Friday, January 15, 2010

God is a Director

God is a director... what movie?

Kata-kata itu tertulis di shout out facebook saya beberapa bulan yang lalu, ketika saya sedang jatuh cinta pada film cin(T)a. Saya sempat tulis tiga kali di boks "what's on my mind". Tapi, tidak ada tanggapan dari orang-orang di list friend saya. Tapi, tak mengapa. Seperti yang saya bilang sebelumnya, tepatnya, saya tulis sebelumnya, saya memang bukan orang terkenal seperti Raditya Dika atau Sena Gumira Ajidarma. Jadi, wajar saja jikalau tidak ada orang yang berminat memberi komen di "status" facebook saya.

God is a director, what movie?

Sampai akhirnya saya menemukan jawabannya sore ini. Beberapa jam yang lalu. Saat saya berada di lantai empat plaza paling terkenal di kota saya, Yogyakarta.

Saya melihat ke bawah, dan saya mulai menghitung mundur... 10, 9, 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1, ... saya ingin loncat hingga ke lantai dasar! Saya sudah bosan dengan hidup ini. Saya ingin memutuskan kontrak hidup saya secara sepihak. Saya sudah muak dengan basa-basi, juga saya sudah mulai jijik dengan manusia-manusia berkepala binatang di sekitar saya.

Tapi, entah hanya perasaan saya karena melihat sepasang remaja duduk di lantai bawah sana, saya teringat kata-kata di film itu. God is a Director... what movie? Film apa?
Dan saat itu saya menemukan jawabannya : film tentang diri saya sendiri. Film tentang kehidupan saya di dunia ini. Film tentang drama kehidupan yang berakhir dengan bunuh diri atau ... Tapi saya masih belum mengerti. Mengapa tidak ada kata 'cut' atau 'bungkus', seperti kata-kata sutradara di mahakaryanya.
Saat saya mau lompat, tidak ada asisten sutradara atau ekstras yang mencoba mencegah saya. Apa memang hidup saya berakhir di lantai dasar sebuah plaza?

Saya menghitung lagi, kali ini lebih lama... 60, 59, 58, ... , 20, 19, 18, ... 3, 2, 1, ... saya menutup mata saya. Mencoba berkonsentrasi mendengar suara di tengah keramaian suasana. Tidak ada apa-apa. Saya coba tajamkan telinga saya, tidak ada suara selirih apapun menggetarkan gendang telinga saya. Tidak ada kata : 'cut', 'bungkus', 'rolling', 'action', dan lain-lain. Saya membayangkan, seperti di film-film, kalau orang ingin mengakhiri hidupnya, tiba-tiba ada yang datang memperingatkan. Entah melalui tepukan di pundak, suara ponsel tanda sms/telepon, atau pandangan mata tertuju pada suatu tulisan, "jangan lakukan itu" atau "hidup ini indah". Tapi, hal-hal itu tidak ada.

Apa memang Sang Sutradara itu ingin mengakhiri film kehidupan saya disini? Tapi, mengapa itu tidak terjadi beberapa menit yang lalu? Jikalau saya melompat sekarang, dan saya kembali urungkan niat saya, apakah saya akan didorong orang tiba-tiba? Agar skenario film kehidupan saya menjadi nyata?
Saya kembali melihat ke bawah. Melihat orang-orang dengan antusias mengelilingi plaza ini, melihat-lihat tempat ini seolah-olah baru pertama kali mereka datangi. Ada sepasang kekasih, ada keluarga dengan anak kembarnya, ada kakek-nenek dengan rambut yang mulai memutih, juga ada seorang wanita berjalan dalam kesendiriannya.

Ah... saya tahu. Dia, Sang Sutradara itu bukan tipikal sutradara yang mengharuskan pemainnya melakukan apa yang ia mau. Dia, Sang Sutradara itu, adalah sutradara yang mengijinkan pemainnya melakukan apa yang dikehendakinya. Dia hanya memegang skenarionya, tahu apa yang akan menjadi akhir cerita. Hanya saja, jalan ceritanya terserah sang pemain ingin berlakon seperti apa. Sang Sutradara itu juga selalu mempunyai "rencana B", jika sang pemain tidak menyelesaikan "rencana A". Saat sang pemain merasa telah jauh berlakon dari skenario awal, dan ia merasa tersesat dengan jalan ceritanya sendiri, Dia, Sang Sutradara itu memegang skenario cadangan yang telah Dia siapkan sebelumnya. Ya, Sang Sutradara itu Mahatahu, psikolog jenius yang bisa menebak sejauh mana, kira-kira sang pemain akan lari dari skenario awal. Sekarang hanya tinggal bagaimana si pemain. Apakah ia ingin tetap tersesat di skenario yang ia buat, atau mendatangi Sang Sutradara itu untuk meminta skenario lain sebelum ia sekarat.

Saya, wanita itu, keluarga itu, sepasang kekasih itu, dan kakek-nenek itu, masing-masing, mempunyai skenario yang berbeda. Dan dibalik itu semua, Sang Sutradara duduk di kursinya, dibantu oleh jutaan asistennya, mengamati film kehidupan yang sudah Dia tuliskan sejak dahulu kala. Dia membuat segalanya di awal, menyerahkan pemainnya bermain total, tetapi Dia tetap memegang hasil akhirnya.

Andai saja, saya tetap melompat dari lantai empat, saya yakin itu bukan skenario yang Dia buat. Oleh karenanya, saat film kehidupan saya selesai disitu, saya tidak akan pernah menjumpai Sang Sutradara itu.

Tetapi, saat saya mulai turun ke lantai dasar, dan mulai merasa lapar, saya merasa mulai menjalankan skenario cerita yang berbeda, karena skenario awal telah gagal.

Seharusnya aku tak patut bersedih, atas semua yang terjadi kepadaku,
aku merasa bahwasanya hidup ini tak lebih dari sebuah perjalanan.
Hingga saatku tiba... kuharap temukan apa yang aku cari.
(Padi - Menanti Keajaiban)

PS. Bukankah tiap manusia berhak mendapatkan kesempatan kedua, bukan?

No comments:

Post a Comment