Saturday, January 16, 2010

Freedom Writers (1)

Coba bayangkan, anda adalah seorang guru, guru yang baru saja lulus sekolah pendidikan, mempunyai visi dan misi mengajar yang berapi-api, dan kemudian dihadapkan pada kenyataan : anda akan mengajar sekelompok anak, yang menganggap sekolah adalah pilihan selain penjara anak-anak, dan mereka terpisah menjadi kelompok kecil karena latar belakang suku dan ras yang berbeda. Di luar kelas, sebenarnya mereka adalah anggota gangster rasisme, yang saling bermusuhan satu dengan yang lain. Murid-murid anda adalah anak yang selalu tersakiti oleh keadaan sedari mereka masih kanak-kanak. Di lingkungan mereka selalu terjadi kekerasan bahkan pembunuhan. Dipukuli dan dianiaya adalah syarat untuk diterima di kelompok mereka, dan mereka wajib menerima itu agar bisa menjadi kuat di kemudian hari. Mereka telah merasakan kehilangan teman atau teman-teman yang mati terbunuh karena perang antar geng. Murid-murid anda menganggap bahwa setiap hari adalah sebuah peperangan, dan belajar bahwa kematian adalah cara untuk bisa mendapatkan kehormatan di kelompok mereka. "Kami merayakan hidup kami setiap hari, karena kami masih bisa tetap hidup di keesokan hari".

Itulah yang terjadi dengan seorang guru bernama Erin Gruwell di kelas 203, kelas bahasa Inggris untuk siswa yang terdiri dari anak-anak yang dianggap sudah terbuang.

********/*******

Saya baru saja nonton filmnya, Freedom Writers, yang dibuat berdasarkan kisah nyata.

Pada awalnya, selalu terjadi tindakan sarkasme dan tindakan saling menghina dengan anekdot-anekdot khas "black people". Selalu terjadi kerusuhan-kerusuhan kecil di dalam kelas akibat ejekan atau kejadian sepele yang kemudian membuat kelompok-kelompok kecil itu saling bertengkar. Sampai akhirnya Erin menyuruh mereka untuk duduk secara random, yang berarti ras hispanik (ras Salma Hayek, Penelope Cruz) akan bersebelahan dengan ras chink (ras Mr Hann, Harold). Ras negro akan bersebelahan dengan ras kamboja. Dan seorang anak dari ras kulit putih duduk di tengah-tengah mereka. Cara tersebut kemudian dianggap Erin sudah benar. Tetapi akhirnya dia diprotes anak muridnya karena mereka tetap menganggap bahwa sebenarnya mereka memang berbeda. Ras hispanik sangat berbeda dengan ras Afrika-Amerika (negro). Dan sebagainya.

Erin tidak kehabisan akal. Kemudian dia membuat suatu permainan kecil dengan membuat sebuah garis di tengah-tengah kelas. Aturan permainannya, tiap dia menyebut suatu kejadian atau hal-hal seputar kehidupan, dan siapa diantara mereka mengalami atau merasakannya, diwajibkan maju ke garis tersebut.

Permainan dimulai... dia menanyakan "siapa diantara mereka yang mempunyai album terbaru Snoop Dogg?" Semuanya maju ke garis. "Siapa diantara kalian yang sudah nonton film Boys In The Hood"? Semuanya, kecuali si kulit putih, maju ke garis. Dan seterusnya... mereka yang merasa dirinya sesuai dengan pertanyaan dari Erin, maju ke garis. Sampai pada pertanyaan puncak "siapa diantara kalian yang temannya pernah terbunuh akibat kekerasan"? Semuanya maju ke garis. "2 orang", beberapa mundur. "lebih dari 2 orang", beberapa mundur. "3 orang", beberapa mundur. "4 orang atau lebih", dan tinggallah beberapa anak saja di garis itu. Mereka saling berhadapan, mereka yang selama ini terkelompok berdasarkan ras mereka, yang selalu berkelahi tiap bertemu di jalanan, sekarang bertatap muka kurang dari setengah meter.

Akhirnya mereka sadar. Mereka memang berbeda, tapi, mereka juga punya banyak persamaan. Mereka sama-sama suka Snoop Dogg, rapper kulit hitam. Mereka sama-sama suka film Boys In The Hood. Mereka sama-sama pernah masuk penjara anak-anak, atau camp pengungsian. Mereka juga sama-sama pernah merasakan kehilangan teman dalam hidup mereka, karena terbunuh atau korban kekerasan perang yang mereka ciptakan di jalanan.




********/*******

No comments:

Post a Comment