Sunday, August 8, 2010

Mari Membaca

Pasokan kata-kata di seluruh dunia semakin bertambah, tapi permintaan semakin menurun. (Lech Walesa, mantan presiden Polandia).

Semoga karya sastra anak bangsa di kemudian hari tidak menurun nilainya. Bagaimana caranya agar hal tersebut terwujud? Dengan menghargainya lebih lagi. Salah satunya dengan membaca.
Aku terbengong-bengong melihat tingkah Arai. Ibuku sibuk menggulung kabel telepon yang kami campakkan. Aku semakin tak mengerti waktu Arai bergegas membuka tutup peregasan, mengambil celengan ayam jagonya, dan tanpa ragu menghempaskannya. Uang logam berserakkan di lantai. Napasnya memburu dan matanya nanar menatapku saat ia mengumpulkan uang koin. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun dan pada detik itu aku langsung terperangkap dalam undangan ganjil sorot matanya. Seperti tersihir aku tergoda pada berbagai kemungkinan yang ditawarkan kelakuan sintingnya. Tanpa berpikir panjang aku menjangkau celenganku di dasar peregasan dan melemparkannya ke dinding. Aku terpana melihat koin-koin tabunganku berhamburan, baru kali ini aku memecahkan ayam jago dari tanah liat itu.

Arai terkekeh.

Aku tak tahu apa yang telah merasukiku. Aku juga tak secuil pun tahu apa rencana Arai. Yang kutahu adalah Allah telah menghadiahkan karisma yang begitu kuat pada sang Simpai Keramat ini -- mungkin sebagai kompensasi kepedihan masa kecilnya. Hanya dengan menatap, ia mampu menguasaiku. Atau mungkin juga aku bertindak tolol karena persengkokolan kami sudah mendarah daging.

"Kumpulkan semua, Ikal!!" perintahnya bersemangat. "Masukkan ke dalam karung gandum."

Koin-koin itu hampir seperempat karung gandum.

"Ayo ikut aku, cepat!! Pakai dua sepeda!!"

Kami berlari menuju sepeda sambil menenteng karung gandum yang beratnya gemericing. Kelakuan kami persis perampok telepon koin. Arai mengayuh sepeda seperti orang menyelamatkan diri dari letusan gunung berapi. Di luar pekarangan ia menikung tajam dalam kecepatan tinggi. Aku pontang-panting mengikutinya dengan hati penasaran. Yang terpikir olehku kami akan menghibahkan tabungan kami untuk Mak Cik. Mengingat kesulitan Mak Cik, aku tak keberatan.

Tapi ketika sepeda melewati perempatan, Arai berbelok ke kiri. Aku tersengal-sengal memanggilnya.

"Rai!! Mau ke mana??!!"

Jika ingin ke rumah Mak Cik, seharusnya ia belok kanan.

"Aku tahu, Kal. Ikut saja!!"

Maka layar pun digulung dan drama dimulai.



********/*******
Itulah sepenggal kisah dalam novel "Sang Pemimpi" karangan Andrea Hirata. Ada yang berbeda dari sepenggal tulisan itu saat diubah ke layar kaca, melalui sebuah film. Sejujurnya, cerita "Sang Pemimpi" jauh lebih enak dinikmati dengan membaca novelnya, daripada hanya menonton film yang mengadaptasi novel yang sama. Entahlah, apakah karena akting kurang meyakinkan para pemainnya, ataukah karena pengejahwantahan penulis skenario yang kurang tepat dalam menuliskannya. Sejauh yang saya lihat, sangat jarang sebuah film adaptasi dari novel, cerpen, atau cerbung lebih baik, dan lebih enak dinikmati daripada membaca novel, cerpen, atau cerbung itu sendiri.

Tapi "generasi kita gak mempan dikasih tulisan, karena kita generasi God philosophi in the movie... pengennya serba instan, cepet." [dialog di film cin(T)a]
Jadilah sekarang semua buku yang best seller dibikin film. Sehingga, "ah males gue baca bukunya, tebel banget, ntar selesai baca jadinya pake kacamata. Mending nunggu filmnya aja!"

