Monday, June 1, 2020

Penyebab Pandemi Covid-19 Ini Adalah Saya


Ibadah hari Minggu ini berbeda sekali. Padahal hari ini bukan hari raya Paskah atau Natal, tetapi parkiran gereja sudah penuh dengan kendaraan sejak jam 5 pagi. Bahkan ketika ibadah belum dimulai, seluruh kursi dan bangku cadangan yang tersedia sudah terisi.

Mungkin karena hari ini adalah ibadah hari Minggu pertama, di jam pertama, pukul 6 pagi, setelah semua orang mendapatkan vaksin virus Covid-19. Saya pikir saya sama seperti Jemaat yang lainnya, semuanya sudah merindukan bertatap muka dengan teman-teman dan saudara seimannya, secara langsung dan bisa berjabat tangan atau berpelukan, tanpa melalui jaringan nirkabel dan aplikasi Zoom atau semacamnya. Saya merasakan energi dari kerinduan itu di pagi hari ini, dan entah kenapa saya yang biasanya malas menyapa, saat ini rasanya senang sekali bisa bersentuhan dengan manusia lainnya.

Ibadah dimulai. Saya beruntung bisa duduk di kursi di ruang ibadah utama. Saya pikir masih banyak Jemaat di luar gedung gereja yang gigit jari karena tidak mendapat kursi. Belum lagi memikirkan sibuknya petugas parkir dan para aktivis yang mengatur kendaraan agar bisa muat di tempat parkir. Ah, kenapa malah sibuk berpikir yang lain? Ok. Fokus. Tenang. Saat ini akan masuk ke hadirat Tuhan. Hmm, apakah kalau ibadah online selama ini berarti gak masuk ke hadirat Tuhan? Entahlah. Nah, gak fokus lagi dah... tenang. Diam. Matikan ponsel aja ya.

Di tengah ibadah, sebelum kotbah, tidak biasanya ada orang yang mau memberi kesaksian. Ah... bapak itu. Kasihan dia. Bisnisnya hancur akibat pandemi. Sebelum pandemi Covid-19, beliau adalah salah satu "penyumbang" terbesar gereja ini. Jika gereja mengumumkan sedang mengumpulkan dana untuk sarana/prasarana pelayanan, pasti minggu depan sudah ada nama "TM" sebagai pemberi persembahan terbesar dan kadang 50% lebih sudah terpenuhi karena bapak ini. Tapi saya dengar sih, setelah badai pandemi menghantam dalam negeri, usahanya di ambang kebankrutan hingga pernah masuk salah satu pokok doa di Warta Jemaat digital gereja ini. Entah bisnisnya apa, setahu saya sih di bidang jasa keuangan dan agen perjalanan. Semoga beliau bisa kembali ke keadaan semula, agar gereja ini mudah memenuhi kebutuhan pelayanannya.

"Sebelumnya saya minta maaf kepada Bapak/Ibu/Saudara sekalian. Karena setelah saya renung-renungkan, penyebab pandemi Covid-19 ini adalah saya."

Pikiran saya berhenti demi mendengar kalimat awal "kesaksian" ini. Apa? Jadi... bapak ini yang membuat virus Covid-19?
Lalu sama seperti saya, para Jemaat mulai bising seperti kawanan lebah; bersuara pelan tapi bernada resah.

"Ya, maafkan saya. Karena kebebalan hati saya, Tuhan akhirnya mengizinkan virus Covid-19 ini hingga ke Indonesia."

Jemaat mulai tenang. Mungkin karena penasaran. Ingin tahu apa sebab bapak yang baik ini turut andil menyebarkan virus Covid-19.

"Sebelum Covid-19 ini ada, saya adalah orang yang paling percaya diri dengan semua yang saya lakukan. Setiap usaha saya selalu berhasil, apa yang saya kerjakan pasti menuai hasil. Saya saat itu tidak lagi ingat kapan terakhir kali saya pernah gagal, dan karenanya saya selalu yakin ketika memulai usaha baru dan melakukannya dengan total. Bahkan saya saat itu sudah lupa, kapan terakhir kali mengajak Tuhan berdiskusi sebelum memulai segala sesuatunya. Meskipun kelihatannya saya selalu ingat akan Dia; dengan setiap hari Minggu ke gereja, memberi persembahan terbaik, menurut saya, kepada-Nya, menyuruh anak-anak saya ke Sekolah Minggu, menyekolahkan mereka ke sekolah Kristen agar mereka rajin berdoa, tetapi sesungguhnya saya sangat jauh dari Tuhan."

