Friday, January 29, 2010

Sebuah Kisah Bintang Sepakbola

Di Tempat Latihan

"Saya tahu kalian hanya akan bermain di tim reserve, tapi bukan berarti porsi latihan kalian berbeda dengan mereka (menunjuk pada mereka yang bermain di tim inti)", kata sang pelatih. Lanjutnya, "kami staf pelatih, tidak tahu bagaimana pelatih kepala menilai kalian, tapi tunjukkan selalu kemampuan terbaik dari setiap sesi yang akan kalian jalani."

'Aku akan memberikan kemampuan terbaikku,' katanya dalam hati.

Sesi demi sesi, dia jalani dengan penuh semangat. Dari mulai cross country, berlatih passing, dribling, eksekusi bola mati, hingga berlatih tendangan penalti. Dia juga tidak pernah mengeluh saat dia diberi porsi latihan lebih banyak daripada semua rekannya.

Untuk menutup sesi latihan hari itu, diadakan pertandingan kecil, selama 30 menit, antara tim reserve melawan tim inti.

'Ini yang aku tunggu. Tuhan, tolong aku agar aku bisa memperlihatkan semua kemampuanku kepada pelatih kepala.' doanya.

Pertandingan dimulai. Baru 5 menit berjalan, tim reserve sudah kalah 1 gol. Dan gol berikutnya, datang 10 menit kemudian. 2-0 untuk kemenangan tim inti.
Menjelang 5 menit laga usai, tim reserve mendapat hadiah tendangan bebas 33 meter dari gawang. Dia mendapat kesempatan untuk menendang bola mati itu.

"Ingat, jangan langsung mengarah ke gawang. Kau belum sehebat itu. Operkan kepada temanmu yang ada di dalam kotak penalti." kata sang pelatih.

'Tapi bagaimana jika aku bisa? Tuhan, jika tendanganku nanti langsung bisa menghasilkan gol, aku janji akan melakukan apapun yang Engkau mau.' doanya kemudian saat dia mengambil langkah untuk mengeksekusi.

1 langkah, 2 langkah, dan dia menendang. Bola melambung melewati pagar betis, dan secara ajaib bola itu melengkung di udara, menuju tiang jauh gawang. Kiper timnas Jerman itu tak bisa menjangkaunya. Gol! 2-1 untuk skor akhir pertandingan.

'Dia mendekatiku, dia mendekatiku,' pekiknya dalam hati.

"Hei, bagaimana kau melakukan itu? Itu tendangan bebas yang secara teknik sangat sempurna", kata pelatih kepala berpaspor Perancis itu. Sambil berjalan menjauh, dia berteriak, "bagaimana kalau kau ikut di pertandingan derby besok?". Kemudian dia hanya memalingkan wajahnya dan tersenyum padaku.

'Tuhan, mimpikah ini? Aku besok akhirnya bermain di depan 60 ribu penonton... terima kasih.' katanya dalam hati.

'Itu usahamu nak, kau selalu melakukan yang terbaik sambil terus berharap. Aku hanya melakukan sisanya, hal yang tidak bisa kau kendalikan. Aku masih memegang kata-katamu tadi, kau akan melakukan apa yang Aku mau.' sahut suara di dalam hati kecilnya.

********/*******

Di Ruang Ganti

'Aku tidak percaya. Aku masih belum bisa percaya. Mimpikah aku? Satu bus dengan Thierry Henry, Robert Pires, dan Dennis Bergkamp? Yang duduk di sebelahku, Ashley Cole!' teriaknya dalam hati.
Bus yang ditumpanginya akhirnya berhenti di depan stadion Highbury yang legendaris itu. Ratusan orang mengelu-elukan mereka. Puluhan kamera menyorot ke arahnya. Aku masih bisa mendengar jawaban bos saat mereka menanyakan apakah akan menurunkan aku di pertandingan ini. "Kita lihat saja nanti" kata orang yang mereka panggil 'The Professor' itu.

Aku sangat gugup di ruang ganti itu. Tidak ada pemain yang bercakap-cakap denganku. 'Mungkin semua sibuk dengan pikiran masing-masing atau sama gugupnya seperti aku' pikirnya. Hanya Pires yang mendatangiku di ruang ganti dan duduk di sebelahku. Aku hanya bisa menangkap beberapa patah kata darinya, dan ikut tersenyum saat dia tersenyum sambil menepuk pundakku. Aku tidak mengerti bahasa Perancis, aku juga baru belajar bahasa Inggris. Bos berjalan ke arahku, dan memberikan seragam tim. 15, itulah nomor punggungku.

Kami diberi arahan oleh pelatih, "kalian tahu apa yang harus kalian lakukan", tutup briefing singkat itu. Mereka kemudian keluar ruang ganti, dan aku menuju kamar mandi sebelum pertandingan dimulai.

