Tuesday, February 23, 2010

Angin, Daun, dan Pohon

Namaku Bayu, bangsa angin, ras sepoi-sepoi. Aku sudah mengelilingi dunia, semua tempat di lima benua, baik yang indah maupun sebuah antah berantah, telah aku kunjungi. Aku suka berkeliling, melihat tingkah laku semua makhluk Tuhan di bawah sana. Kadang membuatku tertawa, kadang membuatku merenung, bahkan menangis ketika aku melewati benua hitam, benua Afrika mereka menyebutnya.
Hingga akhirnya, aku sampai di tempat ini, di hutan yang mereka namakan Amazon. Aku suka tempat ini, teduh, jauh dari kebisingan mesin dan asap yang disebabkannya. Aku suka bermain dengan air dan ikan-ikan di dalamnya. Aku meniup mereka, dan mereka beriak tertawa, ikan-ikan melompat-lompat ingin bermain juga.
Teman -temanku sudah mengajakku pergi, untuk berkeliling lagi, tapi aku sudah nyaman disini. Lagipula, aku mempunyai teman baru, namanya Livi. Aku suka padanya, ingin mengajaknya bermain bersama, tapi dia lebih suka menatap Alberto, pohon oak yang menjulang tinggi. Paling tinggi diantara kawan-kawannya.

Namaku Livi, bangsa daun, ras menjari. Aku dari kecil hidup dengan Alberto, dan aku selalu menempel padanya. Aku suka mendengar cerita-cerita darinya, juga teman-temanku yang lain. Mereka semua suka pada Alberto, karena Alberto lah kami tetap hidup. Tapi, perasaanku padanya lebih dari sekedar suka.
Aku cinta padanya.
Aku tidak akan lelah untuk tetap berpegangan pada rantingnya, walaupun bangsa angin coba menerbangkanku. Dan aku pikir, Alberto juga memegangiku erat, karena beberapa kawanku lepas, terbang entah kemana dibawa bangsa angin yang sedang marah melintas. Tapi, akhir-akhir ini, aku tahu ada yang memperhatikanku. Kata temanku dia bernama Bayu, bangsa angin yang ditinggalkan teman-temannya, atau karena dia ingin tetap tinggal disini? Bayu suka merayuku untuk pergi dengannya, meninggalkan Alberto disini. Tapi dia tidak mempunyai kekuatan seperti teman-temannya, yang bahkan mampu membuat Alberto melakukan kuda-kuda, agar tidak jatuh tumbang seperti beberapa kawannya. Aku tahu, setiap hari, setelah bermain dengan air dan ikan-ikan di sungai yang tidak jauh dari sini, Bayu kemudian pergi ke hutan ini, menggodaku agar mau pergi bermain dengannya. Tapi aku acuh, tak bergeming, aku tidak ingin meninggalkan Alberto sendiri. Aku cinta padanya. Aku rela mati untuknya, dan seperti yang lain, akhirnya aku akan membusuk dan menjadi makanannya. Tapi aku tak peduli itu, bukankah cinta memang harus berkorban? Dan begitulah setiap harinya, godaan Bayu tak kuhiraukan.

Namaku Alberto, bangsa pohon, ras oak. Aku terlahir dengan tubuh yang kuat, karena kata mereka, badanku adalah yang terbaik dari semua bangsaku yang yang lain. Aku paling tinggi dari semua teman-temanku, dan entah kenapa aku tidak menyukai itu. Aku selalu terkena panas dari sang matahari, yang dengan pongahnya duduk di singgasana di atas sana. Seolah-olah tidak peduli pada kami yang terbakar disini. Aku juga selalu terkena sang hujan. Dengan dingin mereka menghajarku seolah-olah aku tiada berdaya. Tapi, karena matahari dan hujanlah, aku bisa menjadi seperti sekarang.
Menjadi tinggi dan kuat.
Aku tahu ada beberapa kawanku yang tidak suka denganku. Mereka menganggapku tidak mau berbagi hujan dan cahaya matahari. Tapi kawan, bukan kehendakku menjadi yang tertinggi dan mempunyai ranting yang menutupi sinar matahari. Bukan salahku mempunyai daun yang lebat sehingga menghalangi hujan langsung jatuh ke bumi.
Daun. Aku mempunyai banyak daun.
Aku tidak mengenal mereka satu per satu, tapi aku tahu ada Livi yang selalu memperhatikanku. Kata rantingku, dia jatuh cinta padaku. Tapi aku tak bisa mencintainya. Bagaimana mungkin aku hanya mencintai satu daun dan menghiraukan yang lainnya? Tidak. Aku tidak boleh membiarkan dia jatuh cinta padaku.

Bulan demi bulan berganti. Tapi rutinitas itu tak berganti.

Bayu tetap berharap bisa membawa Livi pergi, Livi tetap menatap pada Alberto, dan Alberto tetap tak peduli akan sinyal cinta yang disampaikan Livi melalui air di tubuhnya. Hanya air yang bisa merasakan hangat cinta Bayu kepada Livi, dan Livi kepada Alberto. Dan air pun berkata akan cinta Bayu pada Livi, melalui aliran di dalam tulangnya. Tapi Livi tetap tak menghiraukan. Livi pun kemudian menolak, jika ada aliran air yang akan menembus tulangnya, ia tetap bersikeras bahwa suatu hari nanti, Alberto akan tahu betapa besar cintanya padanya.

Hari berganti hari, Livi semakin lemah. Tubuhnya tidak hijau lagi, mulai menguning, dan hampir mati. Ia tetap menolak aliran air masuk ke dalam ruas tulangnya. Ia ingin membuktikan cintanya pada Alberto. Dan Bayu, tidak tinggal diam melihat hal ini. Dengan seluruh kekuatannya, ia meniup Livi, agar tidak mati sebelum dia tahu cintanya padanya. Livi bertahan, berpegang erat pada Alberto. Alberto tahu akan hal ini, tapi dia tetap pada pendiriannya semula, dia tidak bisa jatuh cinta pada Livi. Livi sangat lemah, apalagi setelah dia tahu, bahwa Alberto tidak memeganginya erat, dia hanya bisa pasrah dan berserah. Akhirnya Livi terlepas dari Alberto, dibawa pergi oleh Bayu, melihat isi dunia yang selama ini hanya dia lihat dalam sosok Alberto. Ya, cinta sudah membutakannya. Bersama Bayu, dia akhirnya sadar satu hal, bahwa lebih baik belajar mencintai Bayu yang mencintainya, daripada berharap akan cinta pada Alberto yang tidak pernah sedetik pun mencintainya.

Livi, sebelum kematiannya, telah merasakan cinta yang ia ingin rasakan. Di dalam dekapan Bayu, dia akhirnya merasakan ketenangan dan keindahan. Ia menyesal, mengapa tidak memilih Bayu dari dulu. Tapi Bayu tidak pernah menyesal, walau hanya sehari Livi berada dalam peluknya. Sebab dia tahu, inilah cinta sejatinya.

Apakah daun terlepas dari pohon karena tiupan angin yang membawanya? Atau... daun terlepas dari pohon karena pohon tidak mempertahankannya?

No comments:

Post a Comment