan rasakan kepada saya."
Bapak itu menghela nafasnya. Waktu untuk
kesaksian sebenarnya sudah selesai, tapi semua MJ dan PNJ bergeming. Jemaat
juga masih hening.
"Sampai kemudian virus itu masuk ke Indonesia dan dinyatakan oleh WHO sebagai
pandemi, saya mulai dihadapkan dengan kenyataan kalau setiap hari bisnis saya
merugi. Saat itu saya masih terus mengingkari kenyataan ini dengan
afirmasi-afirmasi, 'Saya bisa melewati ini!' atau 'Tuhan pasti tetap menyertai', tapi keadaan sesungguhnya berbeda sekali. Saya tidak lagi menuai
hasil dengan inovasi-inovasi. Saya tetap gagal meskipun selalu berinisiatif dan
bekerja dengan total. Bahkan saat itu saya tidak lagi ingat bagaimana rasanya
berhasil melakukan sesuatu; keberhasilan terasa jauh di masa lalu. Satu per
satu karyawan mulai saya rumahkan. Kios-kios mulai tutup karena malah menambah
kerugian, dan beberapa bahkan saya jual agar bisa memberi pesangon kepada
karyawan yang saya PHK. Tiket dan voucher yang sudah terjual harus saya tebus karena tidak bisa digunakan.
Tagihan-tagihan atas cicilan mulai berdatangan, meskipun tidak ada lagi
pemasukan. Bahkan dana darurat perusahaan akhirnya saya cairkan demi bisa
bertahan. Di saat itulah saya mulai mencari pertolongan ke teman bisnis, rekan
usaha, dan keluarga, tapi semuanya ternyata mengalami keadaan yang sama. Saya
masih belum ingat kalau ada Tuhan, belum. Saya hanya ingat kalau saya masih
Kristen, dan karenanya saya masih rajin menonton ibadah online setiap hari Minggu. Nonton saja, karena
dalam hati saya, perlahan, mulai menolak adanya Tuhan karena keadaan."
MJ, PNJ, dan Jemaat masih hening. Tidak
ada kasak kusuk sedikit pun, meskipun alokasi waktu seharusnya sudah untuk
kotbah Minggu. Bahkan Pakpen tetap diam di atas mimbar gereja.
"Sampai suatu ketika di hari Selasa, saat saya sudah 5 bulan dalam rumah
saja, saya bersih-bersih gudang dengan tujuan mencari-cari barang yang
sekiranya bisa diloakan. Saya mendapati buku kecil dari penulis idola saya,
dulu, Xavier Quentin Pranata, dan menangis sejadi-jadinya di gudang itu karena
sebuah cerita. Bayangkan, istri saya sampai lari ke gudang karena mengira saya
sangat depresi sampai kesurupan."
Jemaat tertawa karena Bapak TM mulai
melempar gurauan. Tapi tidak ada yang protes karena waktu kotbah sudah
setengahnya digunakan.
"Jadi begini salah satu cerita di buku itu yang diberi judul: 'Saya Mematahkan Kakinya':
Ada seorang
wanita sedang menikmati udara musim panas di Swiss dengan berjalan-jalan.
Ketika mendaki sebuah lereng gunung, dia tiba di rumah seorang gembala. Dia
melihat seorang gembala yang sedang duduk dikelilingi ternak-ternaknya. Di
pangkuan gembala itu, terbaring seekor domba yang kakinya patah. Dengan
perasaan penuh simpati, wanita itu bertanya, 'Apa yang terjadi dengan domba
itu?' Dengan wajah penuh arti, gembala itu menjawab, 'Saya telah patahkan
kakinya’.
Wajah wanita itu
tiba-tiba berubah menjadi penuh kengerian dan rasa sakit. Karena melihat
perubahan itu, sang gembala lalu dengan cepat berkata, 'Bu, dari semua domba
saya, domba inilah yang paling bandel. Dia tidak pernah mematuhi saya. Dia
tidak mau mengikuti arah yang saya tunjukkan. Dia suka ngelayap pergi ke
tempat-tempat curam di tebing yang terjal dan sering membahayakan dirinya
sendiri. Tidak hanya itu, dia juga membuat domba-domba saya yang lain
berserakkan. Saya sudah berpengalaman menangani domba nakal seperti ini. Jadi,
saya kemudian mematahkan kakinya. Hari pertama saya mendekatinya untuk memberi
makan, dia mencoba menggigit tangan saya. Saya biarkan selama dua hari. Dan sekarang,
dia tak hanya mau memakan makanan yang saya berikan, tetapi juga menjilati
tangan saya dan menunjukkan sikap penyerahan bahkan kasih sayang. Dan sekarang,
saya yakin, jika domba ini sudah sehat, dia akan menjadi domba paling teladan
dalam kumpulan ternak saya. Tidak ada domba lain yang lebih cepat mendengar
suara saya. Tidak ada domba lain yang mengikuti saya begitu dekat selain dia.'
Ya,
cambukan Allah memang menyakitkan, namun menyembuhkan. Saya masih beruntung,
Tuhan tidak mematahkan kaki saya atau membuat saya dan keluarga saya tertular
Covid-19. Mulai hari itu sampai dengan sekarang, saya selalu menyertakan Tuhan
dalam setiap perencanaan bisnis yang akan saya kerjakan. Saya selalu mengajak
keluarga saya berdoa bersama. Saya bahkan meminta maaf kepada mereka. Ya, saya
akhirnya berani mengakui kalau saya sering melupakan mereka karena sibuk
sendiri dengan bisnis saya. Tidak ada lagi pembenaran diri kalau saya bekerja
keras juga untuk mereka, juga tidak ada lagi rasa selalu kurang dalam batin
saya akan harta benda, sebab pada akhirnya bukan uang dan kekayaan yang
menolong jiwa saya, tetapi oleh karena Tuhan Yesus dengan perantaraan melalui
mereka, keluarga saya, yang memulihkan saya hingga tidak sampai masuk rumah
sakit jiwa."
Kemudian Bapak itu tersenyum dan
memandang ke arah kursi di mana ada istri dan anak-anaknya duduk, sambil
bergumam 'terima kasih'.
"Oia, tolong ingatkan saya pada Covid-19 ini kalau menolak diajak ikut latihan
paduan suara atau beralasan tidak bisa datang ke persekutuan keluarga di gereja
ya."
Lalu beliau tertawa kecil dan
melemparkan pandangannya ke arah kursi MJ dan beberapa Jemaat, yang sepertinya
mengenal baik dirinya.
Beberapa Jemaat mulai tertawa lepas,
bahkan ada yang bertepuk tangan. Entah karena senang karena kotbah sepertinya
akan singkat saja, atau ikut bersukacita karena kesaksian yang begitu...
mencengangkan.
"Akhir kata, bersukacitalah atas cambukan yang Tuhan berikan kepada
kita. Karena itu tanda kalau Tuhan masih sayang kepada kita semua."
Bapak itu turun dari podium dan diiringi
riuh tepuk tangan Jemaat. Beberapa bahkan berdiri dan menyalaminya.
No comments:
Post a Comment