'Tuhan, berilah kami kemenangan. Aku tahu dalam pertandingan derby manapun, pasti sangat berat. Tapi ini pertandingan debutku. Aku ingin mencetak namaku di papan skor juga kalau Engkau berkenan.'

Lalu aku dengar suara yang sangat aku kenal. 'Nak, engkau tahu apa yang lawanmu lakukan di ruang sebelah? Mereka juga berdoa agar tim mereka menang. Jutaan orang juga berdoa sama sepertimu, tapi tidak sedikit juga yang berdoa agar lawanmu yang menang. Aku bukan Tuhan yang memihak. Tim terbaiklah yang berhak untuk menang. Jadi, lakukanlah yang terbaik. Tapi, kau bisa berdoa agar pertandingan nanti berjalan dengan baik, juga agar tidak ada pemain yang cedera. Kau bisa mendoakan wasit agar dia bijak dalam memimpin pertandingan, juga mendoakan supporter agar mereka bisa menerima apapun hasilnya nanti. Jangan berdoa agar tim kamu yang menang, itu tindakan egois. Sudah dulu ya nak, Aku juga mau menonton pertandingan itu. Oia, Aku masih memegang janjimu kemarin...'

********/*******

Di Lapangan

'Aku masih belum percaya ini', katanya dalam hati saat puluhan ribu orang mengelu-elukan nama timnya. Dia merasa menjadi pusat perhatian jutaan pasang mata di luar sana. Pastilah mereka menganggap bosku gila menurunkan aku dalam laga derby sejak menit pertama. Tapi, akan kubuktikan bahwa aku bisa.

Dia merasa tertantang dengan pikirannya.

Menit 25, timku unggul 1 gol berkat assist yang aku berikan pada Henry. Aku masih belum percaya saat kapten berlari ke arahku dan teman-teman-lain mengerubutiku. Seolah-olah aku yang mencetak gol tadi. 'Selamat nak, operan yang bagus' kataNya dalam hatiku. Aku melihat ke arah bench, bos memberikan jempolnya dan tersenyum padaku.

Babak pertama usai, dan mereka memberikan ucapan selamat padaku. Pires kembali mendekatiku dan mengucapkan beberapa patah kata sambil tertawa. Tapi aku masih belum mengerti yang diucapkannya, aku hanya ikut tertawa.

Babak kedua mereka lebih menyerang. Kami diinstruksikan untuk bertahan. Menit sudah menunjukkan angka 80. Laga semakin sengit. Kami berkali-kali diserang, membuat kami jarang bisa melakukan serangan. Dan di menit 81, berawal dari sebuah tendangan pojok, aku diperintah kapten untuk marking pemain lawan di kotak penalti. Sangat cepat kejadian itu terjadi, aku merasa bola menyentuh tanganku, sebelum Cole menendangnya keluar lapangan. Kapten lawan meneriaki wasit karena aku melakukan handball. Tapi mungkin wasit tidak melihatku menyentuh bola, sehingga dia hanya memberikan keputusan tendangan pojok.

'Katakan padanya, katakan pada wasit itu engkau melakukan handball. Bukankah kamu akan melakukan apapun yang Aku mau? Aku mau engkau melakukan itu.'

'Tapi Tuhan...' aku mau menyangkalnya.

'Janji adalah janji, lakukan itu.' tegas suara itu.


Kapten memegang pundakku. Tapi aku kemudian berjalan ke arah wasit yang masih dikerumuni pemain lawan. "Ya, aku menyentuh bola itu tadi sebelum Cole membuangnya keluar lapangan". Wasit memandangku aneh. Para pemain lawan yang mengerubutinya langsung terdiam. Kapten mendorongku, "apa yang kau lakukan?" Dan pemain lain juga langsung mengerumuni aku. Bukan karena aku berhasil mencetak gol atau assist, tapi karena tindakan di luar dugaan tadi, yang sekarang menghasilkan sebuah penalti. "Tolol! Bagaimana bisa kau melakukan itu?" teriak Cole kesal.
Lagi-lagi, hanya Pires yang mendekat ke arahku, setelah semua pemain meninggalkanku. Dia hanya menepuk pundakku, dan hanya berkata, "aku memang tidak mengerti mengapa kau melakukan hal aneh tadi, tapi aku yakin kau akan menjadi pemain hebat karena hal luar biasa yang kau lakukan tadi". Ajaib, aku mengerti apa yang dia katakan.

Eksekusi penalti pun dilakukan. Dan papan skor berubah menjadi 1-1.

Aku hanya berdiri mematung. Teman-temanku semuanya tidak mengerti apa yang baru saja aku lakukan. Mereka menjauhiku. Aku lihat kapten berbicara pada bos, dan aku lihat Ljunberg melakukan pemanasan. 'Inilah awal dan akhir karirku, Tuhan' tangisku dalam hati. Lehmann mendekatiku, "aku tidak tahu kekuatan apa yang bisa menggerakkan dirimu melakukan hal bodoh tadi. Tapi, aku percaya kekuatan itu akan menyelamatkanmu juga".

