Saturday, August 14, 2010

Alasan adanya Penderitaan (?)

Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir? Seolah-olah bila kita membagi sejarah, maka yang kita jumpai adalah pengkhianatan. Seolah-olah dalam setiap ruang dan waktu kita hidup diatasnya.

Ya, betapa tragisnya.

Hidup adalah penderitaan, kata Budha, dan manusia tidak bisa bebas dari padanya. Bagiku, kesadaran sejarah adalah sadar akan hidup dan kesia-siaan nilai-nilai. Memang hidup seperti ini tidak enak. Happy is the people without history, kata Dawson, dan sejarahwan adalah orang yang harus mengetahui dan mengalami hidup yang lebih berat.
[Soe Hok-Gie]

Bukan, tulisan ini bukan soal Soe Hok-Gie. Tulisan berikut tentang pertanyaan-pertanyaan pribadi saya yang tidak bisa saya tanyakan pada siapapun, termasuk kepada seorang bapak yang baru saja "melakukan sesi curhat" dengan saya. Karena alasan etika, saya tidak bisa bertanya kepadanya. Tapi kisahnya akan saya tuliskan nanti.

Tulisan Gie saya kutip karena pertanyaan yang berputar di dalam kepala saya saat ini: mengapa hidup ini selalu menderita? Mengapa bahagia hanya sekejap mata, kemudian manusia kembali berkubang dalam genangan air mata? Mengapa manusia tidak belajar dari generasi sebelumnya? Mengapa saya hidup lama di dunia? 23 tahun sangat lama, entah masih berapa lama lagi saya harus menderita.

Sejarah dunia banyak bercerita tentang perlawanan yang berbuah kemerdekaan dan kebebasan, walau kemudian dengan alasan estetika dan sejenisnya, sering mengesampingkan cerita tentang pembantaian dan kematian oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya. Ada yang berperan sebagai penyiksa, pemerkosa, pemeras, pengkhianat, dan pembunuh. Dan tentu saja ada yang disiksa, diperkosa, diperas, dikhianati, dan dibunuh oleh sesamanya. Seakan-akan itulah yang dimaksud dengan "pengorbanan".


Apakah jika ingin menguasai berarti harus membantai? Apakah jika ingin merdeka harus memperkosa? Apakah jika ingin bertumbuh harus membunuh?


Kisah kekejaman manusia yang terakhir saya baca adalah mengenai Insiden Dili, Timor Timur, yang sekarang sudah menjadi negara tetangga. Dulu, militer yang berkuasa disana pernah membantai orang-orang tak bersenjata. Saya tahu adanya rantai komando di organisasi kemiliteran. Kopral patuh pada sersan, sersan patuh pada letnan, letnan patuh pada kapten, kapten patuh pada mayor, mayor patuh pada kolonel, kolonel patuh pada jenderal, dan jenderal patuh pada pimpinan komando tertinggi militer. Karena itu saya bertanya-tanya, siapakah yang bertanggung jawab atas peristiwa pembantaian manusia disana? Apakah pemimpin tertinggi komando militer di negeri ini? Kemudian saya bertanya lagi kepada diri saya sendiri, apakah bekerja menjadi tentara akan membuat hati nurani menjadi tidak lagi berfungsi?

Sebuah wawancara fiktif pernah saya pikirkan, seandainya saya bisa masuk ke dalam ruangan di hati para tentara, yang diperintahkan untuk membantai dan menyiksa orang-orang yang tak bersenjata.

Saya akan bertanya padanya, "mengapa anda melakukan itu semua?"

Tentara itu duduk tegak di hadapan saya, dan terdapat meja kecil diantara kami. Diatas meja itu ada selembar foto dirinya diberi salam oleh seorang jenderal bintang
empat, ketika dia menerima hadiah kenaikan pangkat.

"Saya sebenarnya tidak pernah tahu alasan kami mengadakan operasi militer di kota Ningi. (*)
Saya, batalyon kami, hanya diperintahkan untuk melawan sekelompok orang yang dianggap berseberangan paham dengan negara ini, oleh jenderal-jenderal tua yang tidak pernah ke medan perang, yang hanya bisa menerima dan membaca laporan, merundingkan perdamaian, kemudian menegoisasikan nyawa kami, seolah-olah kami ini hewan kurban."

Tentara itu kemudian menyorongkan tubuhnya ke depan, seolah-olah takut ada yang mendengarkan, dengan berbisik dia berkata, "hanya satu yang saya takutkan setelah melakukan ini semua, tidak, ada dua... yaitu jika saya ternyata membunuh orang benar dan yang tidak bersalah hanya karena perintah dari atasan yang hanya pernah saya lihat dari kejauhan, dan karma itu ditanggung anak cucu saya kemudian."

Dia terdiam sejenak. Kembali duduk dengan tegak. Menerawang jauh, tapi pandangannya kosong.