Hening. Bapak itu mengusap air mata di pipinya.

"Setiap ajakan untuk pelayanan, saya tolak dengan dalih kesibukan. Tapi saya memang sibuk dengan semua usaha baru saya, yang entah kenapa, selalu lancar-lancar saja. Dan kompensasinya, mungkin untuk menebus rasa bersalah saya, saya selalu loyal kepada gereja. Saya saat itu berpikir: biarlah saya yang ambil bagian untuk rajin bekerja untuk Tuhan, dan gereja saja yang berdoa untuk saya; bukankah kita semua peranannya beda-beda? Begitu pembelaan saya, pembenaran atas diri sendiri sebenarnya, saat saya mulai tidak ada lagi waktu untuk berdoa secara pribadi dan merenungkan firman-Nya. Saya pernah, suatu kali merasa, kalau Tuhan ingin secara pribadi berbicara dengan saya. Seminggu sebelum pasien Covid-19 pertama diumumkan presiden Jokowi, selama seminggu itulah saya selalu terbangun di dini hari. Tapi mungkin karena saya sudah tidak peka lagi akan suara-Nya, saya malah menggunakan waktu itu, karena tidak bisa kembali tidur, untuk menulis rencana ekspansi bisnis saya selanjutnya. Dini hari itu, selama seminggu, saya masih berpikir kalau yang saya lakukan wajar, karena pasar dunia mulai goyang akibat isu perang dunia dan wabah di Cina, dan saya merasa harus berbuat sesuatu untuk membuat rencana-rencana baru pada bisnis saya. Toh, banyak orang hidupnya bergantung pada saya; paling tidak ada 52 karyawan saya, keluarga mereka, dan gereja, hingga saya tidak pernah sedikit pun terpikir tentang kerinduan yang Tuhan rasakan kepada saya."

Bapak itu menghela nafasnya. Waktu untuk kesaksian sebenarnya sudah selesai, tapi semua MJ dan PNJ bergeming. Jemaat juga masih hening.

"Sampai kemudian virus itu masuk ke Indonesia dan dinyatakan oleh WHO sebagai pandemi, saya mulai dihadapkan dengan kenyataan kalau setiap hari bisnis saya merugi. Saat itu saya masih terus mengingkari kenyataan ini dengan afirmasi-afirmasi, 'Saya bisa melewati ini!' atau 'Tuhan pasti tetap menyertai', tapi keadaan sesungguhnya berbeda sekali. Saya tidak lagi menuai hasil dengan inovasi-inovasi. Saya tetap gagal meskipun selalu berinisiatif dan bekerja dengan total. Bahkan saat itu saya tidak lagi ingat bagaimana rasanya berhasil melakukan sesuatu; keberhasilan terasa jauh di masa lalu. Satu per satu karyawan mulai saya rumahkan. Kios-kios mulai tutup karena malah menambah kerugian, dan beberapa bahkan saya jual agar bisa memberi pesangon kepada karyawan yang saya PHK. Tiket dan voucher yang sudah terjual harus saya tebus karena tidak bisa digunakan. Tagihan-tagihan atas cicilan mulai berdatangan, meskipun tidak ada lagi pemasukan. Bahkan dana darurat perusahaan akhirnya saya cairkan demi bisa bertahan. Di saat itulah saya mulai mencari pertolongan ke teman bisnis, rekan usaha, dan keluarga, tapi semuanya ternyata mengalami keadaan yang sama. Saya masih belum ingat kalau ada Tuhan, belum. Saya hanya ingat kalau saya masih Kristen, dan karenanya saya masih rajin menonton ibadah online setiap hari Minggu. Nonton saja, karena dalam hati saya, perlahan, mulai menolak adanya Tuhan karena keadaan."

MJ, PNJ, dan Jemaat masih hening. Tidak ada kasak kusuk sedikit pun, meskipun alokasi waktu seharusnya sudah untuk kotbah Minggu. Bahkan Pakpen tetap diam di atas mimbar gereja.

"Sampai suatu ketika di hari Selasa, saat saya sudah 5 bulan dalam rumah saja, saya bersih-bersih gudang dengan tujuan mencari-cari barang yang sekiranya bisa diloakan. Saya mendapati buku kecil dari penulis idola saya, dulu, Xavier Quentin Pranata, dan menangis sejadi-jadinya di gudang itu karena sebuah cerita. Bayangkan, istri saya sampai lari ke gudang karena mengira saya sangat depresi sampai kesurupan."

