Tuesday, February 2, 2010

Kisah Sedih di Pagi Hari

Kisah ini terjadi di suatu pagi yang cerah. Mungkin tidak begitu cerah untuk seorang ayah, yang kebetulan memeriksa kamar putri sulungnya. Dia mendapati kamar itu sudah rapi, dengan selembar amplop bertuliskan "Untuk Ayah" di atas kasurnya. Begini isi surat itu,

Ayahku yang tercinta, aku menulis surat ini dengan perasaan sedih dan sangat menyesal.
Saat ayah membaca surat ini, aku telah pergi meninggalkan rumah. Aku pergi bersama kekasihku. Dia cowok yang baik dan sayang padaku. Setelah bertemu dia, ayah juga pasti akan setuju dia menjadi suamiku, meski dengan tato dan piercing yang melekat di tubuhnya, juga dengan motor butut serta rambut gondrongnya. Dia sudah cukup dewasa meskipun belum begitu tua (aku pikir jaman sekarang 45 tahun tidaklah terlalu tua). Dia sangat baik terhadapku, lebih lagi dia ayah dari anak di kandunganku saat ini. Dia memintaku untuk membiarkan anak ini lahir dan kita akan membesarkannya bersama.
Kami akan tinggal berpindah-pindah, dia punya bisnis perdagangan obat bius yang sangat luas. Dia juga telah meyakinkanku bahwa ganja tidaklah begitu buruk. Kami akan tinggal bersama sampai maut memisahkan kami. Para ahli pengobatan pasti akan menemukan obat untuk AIDS, jadi dia bisa segera sembuh. Aku juga tahu dia punya wanita lain, tapi aku percaya dia akan setia padaku dengan cara yang berbeda.

Ayah, jangan khawatirkan keadaanku. Aku sudah 18 tahun sekarang, aku bisa menjaga diriku. Salam sayang untuk kalian semua. Oh iya, berikan bonekaku untuk adik, dia sangat menginginkannya.

********/*******

Masih dengan perasaan terguncang dan tangan gemetaran, sang ayah membaca lembar kedua surat dari putri tercintanya itu...

Ayah, tidak ada satupun dari yang aku tulis di kertas tadi itu benar. Aku hanya ingin menunjukkan ada ribuan hal yang lebih mengerikan daripada hasil semesterku yang buruk. Kalau ayah sudah melihat Kartu Hasil Studiku di atas meja,
jangan marah ya. Aku akan berusaha lebih baik lagi semester depan.

PS. Aku tidak kemana-mana, saat ini aku lagi main di rumah tetangga sebelah.

[anonim]

********/*******

Sebagai orang tua, seberapa sering kita menetapkan standar yang terlalu tinggi untuk anak-anak kita? Harus ranking satu lah, harus bisa bahasa inggris lah, harus bisa main musik, sepak bola, dan lain sebagainya. Gak salah memang kita selalu menginginkan yang terbaik dari anak kita. Tapi terkadang, hal ini dianggap egoisme orang tua semata oleh anak-anak kita.

Juga dalam hal sepele lainnya. Saat sedang mencuci piring, dan anak kita datang bermaksud membantu kita. Tapi yang terjadi, anak kita malah memecahkan piring atau gelas. Apa yang biasanya orang tua lakukan? Marah. Sepertinya hal itu adalah kesalahan terbesar yang pernah diperbuat oleh si anak. Padahal, saat piring atau gelas kita dipecahkan oleh rekan kerja atau teman kita, reaksi kita tidak lah sebesar reaksi terhadap anak kita. Mengapa kita bisa memaklumi orang lain yang tidak hidup dengan kita, tapi tidak toleransi kepada anggota keluarga sendiri, meskipun dia adalah anak kandung kita.

Anak bukanlah sebuah investasi, yang diharapkan nantinya memberikan keuntungan tersendiri. Anak adalah seorang pribadi, yang berhak mendapat perlakuan sama seperti orang lainnya. Seorang anak tidak pernah mengharap untuk dilahirkan, oleh karena itu bukan hak orang tua untuk memperlakukan mereka seenaknya. (film "Pintu Terlarang")

Tiap anak berpotensi membuat hal-hal yang baik, tapi juga berpotensi berbuat hal yang buruk bahkan di luar akal kita sebagai orang tua. Oleh karena itu, bersyukurlah jika anak anda masih menjadi anak yang baik, yang masih bisa membedakan apa yang harusnya dia lakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
"Biar bagaimana pun juga, dia anak anda," kata seorang psikolog anak saat seorang tua konsultasi mengenai kesalahan yang telah diperbuat anaknya.

Kadang orang tua melihat anak mereka sebagai cermin dirinya, baik kebiasaan yang baik atau kebiasaan buruknya. Tapi, seringnya, orang tua enggan mengakui kebiasaan buruknya yang terpantul dalam tingkah anaknya. Dan, para orang tua selalu ingin mengubah itu, dengan berbagai macam cara. Dan memang, hal itu kadang susah untuk dilakukan. Tapi jika kita, para orang tua, bisa menerima hal yang baik dari anak kita, mengapa kita tidak bisa menerima yang buruk?

********/*******

Suatu hari terdengar pembicaraan ini dalam sebuah keluarga,
"Kok kamu bisa bodoh seperti ini? Kamu liat si Andi tetangga sebelah rumah, kenapa dia bisa ranking satu tapi kamu ranking tujuh?"
"Kan dia bapaknya pintar", jawab si anak dengan masygul.

[anonim]

********/*******

1 comment:

  1. Makasih koreksinya. Itu cerita di awal dan di akhir emang bukan murni tulisan saya. Tapi saya juga lupa sumbernya.

    ReplyDelete