Bukan meremehkan industri perfilman, hanya saja yang mau saya katakan adalah: dengan membaca kita dilatih untuk lebih bisa berimajinasi. Dengan imajinasi, kita bisa terbang di alam mimpi. Dan dengan mimpi-mimpi itulah peradaban manusia bisa terus berkembang. Coba seandainya tidak ada manusia yang berimajinasi ingin terbang bebas seperti burung di angkasa, pasti hingga saat ini tidak pernah ada pesawat terbang. Atau seandainya saja tidak ada manusia yang berimajinasi ingin bisa berbicara langsung dengan keluarga di lain kota atau negara, pasti hingga saat ini tidak pernah ada pesawat telepon atau ponsel yang bisa membuat orang-orang bebas berbicara dengan siapa saja, dimana saja.

Memang "bukan rahasia bila imajinasi lebih berarti dari sekedar ilmu pasti." [dipopulerkan Dewa 19]

Bahkan salah satu perusahaan otomotif di Jepang, Honda, pernah membuat proyek "bebas bermimpi", sesuai jargon perusahaan mereka "The Power of Dreams", dan menghasilkan sebuah motor yang sangat irit dan mobil yang berbahan bakar air (H2O). Juga salah satu perusahaan software ternama, Microsoft, menggaji 1000 anak muda di Amerika, hanya untuk berimajinasi tentang apa yang mereka impikan di masa mendatang. Di kemudian hari, teknologi-teknologi baru pun tercipta.

Tidak, tidak ada yang salah dengan menonton film atau televisi. Hanya saja, terlalu sering menonton film atau televisi, akan membuat pikiran kita menjadi terbatas. Apalagi di Indonesia saat ini, program tayangan televisi yang mencerdaskan semakin berkurang, malah hampir tidak ada.

"Buku adalah jendela dunia" katanya. Dan Mohammad Hatta juga pernah berkata, "selama dengan buku, kalian boleh memenjaraku dimana saja. Sebab dengan buku, aku bebas."

Jadi, marilah kita coba untuk berinovasi dan berimajinasi, dengan lebih banyak dan lebih sering membaca buku, ketimbang duduk di depan layar televisi, dan hanya bisa menikmati, tanpa belajar membuat deskripsi atau diksi.

Penggalan cerita berikut kalau difilmkan, mungkin pengaruhnya akan biasa saja kepada penontonnya dan hanya berdurasi beberapa detik saja. Tapi jika dibaca...

Mengendap-endap, perempuan itu membuka pintu studionya sendiri seperti seorang pencuri yang takut tertangkap. Manusia paling berbakat dalam daftarnya tengah berupacara di dalam situ, memerawani ruangan lukisnya dengan sapuan tangan ajaib yang patut disambut riuh tepuk tangan. Mana mungkin momen bersejarah ini ia lewatkan.

Lampu studio masih menyala benderang. Perempuan itu melongok, memutar lehernya ke berbagai arah untuk meninjau dinding yang seharusnya sudah jadi lukisan spektakuler. Namun bidang-bidang besar itu tampak bersih. Matanya memicing tanda tidak terima. Kakinya lanjut melangkah hingga berdirilah ia di pusat ruangan, matanya terus mencari. Lambat laun, sehamparan pola halus menyeruak muncul, mengapung ke permukaan dinding. Dan ketika pandangannya mulai terfokus, hamparan itu tahu-tahu menyesaki ruangan, bagai air bah yang menerjangnya sekaligus tanpa diduga.

Terdengar bunyi saklar lampu dimatikan. Studio itu sontak gulita. Namun pada detik yang sama, ia merasa dikepung larik-larik sinar yang menyilaukan. Matanya kembali memicing, mengadaptasi kondisi dramatis tadi, sekaligus berpikir... cicak? Napasnya tertahan. Ratusan cicak berpendar, menyelimuti empat bidang dan langit-langit. Membungkusnya dalam takjub dan tanda tanya.

[Dewi Lestari - Cicak di Dinding (kisah dalam Recto Verso)]


Jadi, sudahkah Anda membaca hari ini?

NB (NamBah):
Membaca apa saja, 2 jam sehari, dapat membuat kepekaan dan kecerdasan emosional manusia bertambah. Diiringi dengan informasi-informasi baru yang diterima, otomatis ilmu pengetahuan yang mendukung proses belajar akan lebih banyak, sehingga membuat manusia tersebut lebih berguna.

Yogyakarta, 07 Agustus 2010 (10:23 PM)

No comments:

Post a Comment