Jemaat tertawa karena Bapak TM mulai melempar gurauan. Tapi tidak ada yang protes karena waktu kotbah sudah setengahnya digunakan.

"Jadi begini salah satu cerita di buku itu yang diberi judul: 'Saya Mematahkan Kakinya':
Ada seorang wanita sedang menikmati udara musim panas di Swiss dengan berjalan-jalan. Ketika mendaki sebuah lereng gunung, dia tiba di rumah seorang gembala. Dia melihat seorang gembala yang sedang duduk dikelilingi ternak-ternaknya. Di pangkuan gembala itu, terbaring seekor domba yang kakinya patah. Dengan perasaan penuh simpati, wanita itu bertanya, 'Apa yang terjadi dengan domba itu?' Dengan wajah penuh arti, gembala itu menjawab, 'Saya telah patahkan kakinya’.
Wajah wanita itu tiba-tiba berubah menjadi penuh kengerian dan rasa sakit. Karena melihat perubahan itu, sang gembala lalu dengan cepat berkata, 'Bu, dari semua domba saya, domba inilah yang paling bandel. Dia tidak pernah mematuhi saya. Dia tidak mau mengikuti arah yang saya tunjukkan. Dia suka ngelayap pergi ke tempat-tempat curam di tebing yang terjal dan sering membahayakan dirinya sendiri. Tidak hanya itu, dia juga membuat domba-domba saya yang lain berserakkan. Saya sudah berpengalaman menangani domba nakal seperti ini. Jadi, saya kemudian mematahkan kakinya. Hari pertama saya mendekatinya untuk memberi makan, dia mencoba menggigit tangan saya. Saya biarkan selama dua hari. Dan sekarang, dia tak hanya mau memakan makanan yang saya berikan, tetapi juga menjilati tangan saya dan menunjukkan sikap penyerahan bahkan kasih sayang. Dan sekarang, saya yakin, jika domba ini sudah sehat, dia akan menjadi domba paling teladan dalam kumpulan ternak saya. Tidak ada domba lain yang lebih cepat mendengar suara saya. Tidak ada domba lain yang mengikuti saya begitu dekat selain dia.'
Ya, cambukan Allah memang menyakitkan, namun menyembuhkan. Saya masih beruntung, Tuhan tidak mematahkan kaki saya atau membuat saya dan keluarga saya tertular Covid-19. Mulai hari itu sampai dengan sekarang, saya selalu menyertakan Tuhan dalam setiap perencanaan bisnis yang akan saya kerjakan. Saya selalu mengajak keluarga saya berdoa bersama. Saya bahkan meminta maaf kepada mereka. Ya, saya akhirnya berani mengakui kalau saya sering melupakan mereka karena sibuk sendiri dengan bisnis saya. Tidak ada lagi pembenaran diri kalau saya bekerja keras juga untuk mereka, juga tidak ada lagi rasa selalu kurang dalam batin saya akan harta benda, sebab pada akhirnya bukan uang dan kekayaan yang menolong jiwa saya, tetapi oleh karena Tuhan Yesus dengan perantaraan melalui mereka, keluarga saya, yang memulihkan saya hingga tidak sampai masuk rumah sakit jiwa."

Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (Ibrani 12:5-6)


Kemudian Bapak itu tersenyum dan memandang ke arah kursi di mana ada istri dan anak-anaknya duduk, sambil bergumam 'terima kasih'.

"Oia, tolong ingatkan saya pada Covid-19 ini kalau menolak diajak ikut latihan paduan suara atau beralasan tidak bisa datang ke persekutuan keluarga di gereja ya."

Lalu beliau tertawa kecil dan melemparkan pandangannya ke arah kursi MJ dan beberapa Jemaat, yang sepertinya mengenal baik dirinya.
Beberapa Jemaat mulai tertawa lepas, bahkan ada yang bertepuk tangan. Entah karena senang karena kotbah sepertinya akan singkat saja, atau ikut bersukacita karena kesaksian yang begitu... mencengangkan.

"Akhir kata, bersukacitalah atas cambukan yang Tuhan berikan kepada kita. Karena itu tanda kalau Tuhan masih sayang kepada kita semua."

Bapak itu turun dari podium dan diiringi riuh tepuk tangan Jemaat. Beberapa bahkan berdiri dan menyalaminya.

Ah... semoga nanti kotbahnya gak lama. Kasihan Jemaat yang menunggu di luar gedung gereja untuk ibadah yang akhirnya secara "live" diselenggarakan, setelah hanya bisa nonton online selama berbulan-bulan.

No comments:

Post a Comment