Aku berusaha mencari-cari jawaban, tapi tidak ada suara yang familiar aku dengar dari dalam sana.

Pertandingan bertambah sengit memasuki masa injury time. Sambil berlari menggiring bola, aku melirik ke arah bench. Freddie sudah bersiap dan official sudah mulai memencet tombol di papan pergantian pemain. 'Ah, tamat sudah' pikirku. Tiba-tiba, entah darimana dia datang, atau karena aku kurang memperhatikan, dia menekel kakiku dan aku terjatuh. Tepat 33 meter arah kanan dari gawang lawan. Aku merasakan sakit yang luar biasa di pergelangan kakiku. Tapi aku tidak merisaukannya, aku memalingkan wajahku ke arah bench. Aku melihat angka 15 berwarna merah.
'Tuhan, tamat sudah.' teriakku dalam hati. Tapi, tidak ada suaraNya yang aku dengar.

Wasit mendatangiku, dan bertanya bagaimana keadaanku. Aku hanya pasrah menggelengkan kepala. Yang aku lihat selanjutnya, wasit memberikan kartu kuning kedua pada pemain yang menekelku dan Pires berlari ke arah bench, berbicara pada bos. Ajaib, papan itu berubah angkanya. Angka 15 berganti menjadi angka 7. Entah apa yang Pires katakan, tapi itu membuatku tetap bertahan dalam lapangan.

Ljunberg berlari ke arahku. "Bos memerintahkanmu mengambil tendangan bebas itu. Berterimakasih lah pada Robert, dia meyakinkan bos agar kau tetap berada di lapangan". Kemudian Freddie berkata pada kapten, dan kapten mengulurkan tangannya padaku. Menarikku agar berdiri. "Tebus kesalahanmu", katanya singkat.

'Kesalahan? Aku pikir yang aku lakukan tadi benar.' kata batinku membela diri.

'Tidak semua orang bisa membedakan apa yang benar dan yang salah', kata suara dalam hatiku yang terdiam sejak tadi. 'Sesuatu yang salah, sering dianggap benar karena hal itu jamak terjadi. Sudah biasa dilakukan, jadi hal itu dianggap benar. Malah kalau melakukan sebaliknya, yang sebenarnya benar untuk dilakukan, dianggap sebuah kesalahan. Tapi, sejak kapan manusia tahu yang benar dan yang salah? Lakukan tendangan itu sebaik mungkin. Aku akan melakukan sisanya, yang tidak bisa kau kendalikan'.

********/*******

Di Panggung Podium

"10 tahun sudah sejak kejadian itu, banyak hal yang terjadi dalam karir sepakbolaku." katanya setelah menerima penghargaan pemain terbaik dunia. "Setelah tendangan bebas yang aku lakukan dan berbuah gol, media menyebut tendanganku sebagai tendangan bebas terbaik dalam satu dekade terakhir. Juga karena insiden penyebab penalti di pertandingan pertamaku, wasit di Inggris menyebutku sebagai pemain paling jujur sepanjang masa." terlihat senyuman di wajahnya.
"Saat itu memang aku merasa bodoh, tapi aku yakin yang aku lakukan itu benar. Jens dan Robert juga mendukungku. Saat ini, aku berdiri di podium ini, juga karena dua orang temanku itu. Dan pesanku buat semua pesepakbola di dunia ini, dengarkan selalu suara hatimu, ada Sosok yang luar biasa di dalam sana, yang bisa mengajarkan apa yang pelatihmu tidak bisa ajarkan. Aku bisa menjadi seperti sekarang, memegang penghargaan ini, juga karena aku tetap mendengarkan Dia, yang ada dalam hatiku, yang menjadi Tuhan dalam hidupku. Terima kasih".
Dia kemudian mencium dan mengangkat ballon d'or itu tinggi-tinggi, dan semua orang yang hadir di ruangan itu, termasuk sang kapten dan Ashley Cole yang dulu menganggapnya bodoh, juga Robert Pires dan Jens Lehmann serta bosnya, Arsene Wenger, langsung bertepuk tangan untuknya.

Dan di sudut balkon atas ruangan itu, di pojok yang tidak terlihat, Sosok itu juga hadir memberikan penghargaan dariNya yang terbaik, melakukan standing ovation buat saksi hidup di lapangan hijau itu.


*) Terinspirasi seorang pemain di Arsenal, yang awal karirnya memakai nomor punggung 15

3 comments:

  1. maksudnya siapa pemain ini?inspiratif bgt..thx

    ReplyDelete
  2. sekarang pemain itu make nomor punggung 4 di Arsenal :)

    Cuma inspirasi aja sih... hal itu gak pernah kejadian sama Cesc Fabregas ;)

    ReplyDelete
  3. haaa.. aku sampai hampir nangis..
    dont go captain....
    we love you..

    ReplyDelete