Monday, August 9, 2010

Terbiasa Berdosa

Beberapa waktu lalu, saat saya jalan bersama teman sepulang makan siang, saya berkata padanya: "enak ya punya rumah di pinggir jalan gini, deket kawasan perkantoran, tinggal buka usaha warung makan, pasti laris."
Teman saya lalu menjawab, "malah gak enak. Berisik."
"Lha kalau udah biasa, lama-lama kan gak kedengeran lagi berisiknya. Sama kayak orang yang rumahnya dekat rel kereta api. Awal-awalnya pasti terganggu dengan suara kereta api, lama-lama udah biasa, seolah-olah gak dengar lagi kalo kereta api sedang lewat."
Teman saya lalu menepuk pundak saya, "nah itu boi bahayanya kalo udah terbiasa. Jadi gak mawas lagi."

Saya kemudian teringat sebuah acara talkshow di salah satu stasiun TV swasta nasional. Tergelitik dengan salah satu sesi acaranya, ketika para bintang tamu disuruh membuat pengakuan dosa di hadapan pemirsa televisi. Perihal perbuatan dosa yang selalu teringat dalam benak mereka. Yang menarik, salah satu bintang tamu di acara itu berkata bahwa dia tidak mempunyai pengakuan dosa yang harus dikatakan. Padahal bintang tamu lain sudah menceritakan tentang "dosa-dosa masa lalu"nya, dari mulai suka bolos sekolah, sampai makan di warung gak bayar. Tapi saat giliran bintang tamu itu harus mengucapkan pengakuan dosanya, dia bingung mau bilang apa. Apa karena kebanyakan dosa jadi bingung nyebutinnya, atau karena dia merasa hanya melakukan dosa-dosa kecil saja, sehingga merasa itu semua bukanlah dosa? Entahlah...

Bagi saya, tidak ada dosa kecil maupun dosa besar. Dosa tetap dosa, seberapa remehnya hal yang telah dilakukan, jika melanggar perintah Allah, itu artinya dosa. Dan apapun bentuknya, berapa besar efeknya tehadap hidup kita atau orang lain, itu tetaplah dosa.

Pernah, seorang teman di facebook menulis status: "memfitnah orang demi kebaikan salah gak sih?"

Seolah-olah, dia berpikir kalau sebuah kesalahan bisa ditutupi dengan sebuah kebaikan. Mungkin karena pengaruh film Robinhood, seseorang yang mencuri harta orang kaya untuk menolong orang miskin, hingga kemudian disebut sebagai pahlawan. Tapi apapun yang Robinhood lakukan dengan harta curiannya, dia tetaplah pencuri. Dan tindakan mencuri itu tetaplah dosa. Atau yang masih fresh di ingatan kita, saat seorang aktor gaek coret-coret di atap gedung MPR/DPR. Memang tindakannya (katanya) murni menyampaikan kekesalan dan aspirasi rakyat negeri ini yang gerah dengan sikap para wakilnya di Senayan. Tapi apakah perbuatan mencoret-coret gedung yang bukan hak miliknya merupakan tindakan yang terpuji? Kalau hal ini dibiarkan, aksi anarkis untuk menyampaikan aspirasi lama-lama akan dianggap hal yang biasa dan lumrah. Tapi apakah ini sebuah cara berpikir yang benar?

Saya pribadi juga disadarkan dengan hal itu. Saya dulu merasa kalau bohong kecil-kecilan, nyuri kue dari meja makan, nerobos lampu merah, nonton filmnya orang yang mirip Ariel-Luna, jualan gak jujur, hingga ngumpat di jalanan, itu semua bukanlah sebuah dosa, karena itu seperti sebuah kebiasaan. "Ya, karena semua orang melakukan..." begitu pikiran saya. Tapi akhirnya saya sadar, biar bagaimanapun, dengan alasan apapun, hal-hal itu tetaplah dosa di mata Allah, dan saya tetap harus mengakuinya di hadapanNya, dan memohon ampun akan itu semua, sambil berusaha tidak melakukannya lagi.

Dulu saat SMA, sekolah saya terletak di dekat tempat pembuangan sampah sementara. Hanya berjarak 50 meter dari gerbang sekolah. Pada awalnya baunya sangat mengganggu. Saat melintas di dekatnya, saya harus menutup hidung. Tapi setelah setahun bersekolah di tempat itu, bau sampah itu sudah tidak mengganggu lagi. Tiap hari, saat pulang maupun berangkat sekolah, saat bermain di dekat tempat sampah, hingga makan di sekitar tempat pembuangan sampah itu, saya sudah tidak mencium bau busuk lagi. Ya, karena udah biasa sih. Malah kadang kalau gak ada lagi “aroma khas” sampah, rasanya seperti ada yang hilang, seperti ada yang kurang.

