Thursday, February 4, 2010

Paradoks

Kasus #1:
Orang ingin mengurangi panas di dalam rumah dengan membeli AC. Padahal panas berlebih seperti sekarang ini akibat global warming, freon AC adalah salah satu penyebab efek rumah kaca. Di sisi lain, efek pemanasan global menjadi semakin luas dan bertambah cepat karena populasi AC bertambah. Juga menambah konsumsi listrik, padahal energi sumber listrik tidak bertambah.

Kasus #2:
Saat masih muda, energik, mati-matian mencari uang, workaholic, sehingga sering lupa beristirahat. Dan saat masa tuanya, uang yang dikumpulkan tidak bisa dinikmati karena habis untuk membiayai pengobatan penyakit-penyakit di dalam tubuhnya akibat hidup yang tidak sehat saat masa mudanya.

Kasus #3:
Makan makanan yang enak-enak, pasti mahal. Dan biasanya, makanan yang enak di lidah, berpotensi menimbulkan penyakit, seperti kolesterol dan darah tinggi. Agar mencegah hal itu, kemudian orang berusaha berolahraga untuk meminimalisir akibat yang tidak diharapkan. Dan tidak jarang, untuk hal ini, orang kemudian mengeluarkan uang untuk membeli peralatan fitness atau membayar biaya seorang personal trainer (PT). Juga mengkonsumsi obat untuk mengurangi darah tinggi dan penyakit sejenis akibat makan makanan "enak" tadi. Sehingga lebih banyak harga (baca: uang) yang harus dikeluarkan untuk "mengeluarkan" kandungan makanan enak tersebut yang berlebih di dalam tubuh.

Kasus #4:
Dulu untuk sebuah SMS (Short Message Service) tiap pengguna membayar Rp. 350,- (dalam negeri) dan Rp. 1000,- (luar negeri). Tarif telepon juga tinggi. Kemudian, karena biaya komunikasi di negara ini dianggap paling mahal se-Asia, pemerintah kemudian menurunkan tarif komunikasi sampai semurah sekarang ini.
Tarif SMS hanya Rp. 15,- semua operator dan telepon hanya Rp. 300,- sepuasnya ke sesama operator (tarif salah satu operator seluler).
Apakah anggaran rumah tangga untuk biaya komunikasi menurun? Saya kira tidak. Justru bertambah. Contohnya saya, 7 tahun lalu saya hanya menghabiskan 25ribu sebulan untuk biaya komunikasi. Sekarang saya bisa menghabiskan hingga 100ribu dalam sebulan. Padahal tarif turun hingga 2000% daripada 7 tahun lalu. Mengapa ini bisa terjadi? Apakah karena murah, pemakaian jadi bertambah? Atau karena fenomena "satu ponsel tidak cukup", sehingga harus "menafkahi" (baca: menghidupi) 2 atau 3 ponsel dalam sebulan?
Di sisi lain, karena penurunan tarif, kualitas layanan juga semakin buruk. Pihak operator berdalih karena semakin banyak user (baca: pelanggan), tapi biaya untuk maintenance (baca: perawatan) atau memperbaiki fasilitas tidak bertambah. Juga karena persaingan di dunia seluler semakin ketat, perang tarif menjadi cara paling masuk akal untuk menjaring lebih banyak pelanggan.

Kasus #5:
Jalanan semakin hari semakin macet karena jumlah kendaraan bertambah, tapi tidak dibarengi dengan bertambahnya ruas jalan. Populasi kendaraan bermotor, terutama di kota besar terus meningkat dari hari ke hari. Bahkan pada beberapa keluarga kaya, hal yang wajar mempunyai 1 mobil untuk tiap anggotanya. Pemerintah menganjurkan masyarakat menggunakan fasilitas angkutan umum dan menaikkan pajak kendaraan bermotor agar jumlahnya bisa ditekan. Di sisi lain, perusahaan otomotif gencar melakukan penjualan dengan berbagai iklan, untuk menambah kendaraan yang berseliweran di jalan. Perusahaan otomotif berkepentingan karena mempunyai ribuan karyawan, dan mereka harus menjual sesuatu agar perusahaan tetap berjalan. Belum lagi bisnis asuransi dan kredit yang juga hidup dari adanya transaksi jual-beli kendaraan. Fasilitas angkutan umum juga tidak lebih baik dan tidak menjangkau semua kawasan. Siapa yang salah? Masyarakat, perusahaan yang berkepentingan, atau pemerintah?

Kasus #6:
Karyawan dan buruh berdemo menuntut haknya pada perusahaan tempat mereka bekerja. Tidak jarang hal ini membuat kemacetan atau penutupan jalan. Di sisi lain, pengguna jalan menjadi kehilangan haknya untuk mengakses jalan yang biasanya dilewati, menjadi "ganti kompas" sehingga waktu dalam perjalanan menjadi bertambah. Juga bisa jadi, saat itu ada orang yang sedang kritis di sebuah ambulance, menjadi meninggal karena menempuh perjalanan yang lebih lama untuk sampai ke rumah sakit, akibat pemblokiran jalan karena ada orang-orang yang menuntut haknya. Apakah benar, menuntut hak tapi mengabaikan hak orang lain?

Kasus #7:
Mahasiswa berdemo di Senayan menuntut agar negara tidak mengeluarkan uang yang tidak perlu untuk memfasilitasi menteri, pejabat tinggi negara dan anggota dewan. Tetapi yang terjadi kemudian, mereka melakukan aksi anarkis dengan menghancurkan pagar gedung MPR/DPR juga beberapa mobil dinas. Bukankah hal itu malah membuat sebuah "proyek" baru bagi segelintir oknum untuk berpikir, bagaimana menghabiskan uang negara? Dengan dalih memperbaiki pagar dan fasilitas lain yang rusak, siapa yang bisa jamin tidak ada korupsi yang terjadi di "proyek" yang disebabkan ulah mahasiswa, yang menuntut penghematan uang negara?

********/*******

Masih banyak paradoks (hal yang bertentangan) antara maksud tujuan dengan akibat yang disebabkan tujuan awal. Ada yang mau menambahkan lagi "pikiran paradoks" manusia di jaman sekarang ini?

Untuk mengatasi hal ini, mungkin dibutuhkan sebuah harmoni dan pikiran jangka panjang sebelum melakukan sesuatu.


PS. Kasus #4 mungkin bukan tergolong paradoks, hanya curcol dari saya :)

No comments:

Post a Comment