Sunday, October 10, 2010

Mimpi Saya dan Gie

Tadi saya bermimpi sedang berada di sebuah dunia, dimana tidak ada kasta terhadap manusia. Tidak ada majikan atau pembantu, tidak ada direktur atau karyawan, tidak ada atasan atau bawahan.

Disana tidak ada ulama, pendeta, pastur, rabbi, biksu, atau pemangku. Semua manusia hidup rukun bersama. Tidak ada lagi batas-batas sosial, batas-batas keyakinan, atau batas-batas budaya. Semua manusia memandang sama sesamanya.

Maka ketika seseorang mati karena sakit tua, semua manusia merasa kehilangan. Seorang pria dengan memakai jas hitam berkata: "dia ayahku." Seorang wanita yang turun dari mobilnya berkata: "dia saudaraku laki-laki." Seorang anak kecil menangisinya, "dia kakekku." Seorang gadis muda terpekur di sampingnya, "dia pamanku yang baik." Semua orang merasa kehilangan. Semua orang menganggap semua orang lain selain dirinya adalah saudaranya. Tanpa melihat siapa dia, apa agamanya, dari suku mana, bagaimana warna kulitnya, atau latar belakang keluarganya.

Di tempat lain, orang-orang berbicara tanpa dilatar belakangi motif kepentingan. Tidak ada politik. Tidak ada intrik. Tidak ada yang munafik. Tidak ada pikiran yang picik. Mereka hanya memikirkan hal-hal yang baik, hal-hal yang bisa membuat kehidupan semua manusia berjalan dengan lebih baik dari hari ke hari. Mereka berbicara apa adanya, jujur, dan tidak berpendapat atas nama partai, umat, golongan, atau organisasi.

Di pelabuhan, orang-orang sibuk mengangkut bahan makanan. Ada susu, telur, jagung, gandum, beras, daging, dan obat-obatan serta vitamin. Tak ada yang memberi komando. Mereka bergerak karena alasan kemanusiaan. "Sebuah bangsa sedang mengalami kelaparan," kata salah seorang diantara mereka. Tidak ada yang berpikir apakah ada hubungan diplomatik, apakah memungkinkan adanya infiltrasi politik, atau pikiran akan kemungkinan menguasai bangsa lain. "Mereka membutuhkan bantuan. Karena mereka sesama manusia, maka kami membantu sebisa yang kami bisa lakukan," kata yang lainnya. Mereka sibuk bekerja, untuk orang-orang yang tak pernah mereka lihat rupanya seperti apa.

Tidak ada lagi yang berbicara tentang kebenaran menurutku atau kebenaran menurutmu. Semuanya berbicara kebenaran atas nama kita. Berbicara tentang kebenaran itu sendiri tanpa ada yang ditutupi. Semua bicara apa adanya. Untuk kepentingan bersama. Tidak ada rasa benci, tidak ada lagi rasa iri, tidak ada lagi manusia yang bisa diprovokasi. Semua hanya sibuk dengan pikiran-pikiran atas dasar kebersamaan, untuk membuat dunia yang lebih baik dengan pembangunan.

Lalu saya terbangun dan terlempar ke dunia lain. Dunia yang sangat lain.

Saya tersadar bahwa dunia tadi tak pernah dan tak akan pernah akan saya lihat sampai kiamat.

Yogyakarta, 10 Oktober 2010
-Victor Hasiholan-

********/*******

Saya mimpi tentang sebuah dunia,
Dimana ulama - buruh dan pemuda,
Bangkit dan berkata - Stop semua kemunafikan,
Stop semua pembunuhan atas nama apapun.

Dan para politisi di PBB,
Sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu, dan beras,
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua,
Dan lupa akan diplomasi.

Tak ada lagi rasa benci pada siapa pun,
Agama apa pun, rasa apa pun, dan bangsa apa pun,

Dan melupakan perang dan kebencian,
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.

Tuhan - Saya mimpi tentang dunia tadi,
Yang tak pernah akan datang.

Salem, 29 Oktober 1968
-Soe Hok-Gie

No comments:

Post a Comment