Sikap terbiasa untuk hal-hal buruk inilah yang salah. Seharusnya tanamkan sikap untuk selalu mawas diri dari rasa nyaman akibat rutinitas, yang jangan-jangan sudah menjadi kebiasaan, dan ternyata itu adalah kesalahan yang selalu dibiarkan.

Saya penasaran. Jangan-jangan budaya korupsi di negara ini sulit diberantas karena para pelaku korupsi sudah terbiasa mengambil hak yang bukan miliknya. Atau budaya seks bebas di negeri ini demikian subur karena para pelakunya sudah terbiasa “tidur” dengan orang yang bukan pasangannya. Juga kleptokrasi yang sudah menjadi kebiasaan: dengan memberi “uang damai” kepada polisi saat ditilang, menarik “uang lelah” saat mengurus KTP/KK (yang seharusnya gratis), dan lain sebagainya. Sebuah perilaku yang salah dan berdosa, tetapi karena sudah biasa, jadi hilang rasa bersalah saat melakukannya. Bahaya yang tidak terlihat oleh mata : karena sudah biasa!

Ada dialog dalam film “Pintu Terlarang” yang saya ingat sekali.
Sudah berapa kali aborsi?
Pertama kali.
Mm.. first timer..
Hening sejenak.
Waktu pertama kali kami menggugurkan anak kami kemari, pulangnya kami tidak bisa tidur selama seminggu. Yang pertama rasanya seperti pembunuhan. Yang kedua, masih merasa bersalah. Tapi selanjutnya, seperti rutinitas, kayak makan malam di restoran.

Yang menarik perhatian saya saat kalimat “...tapi selanjutnya, seperti rutinitas...” diucapkan. Ada penegasan dialog disana. Aborsi itu pembunuhan, tapi karena rutin dilakukan, jadilah sebuah kebiasaan, seperti makan malam di restoran. Mungkin juga karena itulah seorang pembunuh yang sudah sering membunuh, saat melakukan pembunuhan untuk kesekian kalinya, sudah tidak memiliki perasaan bersalah saat merajang korbannya seperti merajang bawang berambang. Ah, jadi inget Ryan Jombang. Juga teroris yang masa kecilnya kurang bahagia, saat sudah besar jadinya suka ledakkin “petasan” dan bikin “kembang api” dimana-mana, bisa-bisanya tersenyum senang saat melihat korban tewas atau korban luka-luka akibat petasan yang dia ledakkan.

Terbiasa dengan sesuatu yang salah bisa jadi termasuk gangguan kejiwaan.

Takutnya, jika hal-hal yang salah jadi dianggap biasa, hal-hal itu kemudian akan menjadi sebuah budaya. Budaya korupsi, budaya main hakim sendiri, budaya kampanye ngobral janji, budaya kekerasan yang (akhir-akhir ini) dibudidayakan oknum FPI, budaya aborsi, budaya seks bebas, budaya MBA (Married Because Accident), budaya artis pakai narkoba, dan lain sebagainya. Saya takut masyarakat sudah gak peka karena sudah terbiasa dengan hal-hal itu di sekitarnya. Dan bahayanya lagi, ketika orang-orang yang sudah terlanjur “berbudaya buruk” itu melakukan pembelaan-pembelaan dengan pembenaran apa yang telah mereka lakukan dan budayakan. Lak wis ngawur tenan!*

Oleh karenanya, jangan suka membiasakan diri terhadap sesuatu yang salah. Saat pertama kali melakukan dan merasa bersalah, STOP sampai disitu saja. Ada pepatah: “apa yang terjadi satu kali tidak bakal terjadi lagi. Tapi apa yang terjadi dua kali, pasti akan terjadi untuk ketiga kali.” Dan selanjutnya, terserah Anda.

Jadi biasakanlah melakukan hal-hal yang baik. Apa saja hal-hal baik itu? Anda sudah tahu. Hal-hal yang biasanya susah untuk dilakukan (pada awalnya). Tapi jika sudah terbiasa melakukan hal-hal baik, dan menjadikan sebuah kebiasaan baik, niscaya sebuah budaya baik akan tercipta dengan sendirinya.

*) Nah sudah salah sekali!

Yogyakarta, 08 Agustus 2010 (1:48 PM)

No comments:

Post a Comment