Setelah itu dia melanjutkan, "sampai hari ini, saya masih belum mengerti mengapa saya diperintahkan untuk menarik pelatuk senapan, menusuk lambung para gerilyawan, hingga memotong lidah dan mencungkil mata mereka. Kata letnan, hal itu dilakukan untuk mempertahankan kemerdekaan."

Lelaki itu menangis. Walau tidak mengeluarkan air mata, saya tahu dia menangis. Suaranya terdengar pilu dalam ruang di hati kecilnya itu saat dia berkata, "tapi kemerdekaan siapa?"
Setelah itu dia menatap mata saya. Seolah-olah mencari jawaban disana,
"kawan, apakah engkau tahu apa itu kemerdekaan?"

Saya tidak tahu, saya tidak bisa menjelaskan apa itu kemerdekaan. Yang saya tahu, orang di depan saya ini sekarang berpangkat letnan, dan ketika peristiwa itu terjadi dia masih berpangkat sersan.

Kemudian saya bertanya-tanya, apakah karena itu keluarga para tentara jarang ada yang bahagia? Selalu ada saja masalah disana. Terutama ada saja musibah yang menimpa anak-anaknya. Apakah itu karena karma?

Saya mengenal dua keluarga yang karir kepala keluarganya dari kalangan militer. Sudah purnawirawan. Yang satu pangkatnya kolonel, satunya lagi pangkatnya brigadir jenderal ketika pensiun. Anak-anaknya, ada saja tertimpa malapetaka. Ada yang meninggal, ada yang hamil diluar nikah, ada yang cacat karena kecelakaan, ada yang gagal hidup pernikahannya, hingga ada cucunya yang sering sakit-sakitan.
Pertanyaan saya berlanjut. Bagaimana jika seandainya mereka bukan dari keluarga tentara? Apakah mereka akan hidup bahagia? Apakah mereka tidak pernah ditimpa bencana?

Pikiran saya meluas. Apakah penderitaan di negeri ini karena sejarah kelam masa lalunya? Sejarah tentang perebutan tahta kekuasaan, pengkhianatan, hingga pertumpahan darah untuk merebut daerah kekuasaan. Tentang penjarahan, tentang pembakaran gedung bangunan, tentang pemerkosaan, tentang penculikan, tentang pembantaian, tentang kejahatan-kejahatan manusia lainnya yang kemudian dikutuk oleh mereka yang teraniaya. (**)

Hingga kemudian saya berpikir: jangan-jangan satu per satu penderitaan dalam hidup ini karena salah manusia sendiri.

Seorang bapak, entah siapa namanya, barusan saja curhat (bercerita) kepada saya. Dia dulunya adalah "penikmat wanita" sejak duduk di bangku SMA. Sudah tak terhitung lagi berapa kali dia bercinta, tidak ingat juga berapa banyak wanita yang sudah ditidurinya. Dari mulai yang masih perawan, hingga yang "sudah langganan".
Singkat cerita, dia bertobat. Katanya karena sudah menemukan yang tepat. Setelah menikah, dia dikaruniai dua (2) orang putri dan satu (1) putra.
Saat anak pertamanya tumbuh dewasa, dia selalu khawatir ketika anaknya itu pergi dengan teman laki-lakinya. Entah kenapa, dia selalu melihat bahwa semua laki-laki itu sama saja seperti dirinya. Bapak ini selalu terbayang masa lalunya. Malah saking takutnya, dia pernah menyuruh semua anak perempuannya dilarang bergaul dengan laki-laki. Tapi yang terjadi, anak-anaknya malah semakin menjauhi bapaknya karena larangan yang dianggap terlalu otoriter ini. Anaknya, putri sulungnya, sekarang sudah masuk SMA. Bapaknya hanya bisa berdoa semoga semua anak perempuannya tidak menjadi korban laki-laki versi dirinya 30 tahun yang silam.

Ah, seandainya Tuhan tidak membalaskan kesalahan seorang bapak kepada anak-anaknya...


"...sebab Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku," [Keluaran 20 : 5]

"Tuhan itu berpanjangan sabar dan kasih setia-Nya berlimpah-limpah, Ia mengampuni kesalahan dan pelanggaran, tetapi sekali-kali tidak membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, bahkan Ia membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat." [Bilangan 14 : 18]


Yogyakarta, 14 Agustus 2010 (01:38 AM)

(*) Kota di buku "Saksi Mata" yang menceritakan Insiden Dili (Seno Gumira Ajidarma)
(**) Ketika menulis paragraf ini, saya teringat akan peperangan saat jaman kerajaan masih ada, hingga jaman pendudukan Belanda, dan semua penumpasan pemberontakan atau kerusuhan di era orde baru maupun orde lama

No comments:

Post a Comment