Saturday, May 15, 2010

Stay Together for Kids

Di mantan blog saya, terakhir saya nulis tentang perceraian.. patah hati.. pengkhianatan cinta.. apalah sebutannya. Entahlah, sebenarnya saya gak ngerti maksudnya apa. Saya juga belum mengalaminya. Tapi saya sudah tahu apa dampak jangka panjangnya ... yang sayangnya, kurang terpikirkan oleh beberapa orang. Saya hanya mengingatkan, itu saja.

Tulisan saya itu memang sangat terbaca sarkasme. Di luar jalur biasanya saya menulis. Tapi bukankah begitu kenyataannya? Kasus perceraian rumah tangga di atas bumi ini sudah di luar batas normal. Gila! Dan saya melihat itu, sebagai penyebab menurunnya toleransi antar manusia. Yang jangka panjangnya, hal ini menjadi penyebab hilangnya kasih sayang antar manusia. "Where is the love?" kata Black Eyed Peas. Atau kata Blink 182, "it's not right" dalam lagunya yang berjudul "Stay Together for Kids".

Tapi, buat mereka yang sudah bercerai, pasti akan bilang ini hanya sampah. "Itu hanya pendapat dari orang yang belum menikah, dan tidak tahu rasanya hidup berumah tangga," kata mereka. Iya benar, saya belum menikah. Saya juga belum punya pasangan. Tapi saya tidak buta. Saya tahu bagaimana dampaknya. Saya hanya memberi saran buat yang belum melakukan perceraian: jangan lakukan itu (perceraian rumah tangga). Terlihat sangat egois. Gak baik juga untuk contoh generasi yang akan datang (anak-anakmu).

Buat yang sudah bercerai, apalagi yang berkali-kali kawin-cerai, ya nikmatilah itu. Kalau batinmu jadi bertambah kacau karena hal itu, hiduplah dengan kenyataan itu. Berani melangkah, harusnya berani hadapi resikonya. Berani menikah, harusnya berani hadapi semua tantangannya. Bukan pergi begitu saja, saat semuanya tidak berjalan baik-baik saja.

Dampak perceraian... ya, itu yang mau saya utarakan. Saya mengenal beberapa anak hasil korban perceraian orang tua. Baiklah, kalau ada yang berkata, "mereka baik-baik saja." Atau "kalau anak selalu hidup dalam konflik rumah tangga, tidak baik untuk perkembangannya." Saya mau bilang: BULLSHIT! Omong kosong. Itu hanya pernyataan pembenaran. Perkataan pembelaan dari orang yang melakukannya. Tidak ada yang baik-baik saja dari peristiwa perceraian. Disadari atau tidak, itu hanya meninggalkan luka batin yang dalam. Mungkin tidak terlihat oleh orang sekitar, bahkan keluarga dekatnya. Tapi percayalah, itu yang dirasakan oleh mereka yang menjadi korban. Dan luka batin yang dalam itu, berubah menjadi trauma.

Lihatlah, berapa banyak anak korban perceraian yang takut untuk menikah. Takut untuk menjalin hubungan. Mau diakui atau tidak, hal itu adalah buah kepahitan yang tertanam dalam diri mereka. "Semua laki-laki itu brengsek," atau "semua perempuan itu pelacur."

Tapi memang, ada juga anak korban perceraian yang hidupnya baik. Tapi tidak baik-baik saja. Mana ada sih gelas kaca yang terbelah dua, tapi tidak meninggalkan bekas sedikitpun. Bisa disatukan lagi tanpa terlihat bekas-bekas pecahannya? Kalau pakai lem ajaib dari kantongnya Doraemon mungkin bisa.
Ya, di dunia ini tidak ada yang absurd. Hanya kebenaran dari Sang Pencipta lah yang mutlak. Semua yang ada di dunia ini itu relatif.

Saya hanya pernah belajar dari seorang istri yang mempertahankan rumah tangganya, betapapun brengseknya sang suami. Dia pernah bilang kira-kira seperti ini, "lha wong saya udah janji sama Tuhan buat hidup bersama, susah atau senang, sehat atau sakit, ya saya bakal tepati janji itu. Kalau Tuhan yang mempersatukan, pasti saya akan diberi kekuatan. Tapi kalau Tuhan berkehendak lain, biarlah kami bercerai oleh kematian. Biarlah saya mati saat disiksa suami, atau mati karena penyakit. Tapi saya tidak pernah menyerah, saya yakin suatu hari nanti suami saya akan berubah menjadi lebih baik. Saya mencintai anak-anak saya, saya tidak mau meninggalkan mereka sendiri."

Untuk beberapa perempuan modern, hal itu memang terlihat konyol. Terlihat tolol. "Hari gini masih betah sama laki-laki brengsek?" gitu kata mereka. Yang kemudian mengurus sidang perceraiannya.

Tapi saya lihat pengaruh positif ke anak-anaknya, "saya lihat mami berjuang keras buat hidupnya. Buat hidup kami. Buat keluarga kami. Saya harus bisa seperti itu. Kalau nanti saya menikah, mami pernah bilang kalau saya harus hadapi semua resikonya. Mami mengajarkan pada kami, untuk tetap fight pada apa yang sudah jadi pilihan kami. Ya saya juga harus bisa seperti mami."

Dan keluarga itu sudah memasuki usia pernikahan ke 32 (kalau gak salah inget), dan suaminya sudah menjadi "baik". Beberapa tahun lalu, suaminya diberi anugerah penyakit stroke yang membuatnya lumpuh. Sekarang, dia hanya bisa duduk di kursi roda, dengan perawatan dari istri tercintanya. Wanita hebat, yang berjuang untuk rumah tangganya.

Anak-anaknya juga sudah "menjadi orang" semua. Perkara karma karena kelakuan salah satu orang tuanya (ayahnya), itu 100% urusan Tuhan, saya tidak berhak berkomentar soal itu. Saya hanya melihat itu semua sebagai sebuah pelajaran.

Tidak ada yang sia-sia saat kita mau berjuang. Tidak ada yang terlalu sakit saat kita mau mempertahankan biduk rumah tangga kita. Mungkin sakitnya hanya sebentar. Atau bisa saja sampai mati. Tapi itu semua memang patut diperjuangkan, worthed it, karena kita sudah berani melangkah untuk masuk di dalamnya, dalam rumah tangga dan segala yang ada di dalamnya.

********/*******

Mengapa (begitu mudah) bercerai?

Saat beberapa pasangan lain, berjuang hingga titik darah penghabisannya mempertahankan hidup rumah tangganya, beberapa pasangan lain dengan mudahnya memencet nomor ponsel pengacaranya.

Saat beberapa pasangan lain, menangis dan mencoba bertahan di kerasnya hidup rumah tangganya, beberapa pasangan lain dengan mudahnya mulai mencari pengganti istri/suaminya.

Saat beberapa pasangan lain, memutar otak mencari penyelesaian perselisisihan dan masalah rumah tangganya, beberapa pasangan lain dengan mudahnya berpikir untuk bagaimana mengakhiri itu semua di pengadilan agama.

Sebaiknya, dan mungkin seharusnya, kata "cerai" itu dibuang dalam kosakata hidup kita, saat masuk dalam babak baru sebuah kehidupan: hidup berumah tangga. Sehingga saat masuk masa "ring of fire" dalam hidup rumah tangga kita, kita lupa bagaimana mengatakannya.


-apa yang telah dipersatukan Allah, tidak dapat diceraikan oleh manusia-

No comments:

Post a Comment