Monday, August 30, 2010

Negeri Terkaya

Negeri itu sangat kaya. Tidak ada yang tidak ada disana.

Dari mulai tambang emas, minyak, timah, uranium, hingga batu bara, semua ada disana. Tanahnya juga sangat gembur, hingga semua jenis tanaman bisa tumbuh dengan subur. Dari tanaman perkebunan seperti pohon kopi, cengkeh, tembakau, teh, cokelat, kelapa sawit, hingga tanaman persawahan seperti padi dan jagung.

Iklimnya juga sangat bersahabat dengan manusia. Tidak panas dan tidak dingin. Tidak lembab dan tidak kering. Hutan tropis yang memberikan pasokan udara bersih jutaan hektar luasnya, tempat bermukim aneka marga satwa dan sumber mata air untuk kehidupan. Tak ternilai lagi keindahan panorama alamnya. Gunung dan bukit nan elok, juga pantai dengan pasir putih yang membentang di sepanjang garis tepi kepulauannya. Lautan yang jernih dan biru, berisi jutaan makhluk laut sumber pangan manusia. Penuh dengan ikan yang berprotein tinggi, rumput laut yang kaya akan serat dan vitamin, hingga jejeran terumbu karang yang sangat indah, tempat bersemayam jutaan biota laut yang cantik.

Kabar tentang kekayaan negeri itu tersebar hingga seluruh dunia. Membuat kapal-kapal dari ujung dunia datang untuk singgah di pelabuhannya. Tapi karena rasa iri dan ingin memiliki, kapal-kapal itu kemudian memanggil kawanannya untuk datang dan merampok negeri yang selalu terkena sinar matahari ini. Tidak ada perlawanan yang berarti karena penduduk negeri itu seperti mati suri. Mati karena kekenyangan menikmati kekayaan? Atau mati karena tidak tahu harus berbuat apa-apa lagi?

Lebih dari 500 tahun negeri itu dijarah oleh penjajah, tapi penduduknya hanya bisa pasrah. Ada yang mati kelaparan karena kurang makan, tapi ada juga yang mati karena kelebihan makan. Ada yang licik dengan berkhianat dengan para penjahat, menjual sedikit demi sedikit kekayaan negara demi kepentingan dinastinya. Meskipun ada juga yang melawan meskipun akhirnya ditawan dan kehilangan harapan.

Bagaimanapun, kekayaan juga membawa sebuah kutukan. Kutukan untuk lupa bahwa itu semua adalah titipan. Kutukan untuk saling berebutan tanpa melihat lagi siapa kawan dan siapa lawan. Kutukan untuk malas bekerja karena semuanya sudah tersedia. Kutukan untuk berhenti mencari, berhenti berpikir, berhenti berusaha, karena berpikir masa depan akan baik-baik saja, sehingga merasa sedang berada di zona aman dan nyaman. Bukankah kutukan kekayaan itu selalu berakhir demikian?

Hingga kemudian seorang berkata: "ah, seandainya negeri itu sangat miskin ... pasti akan beda ceritanya. Semua rakyatnya akan keras bekerja, seperti layaknya orang miskin mencari sesuap nasi."
Cara berpikir: "makan gak makan asal kumpul" pasti tak pernah ada.

Hingga hari ini kabarnya negeri itu masih dijarah oleh para penjajah yang semakin banyak jumlahnya.

No comments:

Post a Comment