Friday, May 21, 2010

Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Memberi motivasi kepada orang untuk bertumbuh, tanpa memberi sarana untuk melakukannya, adalah sebuah tragedi.(John C. Maxwell)


Harkitnas, Hari Kebangkitan Nasional ke 102, diperingati hari ini, 20 Mei 2010.

Sudah bangkit kah negeri ini dari keterpurukan? Dari kemiskinan? Dari penjajahan kaum kapitalis?


Kalau dibandingkan 102 tahun yang lalu, negeri ini sudah lebih baik lah. Paling tidak, penjajahan yang terlihat nyata dari kompeni Belanda sudah tidak ada. Tapi penjajahan yang tak kasat mata, dari negara asing lainnya, dari kaum pribumi yang menjadi penguasa, saya kira masih ada. Harkitnas seharusnya jangan hanya diperingati dengan upacara bendera saja, tapi lebih kepada melihat realitas yang ada.

Pasal 34 UUD 1945 menyebutkan, "fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara."

Ya, alangkah lucunya negeri ini jika berkaca pada pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945. Negara, dalam hal ini direpresentasikan oleh para pemimpin di pemerintahan, mulai bingung dalam merealisasikan pasal ini. Bagaimana memelihara fakir miskin dan anak terlantar yang jutaan banyaknya? Bahkan saat BLT (Bantuan Langsung Tunai) atau raskin (Beras Untuk Rakyat Miskin) akan dibagikan, angka kemiskinan di negeri ini malah bertambah. Banyak orang yang mampu secara ekonomi, menjadi ngaku-ngaku miskin. Ya, memang alangkah lucunya negeri ini.

Di satu sisi, banyak kaum intelegensia yang berteriak, "kejarlah mimpimu." Tapi di sisi lain, banyak anak-anak, generasi potensial yang busung lapar, homeless, tidur beratapkan langit, hingga menerima nasib diperjualbelikan kaumnya sendiri. Mereka, yang tiap hari bingung mau makan apa hari ini (bukan mau makan di mana hari ini), yang tiap hari bingung mau tidur di mana saat malam hari, yang tiap hari belum tentu bisa makan nasi (tidak lagi berpikir nasi baru atau basi), apakah impian mereka? Mimpi mereka hanya sederhana: makan tiap hari, tidur di kasur dan selalu ada tempat untuk berteduh dari panas dan hujan. Itu saja. Orang seperti mereka, boro-boro mimpi punya mobil atau apartemen, jadi dokter atau pengacara. Impian mereka adalah hanya bisa tetap bertahan hidup. Otak mereka (mungkin) tidak sampai, jika membicarakan impian yang terlalu tinggi.

Film "Alangkah Lucunya (Negeri Ini)", sedikit banyak menyinggung soal fenomena ini. Soal satpol PP yang suka melakukan penertiban sewenang-wenang pada para pedagang, menangkapi penjaja asongan hingga para pengamen jalanan. Saat saya melihat kejadian-kejadian itu di TV, saya hanya berpikir, "Sama-sama cari makan kok diributkan? Bukankah lebih baik jadi pengasong, buka lapak dagangan dan jadi pengamen, bukan? Daripada jadi garong, copet, dan pekerjaan sejenis yang sebenarnya lebih meresahkan."

Tapi itulah realita di negeri ini. Jika dulu pernah ada tayangan, "Hanya Ada di Indonesia", yang meliput hal-hal "lucu" yang hanya terjadi di Indonesia, sekarang hal ini lebih dibuat fokus dalam film durasi 90 menitan. Tapi apakah sindiran dan pesan moral film itu sampai ke mata hati dan telinga para pemimpin negara? Mungkin. Tapi sampai hari ini, belum pernah diberitakan, presiden kita membuat acara "nonton bareng" bersama para staf menteri dan koleganya, untuk menonton film ini.

Semoga dengan peringatan ke 102 Hari Kebangkitan Nasional, yang jatuh pada hari ini, negara ini bisa lebih baik lagi. Tidak ada lagi "dagelan" di media, yang lakonnya malah para pemimpin negara ini. Semoga.



Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh karakter moral masyarakatnya serta prinsip-prinsip yang melandasi kehidupan pribadi masing-masing anggota masyarakat tersebut.
(Edwin Louis Cole)

No comments:

Post a Comment