Saturday, July 10, 2010

Tulisan Tentang Menulis

Semuanya berawal dari membaca catatan perjalanan Ayah saya.

Ayah saya seorang pelaut. Bisa dikatakan begitu. Beliau bekerja di sebuah kapal perusahaan penyuplai pupuk terbesar di negeri ini. Karena Indonesia negara kepulauan, distribusi pupuk harus melewati lautan. Dulu, waktu kecil, waktu saya masih tinggal di rumah, belum ngekost sendiri di Jogja, saya pernah membaca catatan perjalanan Ayah saya. Dan dari situlah saya ingat, darimana bakat menulis saya berasal. Soal apa dampak pekerjaan Ayah saya terhadap karakter saya, mungkin lain waktu akan saya ceritakan.

Seperti yang pernah saya katakan sebelumnya, saya pernah menjadi penulis tetap sebuah tabloid, kalau bisa dikatakan begitu, yang berlabel "Untuk kalangan sendiri". Karena masalah keuangan, akhirnya redaksi bubar jalan. Tapi, saya masih ingin menulis. Saya masih ingin mempunyai anak, kalau bisa dikatakan demikian, seperti yang Jenny Jusuf pernah utarakan. "Sebagai penulis, sebuah buku bisa dikatakan sebagai seorang anak." Yang saya artikan seperti hasil hubungan intim penulis dan buku-buku di rak lemarinya. Berbentuk buku seperti "Ibu"nya, tetapi mempunyai DNA yang berisi karakter "Ayah"nya yang ditumpahkan dalam lembaran-lembaran hidup "Anak"nya.

Jadilah saya selalu menulis, berusaha membuat "Anak" yang nantinya bisa dikagumi, dan menginspirasi banyak orang. Tapi untuk membuat anak, butuh pasangan bukan? Jadi sangat mustahil kalau seorang penulis tidak pernah atau tidak suka membaca buku-buku atau koran atau majalah. Intinya, mustahil menjadi seorang penulis, tanpa pernah melewati tahap sebagai seorang pembaca.

Saya pernah mendengar kisah, dulu di negeri Cina, orang yang belajar melukis, akan diberi sebuah lukisan yang sudah jadi dan (biasanya) dibuat oleh seorang pelukis terkenal. Kemudian calon pelukis itu disuruh meniru lukisan sang maestro tadi, sampai semirip mungkin. Sesudah berpuluh-puluh kali mencoba, dan sang calon pelukis bisa membuat sendiri guratan di kanvasnya, dia mendapat sebuah lukisan yang baru, yang lain, untuk ditirunya lagi. Begitulah seterusnya sampai sang calon pelukis itu bisa melukis sendiri, dan mulai menemukan bentuk lukisan khas, yang sesuai dengan jalan pikiran dan imajinasinya.

Kira-kira begitulah yang saya lakukan. Saya membeli buku, kadang meminjamnya (lebih sering minjam :p), membacanya, dan kemudian menyalinnya. Berulang kali. Sampai kemudian saya mempunyai citarasa dan idealisme saya sendiri tentang tulisan itu, lalu menumpahkan setiap DNA saya pada tulisan-tulisan di lembar-lembar lainnya.

"Saya sekarang percaya bahwa di dunia ini tak ada foto baru dan hanya ada beberapa cerita baru. Kebanyakan merupakan kombinasi ulang hal-hal yang pernah diceritakan sebelumnya -- kombinasi yang luar biasa. Tapi yang baru, dan segar, dan asli adalah kacamata yang digunakan sang penulis untuk melihat berbagai situasi ini. Anugerah kita, dan dengan demikian tanggung jawab kita sebagai penulis, adalah untuk memandang berbagai situasi kehidupan dengan cara kita yang unik dan melaporkan kebenaran makna dan nilainya kepada publik pembaca supaya mereka bisa mempunyai wawasan yang segar mengenai kondisi manusia. Masing-masing dari kita unik di alam raya ini, sehingga demikian juga kisah-kisah yang kita tuturkan."
-Elisabeth Engstrom, dalam pengantar buku 'Chicken Soup for the Writer's Soul'-

Buku itu adalah salah satu buku yang selalu bisa menginspirasi saya. Kalau saya boleh memberi endorsement pada buku itu, saya akan tuliskan "Setiap calon penulis harus membacanya". Saya juga berniat ingin membuat buku sejenis, cerita-cerita dari penulis yang ada di Indonesia.

********/*******

Menurut saya, menulis sama seperti bermusik. Dalam musik hanya ada 7 nada, dan bisa menghasilkan jutaan lagu yang pernah tercipta. Dalam tulisan ada jutaan kata, dan harusnya bisa menghasilkan milyaran karya. Mungkin itu sebabnya, banyak sekali buku, majalah, artikel, dan juga metamorfosa rangkaian kata-kata yang telah tercipta, seperti puisi, monolog, skenario, dan lain sebagainya.

Jadi, kalau dibilang menulis itu gampang, bisa saja demikian halnya. Tapi, orang yang ingin menulis itu haruslah rajin melakukan latihan, menuliskan ulang tulisan-tulisan yang sudah jadi, dan banyak membaca. Tanpa latihan seperti ini, bisa diibaratkan orang yang tidak pernah mengenal nada, disuruh membuat sebuah lagu atau orkestra. Mungkin bisa, tapi pasti tak bisa dinikmati oleh telinga kita.
Selain banyak membaca, untuk latar belakang tulisan yang diciptakan, juga dibutuhkan kepekaan akan maksud dan tujuan. Mana ada orang menulis tanpa tujuan. Atau ada tujuan yang disampaikan, tapi penulis itu tidak mengerti apa yang telah dituangkan. Oleh karena itu harus pula banyak latihan.

Dan Seno Gumira Ajidarma (SGA) pernah mengatakan, "Tetaplah menulis walaupun tidak ada yang akan membacanya. Menulis tidak perlu menuntut fasilitas, bisa dengan pensil dan kertas bon bekas ... menulislah sampai mampus!"
Atau seperti kata William Forrester dalam film 'Finding Forrester', "Kalau kamu mau menulis ya tulis aja, jangan pernah mikir. Langsung saja menulis, rasakan gairah di jari tanganmu yang menari dengan pena, atau yang berlompatan di atas mesin ketik."

Kalau kata saya, "Menulislah selama kata-kata itu terbang dalam imajinasimu. Tangkap satu per satu. Jangan pedulikan jumlah kata yang nantinya akan terangkai di kertas atau layar monitormu, kalau kata itu 'Saya lagi sedih', ya tulis aja. Percayalah, dalam menulis, bagian tersulit ada dalam paragraf pertama."

Akhir kata... -- Bahan mentah karya-karya besar hanyut mengapung mengitari dunia, menunggu untuk dibungkus dengan kata-kata -- Milikilah kemampuan untuk membungkusnya dengan apik dan baik.
(Thornton Wilder, dalam buku 'Chicken Soup for the Writer's Soul')

Bagaimana? Siap untuk menulis? :)

No comments:

Post a Comment